Pengabenan Tiap Hari di Satu Setra: Bolehkan dalam Hindu?
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pendahuluan
Dalam masyarakat Bali yang menganut ajaran Hindu, upacara ngaben (pengabenan) adalah salah satu upacara penting dalam siklus kehidupan, sebagai proses penyucian roh leluhur agar mencapai moksha atau kelahiran kembali yang lebih baik. Namun, di tengah pertumbuhan penduduk dan perubahan zaman, muncul pertanyaan:
Apakah boleh melakukan upacara pengabenan setiap hari pada satu setra tanpa mempertimbangkan lagi ala-ayuning dewasa (hari baik)?
Tantangan Modernisasi dan Kenyataan Sosial
Jumlah penduduk yang semakin padat tentu berdampak pada frekuensi kematian. Di beberapa wilayah, hampir setiap hari terjadi kematian, yang otomatis menuntut tempat pengabenan (setra) aktif hampir tanpa jeda. Kondisi ini memunculkan pertimbangan praktis untuk tidak terlalu terikat pada hitungan dewasa ayu seperti dahulu.
Namun dalam ajaran Hindu, setiap tindakan suci tetap idealnya mengikuti “desa, kala, patra”:
> देश काल पात्र विचारः कर्तव्यः।
Deśa kāla pātra vicāraḥ kartavyaḥ
Pertimbangan tempat, waktu, dan kondisi individu harus diperhatikan dalam pelaksanaan ritual.
Artinya, walaupun secara prinsip pengabenan dilakukan berdasarkan dewasa ayu yang baik, namun ketika kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat berubah, pendekatan yang adaptif diperlukan—selama tidak melanggar dharma.
Sloka Relevan dari Manusmṛti:
> धर्म्यं यत् स्यात् स धर्मः।
Dharmyaṁ yat syāt sa dharmaḥ.
Apa pun yang sesuai dengan prinsip kebenaran, itulah dharma.
Jika dilakukan dengan niat tulus, dengan pemangku atau sulinggih sebagai pemimpin upacara, serta tidak melanggar prinsip dasar kesucian dan penghormatan terhadap atma, maka pengabenan setiap hari di satu setra bisa dimaklumi dalam konteks kala dan patra.
Perihal Dewasa Ayu di Zaman Modern
Tradisi Hindu Bali sangat menghormati wariga (ilmu perbintangan dan perhitungan waktu). Namun, wariga bukan satu-satunya sumber kebenaran. Dalam Taittiriya Brahmana disebutkan:
> ऋतं च सत्यम् च अभिध्दात्तं।
Ṛtaṁ ca satyaṁ ca abhidhāttam
Hukum alam dan kebenaran berjalan seiring.
Jika secara moral, spiritual, dan sosial pengabenan dilakukan dengan benar dan tidak menyalahi etika, maka ia tetap sah secara dharma meskipun tidak dilakukan pada dewasa utama menurut wariga. Justru, menunda-nunda karena menunggu hari baik dapat menjadi ketidakwajaran ketika kondisi tidak memungkinkan.
Kalimat Bijak dalam Sanskerta
> कर्तव्यं कर्म यत्नेन, न कालस्य निरिक्षया।
धर्ममार्गे स्थितः सन्तः, कालं न प्रत्युपासते।
Transliterasi:
Kartavyaṁ karma yatnena, na kālasya nirīkṣayā.
Dharmamārge sthitaḥ santaḥ, kālaṁ na pratyupāsate.
Makna:
Kewajiban hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan semata menunggu waktu.
Orang bijak yang berada di jalan dharma tidak selalu bergantung pada waktu tertentu.
Kesimpulan
Pengabenan adalah wujud bhakti dan pelepasan jiwa ke alam yang lebih tinggi. Pelaksanaan tiap hari di satu setra boleh saja, asalkan tetap menjaga unsur kesucian, ketulusan, dan dipimpin oleh pemangku yang memahami etika ritual. Ala ayuning dewasa tetap penting, namun dalam konteks modernisasi dan keterbatasan, fleksibilitas menjadi bagian dari pelaksanaan dharma yang kontekstual.
Ajaran Hindu bukan agama yang kaku, melainkan ajaran anukūla dharma—dharma yang menyesuaikan diri demi kebaikan yang lebih besar.
> "सर्वं खल्विदं ब्रह्म" – Chandogya Upaniṣad
Segala sesuatu adalah Brahman (sumber ilahi) – maka setiap tindakan suci, dilakukan dengan kesadaran, tetap bersifat spiritual, tak terbatas oleh waktu teknis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar