Rabu, 28 Mei 2025

Sengkuni: Lidah Api šŸ”„ di Balik Tirai Istana

Sengkuni: Lidah Api šŸ”„ di Balik Tirai Istana

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Ia tidak menjinjing pedang,
tidak pula menghunus panah.
Langkahnya pelan, wajahnya sendu,
namun dalam tiap ucapannya,
tersimpan ribuan perang yang menunggu waktu.

Ia adalah Sengkuni,
penjaja racun yang membungkusnya dengan manis.
Bicaranya lembut,
seperti nyanyian angin di sore hari,
namun berisi bara yang membakar nurani.

Bukan kesatria,
bukan pula pendeta.
Ia hanya seorang paman,
yang mengukir dendam dalam sunyi,
mengasah kata menjadi belati,
menusuk tak tampak—tapi mematikan.

Lidahnya adalah belut di lumpur kekuasaan,
liat, licik, lihai memutar arah arus sejarah.
Dengan dadu, ia robohkan martabat.
Dengan bisikan, ia bujuk langit untuk menurunkan badai.

"Tahta adalah hakmu," katanya,
"Mereka perampas yang berkedok saudara."
Dan tawa Duryudana pun meledak,
seiring runtuhnya jembatan persaudaraan.

Sengkuni tahu:
ia tak perlu turun ke medan laga,
cukup duduk di balik layar,
menarik benang-benang dusta
hingga lakon Bharata berakhir dengan tragedi.

Ia bukan dalang bijak—
tapi penghasut yang menjual muslihat,
dan dalam setiap senyumnya,
tersimpan luka purba
yang dijadikan bahan bakar
untuk membakar negeri.

Dewi Drupadi diseret ke lantai,
disorak dalam aula kekuasaan,
sementara Sengkuni tertawa
—bukan karena kemenangan,
tapi karena kehancuran
yang telah lama ia rancang.

Namun waktu,
meski sering diselewengkan oleh tipu daya,
tak pernah buta.
Kurukshetra menjadi cermin,
tempat segala bayangan dusta
dipaksa menatap diri.

Dan ketika tulangnya remuk
di tangan Bima yang murka,
itu bukan pembalasan,
melainkan keadilan
yang akhirnya menemukan wujudnya.

Sengkuni pun abadi,
bukan sebagai tokoh agung,
tapi sebagai peringatan—
bahwa negeri bisa hancur,
bukan oleh musuh dari luar,
melainkan dari lidah berbisa
yang kita biarkan tumbuh
tanpa suara, tanpa lawan,
di dalam rumah kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar