📰 KORAN ILMIAH BUDAYA & AGRARIA
“Sawah Bali Menuju Kenangan: Warisan Leluhur yang Kalah oleh Gaya Hidup dan Gengsi Modern”
📅 Edisi Spesial Peringatan Hari Tani Bali
🖋️ Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
---
ABSTRAK
Lahan sawah di Bali terus menyusut drastis karena alih fungsi lahan menjadi vila, hotel, atau perumahan mewah. Fenomena ini mencerminkan pergeseran orientasi masyarakat dari nilai-nilai agraris ke arah konsumerisme dan prestise gaya hidup. Artikel ini mengulas realitas ini secara ilmiah, mengangkat suara petani, serta menawarkan jalan keluar berbasis budaya, spiritualitas Hindu, dan prinsip pembangunan berkelanjutan.
---
PENDAHULUAN
Di balik keindahan Bali yang mendunia, tersimpan krisis sunyi: petani kehilangan sawahnya, warisan leluhur disulap menjadi beton. Seperti pada foto utama di atas, seorang petani Bali berdiri di tengah sawah yang mulai tergenang alih fungsi. Sementara gunungan pura dan hijau subak menjadi latar nostalgia yang perlahan terhapus.
---
FAKTA DI LAPANGAN
📉 Data menunjukkan bahwa luas lahan sawah di Bali menyusut hingga 700 hektar per tahun.
🏗️ Lebih dari 1.000 hektar sawah diubah menjadi vila atau perumahan elit selama satu dekade terakhir.
👨🌾 Pendapatan petani tidak sebanding dengan biaya hidup, membuat banyak generasi muda enggan menjadi petani.
🛕 Subak, yang merupakan warisan budaya dunia UNESCO, kini dalam ancaman.
> Kutipan lapangan (dalam gambar):
“Sawah di Bali OTW Tinggal Kenangan. Warisan lenyap demi gaya dan gengsi mengalahkan petani!”
---
ANALISIS SOSIO-KULTURAL
Fenomena ini mencerminkan desakralisasi lahan pertanian. Dalam ajaran Hindu Bali, tanah adalah perwujudan Ibu Pertiwi (Prithivi Mata)—yang seharusnya dijaga dan dihormati.
> Sloka Weda:
“Mātā bhūmiḥ putro’ham pṛthivyāḥ”
(Atharva Veda 12.1.12)
"Ibu adalah Bumi, dan aku adalah putranya."
➤ Mengalihfungsikan sawah secara masif tanpa pertimbangan spiritual adalah bentuk pemutusan hubungan dengan Ibu Bumi.
---
MASALAH UTAMA
1. Alih Fungsi Lahan → konversi sawah ke properti mewah.
2. Mentalitas Gengsi → bertani dianggap tidak keren.
3. Kurangnya Regenerasi → anak muda lebih memilih kerja di sektor pariwisata.
4. Kebijakan Lemah → tata ruang tidak memihak pertanian berkelanjutan.
---
DAMPAK JANGKA PANJANG
🌾 Krisis Pangan Lokal: Bali bisa menjadi wilayah yang tergantung penuh pada impor pangan.
🌱 Hilangnya Identitas Agraris-Spiritual: Bali akan kehilangan ruh budayanya.
🌊 Kerusakan Ekologis: konversi sawah mempercepat banjir dan kekeringan.
---
SUARA PETANI: ANTARA NOSTALGIA DAN NESTAPA
> “Dari kecil ngolah tanah, ngerawat subak, ngatur air. Tapi sekarang air pun dijual buat kolam vila, sawah pun ilang buat cafe Instagram,” ujar Wayan S, petani dari Bongkasa.
---
JALAN KELUAR BERBASIS DHARMA
1. Revitalisasi Subak sebagai sistem suci (tata niyama)
2. Edukasi generasi muda melalui sekolah pertanian berbasis adat
3. Inovasi pertanian: smart farming dan agro-tourism berbasis spiritual
4. Peraturan daerah ketat untuk pelestarian lahan pangan
> Kutipan bijak:
“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, kita meminjamnya dari anak cucu.”
(Prinsip Hindu dan ekologi universal)
---
KESIMPULAN
Sawah bukan sekadar ladang padi. Ia adalah altar bumi, tempat berlangsungnya ritus kehidupan yang menyatu antara manusia, alam, dan Hyang Widhi. Jika dibiarkan, Bali akan kehilangan jiwanya: petani, subak, dan sawah—penyangga budaya dan keberlanjutan.
---
📌 AJAKAN MORAL
Mari rebranding petani: petani adalah penjaga peradaban, bukan pekerjaan rendahan.
Mari kembali mencintai tanah dan air—di sanalah karma dan dharma bermula.
🌾 Salam Pertiwi.
🙏 Om Dhara Dhara Dhari Dharyai Namah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar