Menghidupkan Kembali Tata Krama “Tabik/Sugra”: Sebuah Seruan Budaya dan Dharma
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Di tengah arus modernisasi dan derasnya pengaruh globalisasi, nilai-nilai luhur dalam tata krama Bali mulai memudar dari kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah kebiasaan mengucapkan "tabik" atau "sugra"—ungkapan sopan santun sebagai bentuk salam, hormat, dan rendah hati.
Kini, ucapan ini mulai jarang terdengar, terutama di kalangan generasi muda. Padahal, tata krama seperti ini bukan hanya bagian dari budaya, tetapi juga merupakan wujud nyata ajaran dharma dalam kehidupan sosial.
Tata Krama adalah Cermin Diri dan Ajaran Dharma
Dalam ajaran Hindu, khususnya dalam konteks sastra dan etika, sikap hormat kepada sesama disebut sebagai bagian dari satya, ahimsa, dan daya—tiga sikap dasar dalam dharma sosial.
Sloka Bhagavad Gītā (16.1-3):
Sanskerta:
अहिंसा सत्यमक्रोधस्त्यागः शान्तिरपैशुनम्।
दया भूतेष्वलोलुप्त्वं मार्दवं ह्रीरचापलम्॥
Transliterasi:
ahiṁsā satyam akrodhas tyāgaḥ śāntir apaiśunam |
dayā bhūteṣv aloluptvaṁ mārdavaṁ hrīr acāpalam ||
Makna:
"Tanpa kekerasan, kejujuran, tidak pemarah, pengendalian diri, ketenangan, tidak memfitnah, kasih kepada makhluk, tidak tamak, kelembutan, rasa malu, dan tidak ceroboh—itulah sifat orang suci."
Dari sloka ini kita pahami bahwa mārdavaṁ (kelembutan) dan hrī (rasa malu/sopan santun) adalah bagian dari karakter spiritual. Tabik dan sugra bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga bagian dari marapu budaya yang sesuai dengan nilai dharma.
Orang Dewasa Harus Menjadi Teladan
> Ngiring sareng-sareng ngawit saking krama dauh truna-truni sane dados conto ring alit-alit.
Mari bersama-sama memulai dari orang dewasa yang menjadi teladan bagi anak-anak.
Anak-anak meniru dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua, guru, dan pemuka adat kembali membiasakan mengucap “tabik” atau “sugra” dalam interaksi harian, maka generasi muda pun akan menghidupkan kembali kebiasaan itu dengan alami.
Sloka Nītiśāstra (Subhāṣita):
Sanskerta:
यथा राजा तथा प्रजा।
Transliterasi:
yathā rājā tathā prajā
Makna:
“Sebagaimana pemimpinnya, demikian pula rakyatnya.”
Dalam konteks ini, pemimpin keluarga (orang tua) adalah contoh pertama yang akan ditiru oleh anak-anak.
Tabik/Sugra Bukan Sekadar Salam, Tapi Doa dan Hormat
Kata "tabik" berasal dari akar rasa hormat dan ketundukan, sering diucapkan sambil merapatkan tangan di dada, mencerminkan ketulusan dan penghormatan. "Sugra" memiliki arti serupa: salam penuh hormat dengan bahasa halus, biasanya disampaikan kepada orang yang lebih tua atau dituakan dalam masyarakat.
Keduanya adalah bentuk śīla—perilaku etis yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Hindu Dharma dan budaya Bali.
---
Penutup: Kembali ke Akar, Melangkah ke Depan
Menjaga tata krama seperti "tabik" dan "sugra" bukan berarti menolak kemajuan zaman. Sebaliknya, ini adalah langkah cerdas untuk menjaga jati diri budaya Bali yang adiluhung.
Mari kita mulai dari diri sendiri.
Mari kita tabik sebelum bicara.
Mari kita sugra dengan tulus.
Agar generasi mendatang tidak kehilangan akar budayanya.
Om Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ
---
#spenfourab@gurubahasabali#
#budayabali #sastrabali #bahasabali #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar