"Bila kau tak mau merasakan lelahnya belajar, maka kau akan menanggung pahitnya kebodohan" —Imam Syafi’i
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
ULASAN ILMIAH
1. Pendahuluan
Kutipan tersebut merupakan nasihat dari Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab besar dalam Islam yang juga dikenal sebagai seorang cendekiawan dan ahli ilmu. Ucapan ini mencerminkan pentingnya pendidikan sebagai jalan menuju kebijaksanaan, serta tantangan yang harus dihadapi dalam proses pencarian ilmu. Dalam konteks ilmu pendidikan, pernyataan ini memiliki relevansi tinggi dan dapat ditelaah dari sudut pandang pedagogi, psikologi pendidikan, dan sosiologi.
---
2. Makna Filosofis
Ucapan tersebut mengandung nilai filosofis klasik yang membedakan antara dua kondisi:
Lelahnya belajar: mengacu pada proses perjuangan dalam memperoleh ilmu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan pengorbanan.
Pahitnya kebodohan: merujuk pada akibat dari menghindari proses belajar, yaitu ketertinggalan intelektual, ketidakmampuan mengambil keputusan bijak, bahkan kemungkinan besar untuk dimanipulasi atau dieksploitasi oleh orang lain.
Hal ini sejalan dengan konsep epistemologi, yaitu cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan. Menurut epistemologi klasik, pengetahuan harus dicapai dengan usaha keras karena ia bernilai tinggi sebagai alat membedakan kebenaran dan kesalahan.
---
3. Analisis Psikologis
Dalam psikologi pendidikan, kutipan ini sesuai dengan teori motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Orang yang memiliki motivasi intrinsik akan belajar karena mereka menyadari manfaat jangka panjang dari ilmu, meskipun prosesnya melelahkan. Sebaliknya, orang yang kurang termotivasi akan cenderung menghindari usaha belajar dan berisiko mengalami kebodohan yang dapat menyebabkan rendahnya harga diri (self-esteem) dan produktivitas.
Teori self-determination juga relevan, di mana pembelajaran harus melibatkan kompetensi, otonomi, dan relasi sosial. Bila motivasi belajar ditumbuhkan dengan baik, maka lelahnya belajar tidak akan menjadi beban, tetapi menjadi proses pertumbuhan diri.
---
4. Analisis Sosiologis
Secara sosial, individu yang tidak memiliki pendidikan atau kemampuan berpikir kritis rentan menjadi "boneka" seperti digambarkan dalam ilustrasi kedua. Hal ini menggambarkan dominasi sosial dan kekuasaan yang mengeksploitasi ketidaktahuan masyarakat.
Dalam teori konflik sosial ala Karl Marx, pendidikan adalah sarana pembebasan dari ketimpangan sosial. Orang yang malas belajar cenderung berada di kelas bawah dan mudah dikuasai oleh sistem. Kebodohan struktural pun dapat muncul dari ketidakadilan akses pendidikan, memperparah ketertinggalan suatu kelompok.
---
5. Relevansi dengan Pendidikan Modern
Kutipan ini sangat relevan di era digital saat ini. Di tengah banjir informasi, kemampuan belajar dan berpikir kritis menjadi sangat penting. Menolak belajar sama dengan membiarkan diri menjadi korban hoaks, disinformasi, dan pengaruh destruktif media sosial.
Pendidikan abad 21 menekankan pada lifelong learning (belajar sepanjang hayat). Mereka yang enggan belajar akan tertinggal tidak hanya secara akademik, tetapi juga dalam kemampuan beradaptasi dengan perubahan zaman yang sangat cepat.
---
6. Tinjauan dari Perspektif Islam
Imam Syafi’i sebagai tokoh agama memberikan pesan spiritual bahwa menuntut ilmu adalah ibadah. Dalam Islam, menuntut ilmu bahkan merupakan kewajiban, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
> "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah)
Ayat-ayat dalam Al-Qur'an pun banyak menegaskan keutamaan orang yang berilmu, seperti dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11:
> "Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat."
---
7. Simbolisme Visual
Gambar pertama menunjukkan seorang anak belajar, mencerminkan usaha dan kesungguhan. Gambar kedua menunjukkan boneka kayu yang dikendalikan oleh tali, merepresentasikan orang bodoh yang menjadi objek manipulasi oleh kekuatan eksternal. Ini adalah kritik sosial yang kuat terhadap pasifisme intelektual dan ketidakpedulian terhadap pendidikan.
---
Kesimpulan
Kutipan Imam Syafi’i ini bukan hanya kalimat motivasi, tetapi merupakan pernyataan filosofis dan pendidikan yang mendalam. Ia menekankan pentingnya proses belajar sebagai jalan menuju pembebasan dari kebodohan dan penindasan. Dalam konteks pendidikan modern, kutipan ini tetap relevan sebagai pengingat bahwa perjuangan dalam belajar akan membuahkan hasil yang jauh lebih berharga daripada menanggung konsekuensi kebodohan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar