Selasa, 20 Mei 2025

Pelaksanaan Upacara Ngaben Layon Dipendem

“Pelaksanaan Upacara Ngaben Layon Dipendem dalam Perspektif Tattwa Hindu: Studi atas Keterbatasan Pembakaran Jenazah di Wilayah Larangan Desa Adat”


Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:
Upacara Ngaben merupakan inti dari ritual Hindu di Bali yang bertujuan untuk membebaskan roh (atma) dari keterikatan duniawi dan mengantarkannya menuju alam moksha. Namun, terdapat desa-desa adat yang melarang pembakaran jenazah secara langsung (ngaben masatia) dengan alasan kesucian tanah, kondisi geografis, atau awig-awig tertentu. Dalam konteks tersebut, jenazah dipendem terlebih dahulu dan dilakukan pengabenan dalam bentuk nyekah atau ngaben nuntun setelah waktu tertentu. Artikel ini mengulas dasar tattwa, sloka Veda, dan adaptasi ritual Ngaben dalam kondisi tanpa pembakaran mayat langsung, serta solusi ritual yang tetap sejalan dengan ajaran dharma.


1. Pendahuluan

Di beberapa desa adat di Bali, seperti desa Bali Aga atau wilayah dengan nilai kesucian tanah yang tinggi (misalnya kawasan pura, bukit suci, atau desa dengan awig khusus), terdapat larangan membakar jenazah secara langsung. Sebagai alternatif, dilakukan pemakaman (dipendem) dan kemudian dilanjutkan dengan upacara nyekah, ngaben nuntun, atau nyawa wangun sebagai simbol pembakaran secara niskala.


2. Dasar Filosofis Upacara Ngaben

Upacara Ngaben bertujuan untuk memisahkan unsur panca mahabhuta dan membebaskan sang atma. Panca mahabhuta (tanah, air, api, udara, dan ether) harus dikembalikan kepada asalnya melalui upacara pembakaran atau bentuk simbolisnya.

Sloka Veda (Bhagavad Gītā 2.22):
Sanskerta:
vāsānsi jīrṇāni yathā vihāya, navāni gṛhṇāti naro 'parāṇi
tathā śarīrāṇi vihāya jīrṇāny, anyāni saṃyāti navāni dehī

Transliterasi:
Vāsānsi jīrṇāni yathā vihāya, navāni gṛhṇāti naro 'parāṇi;
tathā śarīrāṇi vihāya jīrṇāni, anyāni saṃyāti navāni dehī.

Makna:
Sebagaimana seseorang mengganti pakaian yang lama dengan yang baru, demikian pula sang atma meninggalkan tubuh jasmani yang lama dan mengambil tubuh baru.

Sloka ini memperkuat keyakinan bahwa tubuh jasmani bersifat sementara. Maka, baik dengan dibakar atau dipendam, yang utama adalah melepaskan keterikatan sang roh dengan unsur tubuh kasar.


3. Rasionalisasi Upacara Dipendem (Tanpa Pembakaran Mayat)

a. Awig-Awig dan Larangan Lokal

Beberapa desa memiliki awig-awig yang melarang pembakaran mayat, dengan alasan:

  • Menjaga kesucian wilayah
  • Adanya bhisama kawitan
  • Tidak tersedia tempat pemuunan
  • Nilai lokal sakral terhadap tanah

b. Ritual Alternatif

Dalam kondisi ini, yang dilakukan:

  1. Mendem Layon: tubuh dikubur secara layak
  2. Ngaben Nuntun / Nyekah: dilakukan kemudian dengan media simbolik seperti pengawak dan kajang. 
  3. Pemindahan Roh Secara Niskala: roh ‘dipanggil’ dan dituntun pada pengawak/kajang lalau dibakar secara simbolis untuk mengantar ke pitraloka

4. Dasar Sloka dan Mantra Pendukung

Sloka Atharva Veda (18.3.57):
Sanskerta:
agnir dahatu te gātram āśir yantu padaṁ divam

Transliterasi:
Agnir dahatu te gātram, āśir yantu padaṁ divam.

Makna:
Api membakar tubuhmu, semoga berkah menyertaimu menuju surga.

Bila tidak dapat dilaksanakan secara literal, maka api dalam bentuk simbolik (banten surya, api dupa, agni pratima) tetap digunakan untuk memurnikan unsur kasar roh yang telah dipendam.


5. Rekomendasi Pelaksanaan Ritual Alternatif

  • Upacara Mecaru: Membersihkan tempat pemakaman dari unsur butakala
  • Pemanggilan Roh (Nunas Atma): dengan sarana piyasan atma atau tapakan simbolik
  • Ngaben Simbolik: pembakaran pengawak dan atau kajang (ngadegang atma)
  • Nganyut: sebagai pelepasan ikatan roh ke alam suci

6. Penutup

Pelaksanaan Ngaben tidak hanya bergantung pada pembakaran jasmani secara fisik, melainkan lebih kepada proses spiritual memutus keterikatan roh pada dunia. Di wilayah yang melarang pembakaran mayat, umat Hindu tetap dapat menjalankan upacara Ngaben dengan menggunakan pendekatan simbolik dan spiritual, berdasarkan ajaran śāstra dan tattwa dharma.


Referensi:

  1. Bhagavad Gītā, Adhyaya II
  2. Atharva Veda, Kanda XVIII
  3. Manu Smṛti
  4. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Pedoman Upacara Pitra Yajña
  5. Wiana, I Ketut (2004). Upacara Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya dalam Perspektif Hindu Dharma
  6. Tim Penyusun Lontar Bali, Lontar Yama Tattwa dan Atma Prasangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar