“Urgensi Undang-Undang Nasional tentang Masyarakat Adat: Pelestari Alam dan Penjaga Dharma Ekologis dalam Perspektif Hindu”
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
---
Abstrak
Masyarakat Adat diakui oleh banyak studi internasional sebagai penjaga ekosistem paling efektif di dunia. Mereka menjaga hutan, air, flora-fauna, serta nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi penyangga kehidupan. Namun di Indonesia, belum ada payung hukum nasional yang komprehensif dan mengikat secara yuridis untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Akibatnya, terjadi eksploitasi wilayah adat, pembabatan hutan, konflik sosial, serta ancaman kepunahan terhadap identitas budaya yang unik. Artikel ini menganalisis pentingnya Undang-Undang tentang Masyarakat Adat melalui perspektif ajaran Hindu yang menempatkan masyarakat adat sebagai bagian tak terpisahkan dari kosmos dharma.
---
Pendahuluan
Di berbagai belahan dunia, riset ilmiah—termasuk laporan dari World Resources Institute (WRI), FAO, dan IPBES—menunjukkan bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga alam paling efektif. Mereka hidup selaras dengan hutan, menjaga biodiversitas, serta melestarikan air, obat tradisional, dan budaya lokal.
Namun, di Indonesia, Masyarakat Adat belum diakui secara utuh oleh sistem hukum nasional. Ketidakhadiran Undang-Undang yang secara khusus dan tegas mengakui serta melindungi hak Masyarakat Adat menyebabkan:
Marjinalisasi sosial dan ekonomi
Konflik lahan dan perampasan wilayah adat
Pembabatan hutan yang mengancam keberlangsungan lingkungan
Kehilangan warisan budaya dan sistem pengetahuan tradisional
---
Perspektif Hindu: Masyarakat Adat sebagai Yogi Ekologis
Dalam ajaran Hindu, hubungan manusia dengan alam bukan hanya sekadar relasi eksploitasi, tetapi relasi spiritual yang disebut ṛta—hukum keteraturan kosmis. Masyarakat Adat menjalankan ṛta dalam praktik nyata melalui pelestarian hutan dan kehidupan yang harmonis dengan alam.
Sloka Ṛgveda X.90.12
Sanskerta:
candramā manaso jātaś cakṣoḥ sūryo ajāyata
Transliterasi:
Candramā manaso jātaś, cakṣoḥ sūryo ajāyata
Makna:
Bulan lahir dari pikiran Purusha, dan matahari dari matanya.
Relevansi:
Alam semesta adalah tubuh kesadaran tertinggi. Hutan, mata air, dan gunung adalah bagian dari jiwa kosmik. Masyarakat Adat merawatnya bukan karena nilai ekonomi, tetapi karena kesadaran spiritual.
---
Ketidakhadiran UU: Penyangkalan terhadap Dharma dan Identitas Leluhur
Ketika Masyarakat Adat tidak diakui secara hukum, maka negara melakukan penyangkalan terhadap sumber-sumber kearifan asli. Ini bertentangan dengan prinsip Hindu yang menghormati para pitr (leluhur) dan rṣi (bijak) yang mengajarkan svadharma (dharma khas tiap komunitas).
Sloka Bhagavad Gītā III.35
Sanskerta:
śreyān svadharmo viguṇaḥ paradharmāt svanuṣṭhitāt
Transliterasi:
Śreyān svadharmo viguṇaḥ paradharmāt svanuṣṭhitāt
Makna:
Lebih baik menjalankan dharma sendiri meskipun kurang sempurna, daripada menjalankan dharma orang lain dengan sempurna.
Relevansi:
Setiap Masyarakat Adat memiliki svadharma-nya—cara hidup, kepercayaan, dan hubungan spiritual dengan alam. Negara semestinya menghargai dan melindungi itu melalui UU yang sah.
---
Akibat Hukum yang Lemah: Hilangnya Dharma Ekologis
Ketika negara tidak memiliki peraturan nasional yang tegas, terjadi pengingkaran dan pengabaian. Ini berdampak pada:
Perampasan wilayah adat oleh korporasi
Hilangnya sumber air dan obat alami
Punahnya bahasa, ritual, dan tradisi sakral
Konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dan negara
Sloka Atharva Veda XII.1.12
Sanskerta:
mātā bhūmiḥ putro ahaṁ pṛthivyāḥ
Transliterasi:
Mātā bhūmiḥ putro ahaṁ pṛthivyāḥ
Makna:
Bumi adalah ibu, aku adalah putranya.
Relevansi:
Jika Masyarakat Adat adalah anak-anak sejati bumi, maka UU adalah perlindungan agar mereka tidak teraniaya oleh keserakahan sistemik.
---
Solusi: Mendesak Disahkannya UU Masyarakat Adat
Pengakuan formal melalui UU Masyarakat Adat harus mencakup:
1. Hak atas wilayah adat dan pengelolaannya secara mandiri
2. Perlindungan hukum dari perampasan tanah dan sumber daya
3. Penguatan hak atas pendidikan, budaya, dan bahasa lokal
4. Pengakuan terhadap sistem kepercayaan dan kelembagaan adat
Sloka Manusmṛti VII.202
Sanskerta:
rājā dharmasya kāryasya kartā bhavati śāsitā
Transliterasi:
Rājā dharmasya kāryasya kartā bhavati śāsitā
Makna:
Seorang raja (pemimpin negara) bertugas menegakkan dharma dan menegakkan keadilan.
Relevansi:
Negara sebagai pemimpin rakyat harus menjalankan dharma, termasuk dharma ekologis dan budaya yang dijaga oleh Masyarakat Adat.
---
Penutup
Masyarakat Adat bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi penjaga masa depan. Mereka bukan beban pembangunan, tetapi fondasi keberlanjutan. Ketidakhadiran UU khusus adalah bentuk kealpaan negara terhadap akar kebudayaan Nusantara.
Maka, lahirnya UU Masyarakat Adat bukan sekadar legal formal, tapi perwujudan dari Dharma Negara.
Saatnya kita berhenti menunda dan mulai melindungi yang menjaga.
---
Sloka Penutup – Ṛgveda V.60.5
Sanskerta:
yé te pānthāṁ purāṇám vītásāḥ śívó naḥ santu
Transliterasi:
Ye te pānthāṁ purāṇám vītásāḥ śivó naḥ santu
Makna:
Jalan suci yang telah dilalui leluhur, semoga menjadi jalan keselamatan bagi kita.
---
Rahayu...
Shantiḥ, Shantiḥ, Shantiḥ…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar