đ° Koran Ilmiah Dharma Wacana
Edisi Spesial: Antara Isyarat Ajal dan Misteri Ida Sanghyang Widhi Wasa
Judul:
“Saat Tangan Melemah, Kain Panjang Disentuh: Isyarat Ajal atau Getar Rohani?”
Oleh:
I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
Abstrak:
Fenomena orang sakit yang menggenggam atau memainkan kain panjang seringkali dikaitkan dengan isyarat kedatangan ajal. Dalam masyarakat Hindu Bali, tanda-tanda semacam itu tak jarang dipahami sebagai komunikasi halus antara roh (Ätman) dan alam niskala. Artikel ini menggali perspektif teologi Hindu, filsafat tattwa, dan etnografi spiritual untuk memahami makna simbolik dari gerakan-gerakan terakhir seseorang menjelang kematian, serta bagaimana masyarakat menafsirkan tanda-tanda itu sebagai bagian dari dharmika darsana.
---
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk rohani yang terbungkus oleh unsur jasmani. Dalam tradisi spiritual Bali, tubuh fisik disebut sthulasharira, sementara tubuh halus (suksma sharira) menyimpan energi kehidupan. Ketika seseorang dalam keadaan sakit berat atau menjelang meninggal dunia, perilaku dan gerak tubuhnya sering kali memunculkan tanda-tanda yang dipercaya sebagai pitutur niskala—komunikasi antara dunia sekala dan niskala. Salah satu fenomena menarik adalah saat orang sakit mulai menggenggam dan memainkan kain panjang—baik selendang, kamen, atau kain tidur.
---
Tinjauan Kontekstual dan Budaya
Dalam budaya Bali, kain panjang memiliki nilai simbolik. Ia sering digunakan dalam upacara keagamaan sebagai pembungkus kesucian tubuh, simbol pemisah duniawi dan rohani. Ketika seseorang memainkan kain tersebut menjelang ajal, masyarakat sering memaknainya sebagai pertanda ÄtmÄ sedang mencari jalan mokášŖa, pembebasan dari samsara.
---
Perspektif Teologi Hindu
Dalam ajaran Tattwa Hindu Bali, kematian bukanlah akhir, melainkan transisi menuju kelahiran kembali (punarbhawa) atau kebebasan mutlak (mokášŖa). Sloka dalam Katha Upanishad menjelaskan:
> ⤍ ā¤ा⤝⤤े ā¤Ž्⤰ि⤝⤤े ā¤ĩा ā¤ā¤Ļाā¤ि
⤍्⤍ा⤝ं ā¤ू⤤्ā¤ĩा ā¤ā¤ĩि⤤ा ā¤ĩा ⤍ ā¤ू⤝ः।
ā¤
ā¤ो ⤍ि⤤्⤝ः ā¤ļाā¤ļ्ā¤ĩ⤤ोā¤Ŋ⤝ं ā¤Ēु⤰ा⤪ो
⤍ ā¤šā¤¨्⤝⤤े ā¤šā¤¨्ā¤¯ā¤Žा⤍े ā¤ļ⤰ी⤰े॥
na jÄyate mriyate vÄ kadÄcit
nÄyaáš bhÅĢtvÄ bhavitÄ vÄ na bhÅĢyaá¸Ĩ
ajo nityaá¸Ĩ ÅÄÅvato'yaáš purÄášo
na hanyate hanyamÄne ÅarÄĢre॥
(Bhagavad GÄĢtÄ 2.20)
Artinya: “Atman tidak dilahirkan dan tidak mati; Ia tidak muncul dan tidak lenyap. Ia tidak dilahirkan, abadi, kekal, dan purba. Ia tidak dibunuh ketika badan jasmani dibinasakan.”
Sloka ini menegaskan bahwa gerakan terakhir seseorang, termasuk memainkan kain, bukanlah sekadar hal biologis, tetapi manifestasi dari gelombang akhir antara roh dan jasad, saat atman hendak meninggalkan stulasharira.
---
Psikologi Transpersonal
Beberapa pendekatan psikologi spiritual menganggap bahwa manusia di ambang kematian mengalami kesadaran transendental, di mana gerakan refleks atau kebiasaan memiliki makna simbolik. Gerakan terhadap benda-benda familiar seperti kain, dianggap sebagai mekanisme kenyamanan batin, atau bahkan sebagai ritual bawah sadar sebelum melepas dunia.
---
Kesimpulan
Fenomena seseorang yang memainkan kain panjang dalam keadaan sakit berat tidak bisa serta-merta dianggap sebagai tanda pasti ajal, namun dalam konteks budaya dan spiritual Hindu Bali, hal itu bisa dimaknai sebagai isyarat niskala. Sebab, hidup dan mati adalah rahasia Ida Sanghyang Widhi Wasa. Tugas kita adalah menyertainya dengan doa, dharma, dan kasih.
---
Penutup
Mari renungkan:
> “Urip punika layon anglengas, yening tan dados eling.”
Hidup hanyalah jasad bernafas bila tidak diiringi kesadaran rohani.
Ketika melihat tanda-tanda menjelang kepergian, jangan terburu menilai, tetapi bersikaplah hening, suci, dan tulus mendoakan, sebab saat roh hendak pulang ke asalnya, ia membutuhkan cahaya cinta dan kedamaian dari orang-orang yang ditinggalkan.
---
đ¯️ Damai bagi setiap jiwa yang bersiap pulang.
đŋ Om SÄnti SÄnti SÄnti Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar