Jumat, 30 Mei 2025

Diksa saat Ngaskara

“Ngaben sebagai Diksa Suci—Dari Badan Kasar Menuju Keagungan Atman”

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Peneliti Teologi Hindu – Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar
---

Pendahuluan

Ngaben bukan sekadar upacara kematian, melainkan sebuah proses transformasi spiritual yang agung. Ia bukan hanya simbol pelepasan badan kasar, tetapi juga tahapan penting dalam spiritualitas Hindu sebagai proses Diksa untuk Atman. Dalam perspektif tattwa, badan lahir dari ibu, namun pengetahuan dan kesucian spiritual diperoleh melalui sang nabe (guru suci). Maka proses Ngaben adalah ngaskara, yang secara harfiah berarti “menyucikan kembali,” dan secara spiritual berarti “mengangkat Atman menjadi Sulinggih.”
---

Ngaben dan Makna Diksa: Tubuh dari Ibu, Ilmu dari Nabe

Dalam tradisi Hindu Bali, pemahaman metafisik bahwa badan ini merupakan hasil rahim ibu, sementara pengetahuan sejati adalah anugerah guru, menjadi fondasi kuat pemaknaan upacara Ngaben.

> "Janmato mātṛto deham, jñānam tu guruto bhavet."
Transliterasi:
"Janmato mātṛto deham, jñānam tu guruto bhavet."
Makna:
“Dari ibu lahirlah tubuh jasmani, namun dari guru lahirlah pengetahuan sejati.”


Sloka ini mempertegas bahwa kelahiran biologis tidak cukup untuk memurnikan jiwa. Harus ada kelahiran kembali melalui guru spiritual—itulah hakikat diksa. Ngaben, pada hakikat terdalamnya, merupakan antyeshti diksa, atau inisiasi terakhir menuju kebebasan (mokṣa) atau perwujudan sebagai sulinggih niskala.
---

Ngaben sebagai Proses Ngaskara dan Pemurnian Atman

Secara etimologis, kata “Ngaben” berasal dari kata “api” yang berarti membakar. Namun secara tattwa, api bukan sekadar pembakar badan, melainkan penyucian unsur panca mahabhuta yang menyusun badan kasar.

Lima Unsur Kembali ke Asalnya:

1. Pṛthivī (tanah) kembali ke bumi

2. Āpas (air) kembali ke samudera

3. Tejas (api) kembali ke surya

4. Vāyu (udara) kembali ke angin

5. Ākāśa (eter) kembali ke ruang asalnya


> Sloka Weda:
"Yad agnau juhuyāt tan vāyau juhuyāt tad āditye juhuyāt tat paramaṁ jyotir bhavati."
Makna:
"Segala yang dipersembahkan ke dalam api, akan menuju pada angin, lalu ke matahari, dan akhirnya mencapai cahaya tertinggi."
---

Dari Atman ke Sulinggih: Transformasi Dewa Pitara

Dalam tradisi Manawa Dharmasastra, disebutkan bahwa jiwa orang yang telah diaben secara sempurna akan melewati proses:

1. Pretatva – roh halus yang baru saja meninggal

2. Pitr Tattva – roh leluhur yang telah diupacarai

3. Rsi atau Sulinggih Tattva – jiwa murni yang menyatu dengan kebijaksanaan dan menjadi niskala guru. 

4. Dewa Tattva (Nilapati Tattva)– manifestasi suci


> Sloka:
"Atmānaṁ rathinaṁ viddhi, śarīraṁ ratham eva tu, buddhiṁ tu sārathiṁ viddhi, manaḥ pragraham eva ca."

Makna:
“Ketahuilah Atman sebagai penumpang kereta, tubuh sebagai kereta itu sendiri, buddhi sebagai kusirnya, dan pikiran sebagai kendalinya.”


Melalui Ngaben, kereta (tubuh) dilepaskan, agar sang Atman melaju menuju kesadaran tertinggi tanpa beban.
---

Kesimpulan

Ngaben bukan hanya pemutusan relasi dengan dunia, tetapi penyucian spiritual sebagai diksa menuju Dewa Pitara, bahkan Sulinggih. Dari rahim ibu lahirlah badan; dari sang Nabe lahir pengetahuan. Dalam nyala suci Ngaben, jiwa bukan dimatikan, tetapi dibebaskan, dinobatkan, dan diangkat menuju kesempurnaan spiritual.
---

Penutup

Ngaben adalah jembatan antara realitas kasar dan spiritual. Ketika tubuh kembali ke unsur asalnya, Atman justru naik ke tingkat yang lebih tinggi—menjadi sulinggih niskala. Maka benar adanya:
“Ngaskara nglaksanayang diksa pinaka Rsi ring alam niskala.”
Melalui Ngaben, dilaksanakanlah diksa suci untuk memuliakan Atman sebagai Rsi dalam ketakterlihatan.



Berikut adalah puisi menggambarkan makna mendalam dari Ngaben sebagai diksa Atman menjadi sulinggih, dalam balutan keagungan spiritual Hindu:
---

“Api di Ujung Jiwa”

(Puisi Dharma Atmananda)

Api menyala di altar langit,
bukan untuk membakar,
tetapi untuk mengantar—
jiwa yang lama terikat pada ragawi,
menuju sinar abadi.

Tubuh, titisan ibu pertiwi,
kini kulepas dengan kidung suci.
Kupulangkan tanah kepada bumi,
air kepada samudera,
angin pada cakrawala,
dan nyala api kepada Surya.

Namun Atman ini,
yang tak lahir dan tak mati,
yang tak terbakar dan tak tergerus waktu—
diangkat, dipuja, dan dimahkotai
menjadi sulinggih niskala
di istana cahaya para dewa.

Aku bukan tiada,
aku menjelma aksara,
menitis pada nyanyian mantra,
membisikkan kebijaksanaan
pada putaran japa
dan getar gentha.

Guru sejati mengajarku,
bahwa kematian bukan akhir,
melainkan permulaan
dari diksa suci
menjadi sulinggih
di takhta sunyi.

Wahai api,
bawalah aku
melewati batas cakra,
menembus waringit maya,
menuju Siwa
yang menungguku
di singgasana cahaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar