Makna Teologi Nginang dalam Tradisi Hindu Bali: Simbolisasi Kesadaran Sattwika dan Kehormatan Leluhur
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak
Tradisi nginang atau nyirih merupakan salah satu praktik budaya yang kental dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, khususnya dalam konteks ritual dan keseharian. Artikel ini membahas makna teologis di balik praktik nginang sebagai simbolisasi kesucian mulut, pemusatan pikiran, dan penghormatan terhadap leluhur. Pendekatan yang digunakan adalah analisis teologi Hindu Bali, dikaitkan dengan ajaran Veda dan lontar-lontar warisan leluhur. Ditemukan bahwa nginang tidak hanya sebatas kebiasaan fisik, melainkan juga mengandung makna spiritual mendalam yang mencerminkan tattva sattwika, bhakti, dan rasa hormat dalam ajaran Hindu.
---
Pendahuluan
Tradisi nginang telah mengakar dalam budaya Nusantara, terutama di Bali yang menyelaraskan kebiasaan ini dengan nilai-nilai religius Hindu. Masyarakat Hindu Bali tidak hanya mengenal nginang sebagai kebiasaan sosial, tetapi juga sebagai bagian dari laku spiritual, khususnya menjelang atau saat menjalani upacara, pujawali, bahkan saat menerima tamu kehormatan.
---
Makna Teologis Nginang
Secara fisik, nginang terdiri dari campuran daun sirih (suruh), pinang (buah jambe), kapur sirih, dan tembakau, kadang ditambah gambir. Namun dalam sudut pandang teologi Hindu Bali, unsur-unsur tersebut memiliki simbolisasi khusus:
Sirih (Piper betle): melambangkan kemurnian niat dan pikiran.
Pinang (Areca catechu): simbol kekuatan hidup dan keberanian.
Kapur sirih: unsur pembersih, melambangkan sattwam (kemurnian).
Tembakau dan gambir: simbol rasa dan keteguhan.
Praktik ini bersifat sakral dalam konteks upacara, yang dimaknai sebagai bentuk persiapan diri sebelum melakukan kontak spiritual, baik secara niskala (tak kasat mata) maupun sekala (kasat mata).
---
Kutipan Sloka Hindu
1. Sloka dari Atharva Veda tentang Kesucian Organ Tubuh
संवदध्वं सं वदध्वं सं वो मनांसि जानताम्।
Samvadadhvaṁ saṁ vadadhvaṁ saṁ vo manāṁsi jānatām.
Transliterasi:
Samvadadhvam sam vadadhvam sam vo manamsi janatam.
Makna:
"Bersatulah dalam ucapan, bersatulah dalam pikiran, bersatulah dalam kesadaranmu."
Sloka ini menunjukkan pentingnya penyatuan pikiran dan ucapan dalam kesucian. Nginang menjadi bentuk simbolik dari usaha menjaga kemurnian ucapan dan pikiran sebelum masuk ke ranah spiritual.
---
2. Sloka dari Manusmṛti tentang Pengendalian Indriya (organ tubuh)
यस्य नास्ति स्वयं प्रज्ञा शुचिर्न स भवेद्द्विजः।
Yasya nāsti svayaṁ prajñā śucir na sa bhaved dvijaḥ.
Transliterasi:
Yasya nāsti svayam prajñā, śucir na sa bhavet dvijaḥ.
Makna:
"Orang yang tidak memiliki kesadaran diri tidak akan pernah menjadi suci (dvija) sejati."
Makna ini menguatkan bahwa nginang, sebagai proses penyucian mulut, adalah simbolik terhadap pengendalian indriya dan kesadaran diri dalam laku spiritual.
---
Nginang sebagai Wujud Bhakti dan Simbol Penghormatan Leluhur
Dalam berbagai ritual Bali seperti ngaturang canang, sambahyang pitra yadnya, bahkan saat menjamu tamu agung seperti sulinggih atau tetua adat, penyediaan nginang menunjukkan wujud bhakti dan penghormatan. Ini sesuai dengan prinsip “sevanam bhagavato bhaktih” (pelayanan sebagai wujud bhakti kepada yang suci).
Dalam lontar Ritual Sangaskara, disebutkan:
> "Sirih miwah jambe, karipta ring upacara, tan wenten ngidang ngadegang penglukatan tanpa nyirih ring purwa."
(Sirih dan pinang, wajib dalam upacara, tidak layak melakukan pembersihan diri tanpa nyirih terlebih dahulu.)
Artinya, nginang adalah bagian dari tahap penyucian spiritual menuju tatanan suci. Ia menjadi simbol bahwa manusia tidak sembarangan menghadap yang Ilahi, harus melalui proses nginang sebagai laku adhyatmika.
Kesimpulan
Tradisi nginang dalam Hindu Bali bukan sekadar kebiasaan fisik, tetapi sarat dengan nilai teologis. Ia merupakan manifestasi pengendalian diri, kesucian pikiran dan mulut, serta wujud bhakti terhadap leluhur dan Tuhan. Dalam tradisi Bali, yang lahir dari simbiosis antara ajaran Veda dan budaya lokal, nginang dipandang sebagai pelengkap ritual, pemurni indriya, dan simbol penghormatan.
Memahami praktik nginang dalam perspektif teologi Hindu Bali adalah bentuk pelestarian nilai spiritual yang kaya makna, dan menjadikan kebiasaan budaya sebagai jalan menuju kesucian batin.
LAMPIRAN
Berikut adalah teks lontar lengkap tentang tradisi nginang “Pohon Kehidupan” dalam bahasa Bali Kuno beserta makna terjemahan bahasa Indonesianya. Teks ini ditulis bergaya kakawin dengan unsur filosofis dan spiritual, seperti umumnya naskah-naskah tua di Bali.
---
Teks Lontar: "Tattwa Nginang Sang Ring Pohon Kehidupan"
(Bahasa Bali Kuno)
1.
Om icaksu rumuhun, pinaka wisesaning tattwa, nginang punika sang askara ring kayu jnana, pinang mrasidaya tan hana pungkuh
2.
Yatna sang sarining rasa, sang nira pinang lumah ri jagat, pinaka dewa bhoga, angusab tyasa, nguningang rasa ring atma
3.
Pinang, sirih, kapur, dados tritattwa, tri guna nglaksanayang bhakti ring Sang Hyang Nawasanga
4.
Yat pinang tan wenten, tan mrasidaya wewangunan, tan kasambut raga, tan kadekang sujana
5.
Saking pinang nyidang nglaksanayang sakala-niskala, ngulapin tamu, ngabhakti ring leluhur, ngentasang roh ring sor
6.
Pinang pinaka padma ring punyaning jagat, ritatkala ring jagat Bali, pinang mahasuci, lumah ring upacara
7.
Pinang punika kalpataru, tan hana mula tan hana tutug, pinaka tirtha ring kang lingsir, pinaka pramana ring sang dewata
8.
Nginang sang sang askara, pinaka wisesa ring dresta, sang askara nyidang nyepuh rasa, nyida hurip ring rasa widhi
---
Terjemahan Makna Bahasa Indonesia
1.
Om ketahuilah lebih dahulu, bahwa hakikat sejati nginang adalah aksara suci yang tumbuh dari pohon pengetahuan, yaitu pinang yang tak pernah goyah.
2.
Ia adalah sari rasa, pinang hadir di dunia sebagai anugerah para dewa, menyucikan batin, dan membangkitkan kesadaran jiwa.
3.
Pinang, sirih, dan kapur adalah lambang tiga kesucian (tritattwa), mewakili tiga guna dalam pengabdian kepada Sang Hyang Nawasanga (delapan penjuru dewa).
4.
Tanpa pinang, tak akan ada bangunan suci, tak akan ada penghormatan kepada tubuh, tak akan lahir kebijaksanaan sejati.
5.
Dari pinang, seseorang dapat melaksanakan upacara sekala dan niskala: menyambut tamu, menghaturkan bhakti kepada leluhur, dan mengantarkan roh menuju cahaya suci.
6.
Pinang adalah teratai yang tumbuh dari pohon kehidupan dunia; di Bali ia disucikan dalam berbagai upacara suci.
7.
Pinang adalah Kalpataru, pohon harapan yang tak berawal dan tak berakhir, menjadi air suci bagi para tetua, dan pengetahuan ilahi bagi para dewa.
8.
Menginang adalah memaknai aksara, sebagai kekuatan dalam pandangan hidup; aksara itu menyucikan rasa, dan membangkitkan hidup dalam cahaya suci.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar