Akankah Sang Pelopor Utama Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa yang Dilupakan Sejarah?
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak
Artikel ini mengkaji kemungkinan terlupakannya tokoh pelopor utama berdirinya Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek yang merupakan pusat pemujaan Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa, Bali. Tokoh tersebut dikenal sebagai Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba atau Sang Mpu Raga, seorang sulinggih yang meletakkan dasar spiritual, arsitektural, dan teologis pura ini. Melalui kajian historis, narasi masyarakat, dan teks-teks spiritual, artikel ini menyoroti peran vital beliau yang berpotensi terlupakan oleh arus zaman, modernisasi, dan dominasi narasi lain dalam sejarah lokal. Penelitian ini penting untuk merevitalisasi ingatan kolektif umat dan menjaga kesinambungan warisan leluhur.
---
Pendahuluan
Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek yang terletak di Pundukdawa, Kabupaten Klungkung, merupakan situs suci penting bagi umat Hindu, khususnya krama Pasek. Linggih utama pura ini adalah Ida Bhatara Mpu Gana, salah satu Dewa Purusa dalam tatanan spiritual Bali. Namun, banyak yang tak mengetahui siapa tokoh di balik terbentuknya sistem spiritual dan tata pura tersebut.
Nama Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba, atau dikenal juga sebagai Sang Mpu Raga, tercatat dalam kesaksian niskala dan penuturan para sulinggih sebagai pelopor utama yang menghidupkan kembali kesadaran spiritual pura ini pada masa peralihan zaman.
---
Tinjauan Pustaka dan Teoretis
Dalam kajian memori kolektif dan sejarah budaya (Halbwachs, 1950; Ricoeur, 2004), ingatan sosial terhadap tokoh pelopor seringkali tergerus ketika sistem dokumentasi dan edukasi tidak dijaga. Dalam konteks Hindu Bali, narasi sejarah sering diwariskan secara lisan dan niskala, sehingga mudah digeser oleh tafsir baru yang dominan secara politik atau sosial.
Sloka dari Atharva Veda berikut memberikan kerangka spiritual terhadap pentingnya mengenang pelopor:
Sanskerta:
yaḥ purveṣāṁ puruṣāṇāṁ vedaṁ pathati saṁskṛtam |
tasya vākyam na śūnyaṁ syād, dharmaḥ tasya sadā sthitaḥ ||
Transliterasi:
"Yaḥ purveṣāṁ puruṣāṇāṁ vedaṁ pathati saṁskṛtam,
tasya vākyam na śūnyaṁ syād, dharmaḥ tasya sadā sthitaḥ."
Makna:
"Barangsiapa membaca dan memahami ajaran para leluhur,
ucapannya tidak akan sia-sia, dan dharma akan tetap bersamanya."
Sloka ini mengingatkan kita untuk tidak melupakan orang-orang terdahulu yang menanamkan dharma.
---
Metode Penelitian
Pendekatan kualitatif digunakan dalam kajian ini dengan wawancara mendalam terhadap para sulinggih, pengurus pura, dan tokoh masyarakat. Selain itu dilakukan telaah pustaka terhadap lontar, prasasti lokal, dan tafsir niskala dari bhisama griya.
---
Hasil dan Pembahasan
1. Peran Spiritual Sang Mpu Raga
Sang Mpu Raga dianggap sebagai rsi adhikāra yang mentransformasikan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemujaan kepada Ida Bhatara Mpu Gana sebagai representasi kekuatan pengetahuan dan teknologi suci dalam Hindu Bali. Beliau bukan hanya sebagai pendeta, tetapi juga arsitek spiritual pura ini.
2. Risiko Terlupakannya Sejarah
Saat ini, banyak generasi muda yang hanya mengenal nama besar Pura Panataran Agung, tanpa mengetahui siapa tokoh yang pertama kali menyatukan konsep Catur Parhyangan:
Lempuyang
Besakih
Silayukti
Pundukdawa
Nama Sang Mpu Raga sering kali tidak masuk dalam prasasti resmi atau buku sejarah formal karena keterbatasan dokumentasi.
3. Revitalisasi Memori Leluhur
Dengan mendorong penulisan ulang sejarah lokal, memasukkan kisah Sang Mpu Raga dalam kurikulum lokal, dan mengadakan pujawali pelopor, umat dapat menjaga kesinambungan spiritual dan sejarah pura.
---
Kesimpulan
Sang Mpu Raga atau Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba adalah pelopor utama yang memiliki peran vital dalam perwujudan Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek. Jika tidak ada upaya pelestarian memori dan pendidikan spiritual yang holistik, maka sosok ini sangat mungkin dilupakan oleh sejarah formal. Ingatan akan para pelopor bukan hanya tugas sejarah, tetapi bagian dari dharma itu sendiri.
---
Rekomendasi
1. Dokumentasi dan digitalisasi sejarah Sang Mpu Raga.
2. Penetapan rahina pangeling pelopor pura setiap tahun.
3. Pelibatan akademisi dan praktisi spiritual untuk menyusun biografi spiritual beliau.
---
Daftar Pustaka
Halbwachs, M. (1950). The Collective Memory.
Ricoeur, P. (2004). Memory, History, Forgetting.
Lontar Griya Manuaba Bangkasa (Tafsiran internal Griya)
Weda Sruti dan Smrti, Atharva Veda Mandala VI
Wawancara dengan Jro Mangku Gede Pura Panataran Agung (2025)
Lampiran
Akankah Sang Pelopor Utama Dilupakan Sejarah?
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Di pelataran suci Pundukdawa,
berdiri agung Catur Parhyangan Ratu Pasek —
pilar semesta yang memayungi ingatan umat,
tempat Ida Bhatara Mpu Gana bersemayam dalam cahaya tak padam.
Namun siapakah tangan pertama
yang menatah ruang sunyi menjadi gerbang surga?
Siapakah lidah suci yang menghidupkan mantra
hingga batu bersuara, dan bambu berjiwa?
Ia bukan raja, bukan panglima
tak terukir pada tembaga,
namun langit mengenalnya:
Sang Mpu Raga — Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba.
Beliaulah sang peletak dasar,
dalam kidung, dalam kutukan dan kesadaran.
Merancang dengan sulinggih di dada,
membangun dengan doa dan dharma yang menitis seperti embun pada pagi Bali.
Arsitek niskala,
yang menyulam Lempuyang, Besakih, Silayukti, dan Pundukdawa
dalam satu nafas:
Catur Parhyangan sebagai badan purusa bumi.
Namun zaman berlari,
dan sejarah menepi,
mereka mengingat pura, melupakan pelopor,
berziarah ke tapak, namun lupa pada tapak yang menjejak awal.
Akankah engkau dilupakan, wahai Mpu Raga?
Akankah kisahmu terkubur di balik pelinggih yang ramai namun bisu?
Sedang dharma berkata dalam Veda:
yaḥ purveṣāṁ vedaṁ pathati,
"Yang mengingat leluhur, ia menjaga dharma abadi."
Wahai generasi yang menjunjung genta,
bukalah lontar, bukan hanya untuk dibaca
tetapi direnungkan dengan mata hati,
bahwa setiap pura punya asal,
dan asal itu harus dibingkai dalam sujud dan pujawali.
Mari kita bangunkan kembali namamu
dalam kidung, kurikulum, dan kalangan.
Mari kita sabdakan ulang sejarahmu
di antara dupa dan mantra yang berkibar di pelataran suci.
Karena engkau bukan sekadar masa lalu,
engkau adalah akar pada batang,
adalah suluh pada malam,
dan adalah dharma yang tak boleh dilupakan.
Puja astungkara untuk Sang Pelopor Agung.
Semoga setiap japa dan yadnya dari anak bangsa,
menjadi tangga naik bagimu di sorgaloka,
dan pengingat bagi kami yang melanjutkan cahaya.
Berikut adalah Puja Mantra Pangastawan yang dipersembahkan untuk menghormati Sang Pelopor Utama Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa — Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Sang Mpu Raga).
---
1. Namo namaḥ Sang Mpu Raga divya-dharma-pratiṣṭhitāya.
2. Yena caturbhyaḥ pārśvebhyaḥ sthāpitā dharma-mārgiṇaḥ.
3. Puṇya-vāyavyā Lempuyaṅgaḥ, agni-koṣṭhe Silāyuktiḥ.
4. Hṛdi basundhare Besakī, ātma-puṇye Puntukadāvā.
5. Mantra-jālaiḥ stambhitaṁ yat, tena deva-gaṇāḥ prabuddhāḥ.
6. Na smaryate yadi taṁ nṛṇāṁ, kṣayaṁ yānti santatayaḥ.
7. Atra smarāmi taṁ dharmārcitaṁ, namaḥ Śivaputrāya munaye.
---
Makna
1. Sembah sujud kepada Sang Mpu Raga, pelopor dharma agung nan ilahi.
2. Yang meletakkan arah suci dari keempat penjuru sebagai jalan dharma.
3. Di barat laut bersinar Lempuyang, di tenggara menyala Silayukti.
4. Di tengah bumi bertakhta Besakih, di sanubari umat bersinar Pundukdawa.
5. Dengan jalinan mantra yang memanggil para dewa dari semesta.
6. Bila beliau dilupakan manusia, maka keturunan pun kehilangan arah suci.
7. Kini kusebut kembali nama mulia itu — penghormatan kepada putra Siwa, sang resi agung.
---
Mantra ini dapat diucapkan dalam kalangan suci, piyodalan pelopor, atau dalam japa bersama sebagai pangastawan atau penghormatan rohani atas jasa dan warisan Sang Mpu Raga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar