Selasa, 20 Mei 2025

PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA MENGHIAS DIRI

PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA MENGHIAS DIRI, BUKAN SEKADAR MENGEMBANGKAN PRODUKTIVITAS

(Poto Made Tawa kakek 40 cucu, raih gelar S1 di usia 81 tahun) 


Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
---

ABSTRAK

Pendidikan sering kali dipersempit dalam konteks fungsional sebagai alat menuju pekerjaan dan kekayaan. Akibatnya, mindset banyak orang telah tersetting menjadi sekadar alat produksi ekonomi. Artikel ini mencoba mendobrak cara pandang sempit tersebut dengan menyuguhkan pendekatan filosofis Hindu, bahwa ilmu sejatinya adalah sarana adhyatmika—penghias batin yang akan terus membentuk nilai diri meski tanpa jaminan kerja atau kekayaan. Ilmu adalah nilai, bukan alat semata.

Kata Kunci: Pendidikan, Mindset, Nilai Diri, Sloka Hindu, Filosofi Ilmu
---

PENDAHULUAN

Mindset masyarakat kita cenderung menyempitkan makna pendidikan menjadi sekadar proses produksi tenaga kerja. Ukuran keberhasilan studi sering kali dinilai dari cepat atau tidaknya seseorang memperoleh pekerjaan dan seberapa besar gaji yang diterima. Maka tidak heran, saat seseorang menuntut ilmu, pertanyaan yang muncul bukan "apa yang akan saya pahami?" melainkan "apa yang akan saya dapatkan?"

Padahal, dalam filosofi Hindu, ilmu (vidyā) bukan hanya alat untuk meraih dunia, tetapi jalan untuk memperindah kesadaran. Pendidikan adalah sarana adhyātmika saṁskāra—proses mengukir diri secara substansial, bukan sekadar mengelap casing.
---

TINJAUAN FILOSOFIS: ILMU SEBAGAI PENGHIAS DIRI


Dalam perspektif Hindu, ilmu (vidyā) bukan hanya sarana untuk mendapatkan kecerdasan atau keterampilan, melainkan jalan suci menuju pencerahan batin dan kebahagiaan sejati (sukha). Ilmu yang sejati adalah ilmu yang menghiasi diri dengan sikap dan perilaku yang dilandasi dharma. Dengan kata lain, ilmu adalah perhiasan batin yang tidak hanya memperindah pemikiran, tetapi juga membentuk karakter yang luhur.


Sloka dari Manusmṛti (4.138)


सत्यं ब्रूयात् प्रियं ब्रूयान्न ब्रूयात् सत्यमप्रियम्।

प्रियं च नानृतं ब्रूयादेष धर्मः सनातनः॥


Transliterasi:

Satyaṁ brūyāt priyaṁ brūyān na brūyāt satyam apriyam,

Priyaṁ ca nānṛtaṁ brūyād eṣa dharmaḥ sanātanaḥ.


Makna:

"Katakanlah kebenaran, namun dengan cara yang menyenangkan; jangan ucapkan kebenaran yang menyakitkan. Jangan pula mengucapkan sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak benar. Inilah dharma yang abadi."


Sloka ini memberikan penekanan bahwa ilmu tidak semestinya digunakan untuk menyombongkan diri atau menjatuhkan orang lain dengan kebenaran yang kasar, melainkan dipraktikkan dalam kerangka dharma – jalan kebenaran dan kebajikan. Ilmu yang diarahkan oleh dharma akan melahirkan satya (kejujuran), karuṇā (welas asih), dan vinaya (kerendahan hati). Maka dari itu, ilmu sejati bukanlah sarana instan untuk mengejar artha (kekayaan), tetapi tangga moral menuju kehidupan yang selaras dengan hukum alam semesta.


Sloka Umum tentang Catur Puruṣārtha

धर्मार्थकाममोक्षाणां मार्गः पन्था सनातनः।


Transliterasi:

Dharmārtha-kāma-mokṣāṇāṁ mārgaḥ panthā sanātanaḥ.


Makna:

"Jalan menuju dharma, artha, kāma, dan mokṣa adalah jalan yang abadi."


Sloka ini menegaskan bahwa dalam ajaran Hindu, dharma adalah fondasi utama. Artha (kekayaan) dan kāma (kenikmatan) hanya layak dikejar bila berada di bawah bimbingan dharma. Maka urutan dalam Catur Puruṣārtha bukanlah sekadar rangkaian konsep, melainkan susunan filosofis yang menunjukkan hierarki etis: dharma lebih dulu, baru artha dan kama, yang pada akhirnya menuntun pada mokṣa (kebebasan sejati).

Ilmu yang menghiasi diri adalah ilmu yang dipraktikkan dengan rendah hati dan bijaksana. Ia bukan alat untuk mengejar status atau materi, melainkan cahaya yang menerangi jalan dharma. Ilmu semacam ini akan melahirkan kehidupan yang tidak hanya sejahtera secara lahiriah, tetapi juga damai secara batiniah. Oleh karena itu, dalam kerangka Catur Puruṣārtha, ilmu hendaknya digunakan untuk memperkuat dharma, bukan melanggarnya demi artha atau kama yang bersifat sementara.

Dengan demikian, filsafat Hindu mengajarkan kita bahwa ilmu yang sejati adalah yang membimbing menuju kebijaksanaan, bukan semata-mata kecerdasan.

---

PEMBAHASAN

1. Mindset “Alat Produksi”: Warisan Sistem Industri

Sistem pendidikan modern diwariskan dari semangat Revolusi Industri: mencetak buruh dan profesional demi roda ekonomi. Maka tak heran jika paradigma dominan adalah: belajar untuk bekerja, bukan belajar untuk menjadi.

Akibatnya, lahirlah generasi yang lebih peduli pada seberapa cepat mendapat pekerjaan daripada seberapa dalam ia mengerti sesuatu. Ilmu hanya menjadi alat, bukan nilai.

2. Menghiasi Diri dengan Ilmu, Bukan Sekadar Meninggikan Status

Dalam teks Mahābhārata:

न चोर हार्यं न च राज हार्यं
न भ्रातृभाज्यं न च भारकारी।
व्यये कृते वर्धते नित्यं
विद्या धनं सर्व धनात् प्रधानम्॥

Transliterasi:
Na cora hāryaṁ na ca rāja hāryaṁ,
Na bhrātṛ-bhājyaṁ na ca bhārakārī,
Vyaye kṛte vardhate nityaṁ
Vidyā dhanaṁ sarva-dhanāt pradhānam.

Makna:
"Ilmu tidak bisa dicuri pencuri, tidak dirampas raja, tidak dibagi oleh saudara, dan tidak membebani tubuh. Bahkan jika digunakan, ilmu justru semakin bertambah. Ilmu adalah kekayaan tertinggi dari semua kekayaan."

Ilmu adalah milik pribadi yang tak ternilai. Ia bukan beban, melainkan perhiasan batin yang setia, bahkan saat semua ornamen duniawi pergi.

3. Menjadi Nilai Itu Sendiri

Pendidikan sejati bukan menjanjikan pekerjaan atau kekayaan, tetapi membentuk nilai diri. Bila seseorang sungguh menghidupi ilmunya, maka kehadirannya akan dibutuhkan bahkan tanpa ia menawarkan diri. Ia menjadi "nilai jual" itu sendiri, bukan karena casingnya, tetapi karena substansinya.

Sebagaimana dinyatakan dalam Chāndogya Upaniṣad:

तदेतत् प्रेयः पुत्र कामाय कामो जायायै कामः पशूनां कामो ब्रह्मवर्चसस्य कामः।
न आत्मनः प्रियं प्रियो भवति॥

Transliterasi:
Tad etat preyaḥ putra kāmāya kāmaḥ jāyāyai kāmaḥ paśūnāṁ kāmaḥ brahmavarcasasya kāmaḥ,
Na ātmanaḥ priyaṁ priyo bhavati.

Makna:
"Segala sesuatu dicintai bukan karena benda itu sendiri, melainkan karena diri yang mencintainya (nilai diri yang membentuk nilai benda itu)."
---

KESIMPULAN

Ilmu bukan sekadar jalan menuju pekerjaan. Ia adalah upaya membentuk manusia seutuhnya. Pekerjaan adalah konsekuensi, kekayaan adalah bonus. Tetapi ilmu, bila dihayati sepenuh hati, akan menjadi perhiasan diri yang tak akan pernah usang. Pendidikan sejati adalah upaya berkesadaran untuk memperindah batin, bukan sekadar mempertebal dompet.
---

SARAN

Perlu pergeseran paradigma dari “belajar untuk bekerja” menjadi “belajar untuk menjadi”.

Institusi pendidikan hendaknya memperkuat pendekatan humanistik dan spiritual.

Masyarakat perlu menghargai ilmu sebagai nilai, bukan alat komersial semata.

Ilmu yang diamalkan adalah investasi batin yang paling abadi.
---

DAFTAR PUSTAKA

Manusmṛti.

Mahābhārata.

Chāndogya Upaniṣad.

Sharma, Arvind. (2000). Classical Hindu Thought. Oxford University Press.

Tilak, B.G. (2016). Gita Rahasya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar