NGACA DULU SEBELUM NGOREKSI ORANG LAIN: Tinjauan Filosofis, Psikologis, dan Teologis
Abstrak
Perilaku manusia dalam kehidupan sosial seringkali menunjukkan kecenderungan mengoreksi, mengkritik, atau bahkan menghakimi orang lain tanpa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Dalam bahasa populer, muncul ungkapan “Ngaca dulu sebelum ngoreksi orang lain,” yang merepresentasikan ajakan untuk refleksi diri. Artikel ini menganalisis makna filosofis, psikologis, dan teologis dari ungkapan tersebut, serta relevansinya dalam kehidupan masyarakat modern. Dengan pendekatan kualitatif-deskriptif, tulisan ini memuat kutipan sloka Hindu sebagai penegas nilai introspeksi diri dalam ajaran agama dan budaya Nusantara.
---
Pendahuluan
Ungkapan "boleh pinter ngomong, tapi jangan sampai lupa ngaca" yang tercantum di kaos “Kreator Kampung” membawa pesan mendalam tentang etika komunikasi dan integritas pribadi. Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali seseorang begitu pandai menilai kesalahan orang lain, namun abai terhadap kesalahan diri sendiri.
Masalah ini menyangkut etika koreksi sosial yang tidak dilandasi oleh kejujuran dan refleksi diri. Akibatnya, kritik menjadi bentuk arogansi dan bukan upaya konstruktif. Tulisan ini akan mengeksplorasi urgensi ngaca (introspeksi) dari sudut pandang filsafat, psikologi, dan ajaran Hindu.
---
A. Makna Filosofis: Cermin Diri sebagai Jalan Kebijaksanaan
Filsafat klasik telah menekankan pentingnya kenal diri sendiri (γνωθι σεαυτόν / gnōthi seauton) sebagai awal segala kebijaksanaan. Socrates menyatakan:
> "An unexamined life is not worth living."
Filsuf Timur pun senada. Dalam kebijaksanaan lokal, pepatah Jawa mengatakan:
"Ajining dhiri saka lathi, ajining rogo saka busana."
Artinya, nilai seseorang tergantung dari ucapannya, dan tampak luar hanyalah kulit. Maka sebelum berkata, hendaklah merenung.
Dalam konteks ini, ngaca bukan hanya tindakan fisik, tapi simbol kesadaran diri (self-awareness). Dengan ngaca, seseorang menyadari kekurangannya, sehingga mampu menyampaikan kritik secara adil dan bijak.
---
B. Perspektif Psikologi: Mekanisme Proyeksi dan Shadow Self
Dalam psikologi, kritik terhadap orang lain tanpa introspeksi sering disebabkan oleh mekanisme proyeksi. Proyeksi adalah kecenderungan menyalahkan orang lain atas sifat yang sebenarnya dimiliki diri sendiri.
Carl Jung menyebut ini sebagai "shadow self" — sisi gelap manusia yang disangkal, tetapi justru muncul dalam penilaian terhadap orang lain.
> “Everything that irritates us about others can lead us to an understanding of ourselves.” — Carl Jung
Melalui ngaca, individu mulai berdamai dengan bayang-bayang psikologisnya. Ia tidak lagi terburu-buru menghakimi orang lain, karena tahu bahwa setiap manusia membawa luka dan cacat masing-masing.
---
C. Perspektif Teologi Hindu: Introspeksi dalam Dharma
Ajaran Hindu sangat menekankan pentingnya self-control dan self-inquiry sebagai bagian dari laku spiritual.
Kutipan Sloka:
Sanskerta
आत्मानं विद्धि शत्रुत्वे, आत्मानं च रक्षता।
na paraṃ nिन्दयेत् पापं, आत्मानं नु परीक्षयेत्॥
Transliterasi
Ātmānaṃ viddhi śatrutve, ātmānaṃ ca rakṣatā।
Na paraṃ nindayet pāpaṃ, ātmānaṃ nu parīkṣayet॥
Arti
"Kenalilah dirimu saat marah, lindungilah dirimu dari keburukan. Jangan terburu menuduh dosa orang lain, tetapi periksalah dulu dirimu sendiri."
Sloka ini menekankan bahwa introspeksi adalah bentuk tertinggi dari svadharma (tanggung jawab pribadi). Hanya mereka yang mampu mengoreksi dirinya sendiri yang layak menasihati orang lain.
---
D. Relevansi Sosial Budaya: Kreativitas dalam Kritik
Ungkapan dalam kaos Kreator Kampung menjadi bentuk literasi budaya populer yang menyampaikan etika kritik dalam bentuk visual dan narasi ringan. Bahasa gaul seperti “boleh pinter ngomong” sangat relevan dengan dinamika media sosial saat ini, di mana opini berseliweran tanpa refleksi mendalam.
Melalui pendekatan ini, edukasi moral dapat masuk ke ruang-ruang informal tanpa kehilangan daya tariknya. Kritik dibungkus dalam humor dan desain kreatif, tetapi tetap mengandung filosofi luhur.
---
Kesimpulan
"Ngaca dulu sebelum ngoreksi orang lain" adalah prinsip moral yang melintasi batas budaya, agama, dan ilmu pengetahuan. Ia mengajarkan pentingnya introspeksi, pengendalian diri, dan empati sosial. Dalam dunia yang serba cepat dan reaktif, ajakan untuk berkaca adalah bentuk revolusi kesadaran — bahwa perubahan sosial sejati dimulai dari dalam diri.
---
Daftar Pustaka
1. Jung, Carl. The Undiscovered Self. Princeton University Press, 1957.
2. Socrates dalam Plato. Apology.
3. Saraswati, Swami Sivananda. Ethical Teachings in Hinduism. The Divine Life Society.
4. Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Gramedia, 1985.
5. Weda Smṛti dan Sloka Nītiśāstra.
6. Kaos “Kreator Kampung” sebagai ekspresi budaya kritik reflektif, 2025.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar