“Makna Teologis Penanaman Abu Penjor di Depan Jineng sebagai Simbol Kesucian Pemujaan Bhatari Sri dalam Tradisi Hindu Bali”
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manusia
Abstrak
Tradisi Hindu Bali sarat dengan simbolisme sakral dalam praktik keseharian masyarakatnya. Salah satu bentuk praktik sakral tersebut adalah penanaman abu penjor di depan jineng atau lumbung padi setelah perayaan Galungan. Artikel ini membahas makna filosofis dan teologis dari praktik tersebut, khususnya sebagai bentuk penghormatan kepada Bhatari Sri, dewi kesuburan dan kemakmuran. Dilandasi oleh kutipan sloka dalam Weda dan tattwa Hindu, praktik ini mencerminkan sinergi antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi.
---
Pendahuluan
Dalam konteks tradisi Hindu Bali, penjor merupakan simbol gunung dan anugerah Tuhan yang ditanam pada hari raya Galungan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan dharma. Namun, setelah perayaan berakhir, penjor tidak dibuang sembarangan. Sebaliknya, bagian suci dari penjor seperti sampian, porosan, dan bunga dibakar, dan abunya ditanam secara khusus di depan jineng (lumbung padi), tempat penyimpanan hasil bumi yang sangat dihormati dalam kosmologi Bali.
---
Sarana Penjor Galungan yang Dibakar
Setelah usainya upacara Galungan dan Kuningan, penjor akan diturunkan. Namun tidak semua bagiannya dibuang. Bagian-bagian sakral yang biasanya dibakar meliputi:
Sampiyan penjor: lambang persembahan dan penyatuan antara bhuwana agung dan bhuwana alit.
Porosan: simbol keseimbangan antara Tri Pramana (bayu, sabda, idep).
Bunga-bunga: melambangkan keindahan, ketulusan, dan kesucian.
---
Klungah Nyuh Gading sebagai Wadah Abu
Kelapa muda (nyuh gading) yang telah diberi kasturi dipakai sebagai wadah abu. Kelapa ini memiliki energi simbolik yang sangat tinggi, melambangkan kemurnian, kehidupan, dan persembahan kepada Dewa.
---
Penanaman Abu Penjor di Depan Jineng
1. Sebagai Tanda Selesainya Perayaan
Penanaman abu menjadi penanda bahwa seluruh rangkaian upacara telah selesai secara utuh dan suci. Ini sekaligus menegaskan bahwa kekuatan sakral penjor telah dilebur dan dikembalikan ke alam.
2. Memberikan Energi Positif
Abu penjor dipercaya menyimpan residu spiritual dari semua doa dan puja selama perayaan Galungan. Abu ini kemudian menjadi sarana pemancar energi positif (śubha śakti) yang mengayomi bangunan rumah, khususnya tempat penyimpanan hasil panen.
3. Menghormati Alam dan Dewa
Dengan menanam abu penjor di dekat jineng—yang erat kaitannya dengan keberkahan hasil bumi—umat Hindu menunjukkan penghormatan mereka kepada Bhatari Sri, Sang Dewi Kemakmuran.
---
Kutipan Sloka Hindu Terkait
Sanskerta:
> श्रियै नमः। श्रीः हि भूमेः पत्न्यः, अन्नं मूलं जीवनस्य।
Transliterasi:
> Śriyai namaḥ. Śrīḥ hi bhūmeḥ patnyaḥ, annaṁ mūlaṁ jīvanasya.
Makna:
> “Sembah bakti kepada Dewi Sri. Beliau adalah istri Bumi, sumber dari makanan yang menjadi dasar kehidupan.”
Sloka ini menegaskan bahwa Bhatari Sri adalah personifikasi dari kemakmuran dan kesuburan. Menanam abu penjor di tempat penyimpanan hasil bumi adalah bentuk pengembalian energi suci kepada Beliau sebagai rasa terima kasih dan penghormatan.
---
Filosofi Jineng dalam Konteks Penanaman Abu
Jineng atau lumbung padi bukan hanya tempat fisik penyimpanan hasil bumi, namun juga dianggap sebagai tempat suci karena bersemayamnya energi Bhatari Sri. Menanam abu penjor di tempat ini menciptakan lingga-yoni spiritual, yaitu perpaduan antara prinsip maskulin (api pembakaran) dan prinsip feminin (tanah sebagai ibu), yang mendatangkan keharmonisan dan kemakmuran.
---
Kesimpulan
Penanaman abu penjor di depan jineng tidak hanya memiliki fungsi simbolis sebagai penanda berakhirnya upacara, tetapi juga mengandung makna spiritual mendalam yang mencerminkan pemujaan kepada Bhatari Sri. Melalui praktik ini, masyarakat Hindu Bali menjaga kesinambungan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Abu tersebut menjadi media transformasi sakral yang menumbuhkan kesucian, kemakmuran, dan keseimbangan kosmik.
---
Daftar Pustaka
Bhagavad Gītā
Taittirīya Upaniṣad
Rgveda Samhita
Lontar Dharma Caruban
Wiana, I.B. (2004). Upacara Dewa Yadnya. Denpasar: Widya Dharma.
Mantra, I G.N. (2000). Simbologi Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar