“Upacara Panilapatian sebagai Wahana Nunggalang Sang Catur Dasa Pitara Awor ing Acintya: Peran Leluhur dalam Alam Kematian Menurut Teologi Hindu Bali”
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
---
Abstrak
Artikel ini mengulas makna teologis dan spiritual dari upacara Panilapatian dalam konteks penyatuan roh leluhur (sang pitara) ke dalam kekekalan Acintya, melalui simbolisasi nunggalang sang catur dasa pitara. Kajian ini dilandasi oleh teks-teks Weda, Purana, dan lontar-lontar Bali, serta dimaknai sebagai tahap akhir dari pengembaraan roh menuju moksha, ketika leluhur tak lagi berstatus preta atau pitṛ, melainkan menjadi satu dengan Sang Paramātman.
---
Pendahuluan
Upacara Panilapatian merupakan salah satu puncak ritual dalam rangkaian yadnya pasca-ngaben di Bali. Ia memiliki makna spiritual mendalam, yaitu menyatukan roh leluhur yang telah selesai menjalani tahap nyegara gunung ke dalam keabadian niskala—awor ing Acintya. Acintya adalah lambang Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk paling adikodrati, tak terpikirkan (a–cintya) oleh akal manusia. Dalam upacara ini, para leluhur tidak lagi sekadar pitra, tetapi telah menjadi Dewa Pitara.
---
Pembahasan
1. Makna Nunggalang Catur Dasa Pitara
Empat belas pitara atau catur dasa pitara melambangkan roh-roh leluhur dari generasi ke generasi. Nunggalang berarti menyatukan seluruh leluhur menjadi satu entitas suci, melepaskan keterikatan duniawi dan menuju kesatuan ilahi.
Sloka Chandogya Upanisad VI.8.7:
> Tat tvam asi, śvetaketo
तत् त्वम् असि श्वेतकेतो।
tat tvam asi, śvetaketo
Makna:
"Engkau adalah Itu, wahai Śvetaketu."
Ini adalah ajaran Advaita bahwa Atman dan Brahman adalah satu. Dalam konteks Panilapatian, roh leluhur kembali menyatu ke asalnya: Tuhan.
---
2. Perjalanan Roh dan Peran Leluhur
Leluhur yang telah dihaturkan melalui upacara Sawa Wedana, Atma Wedana, hingga Nganyut mendak nuntun, akan dilanjutkan dalam Panilapatian. Ini bukan hanya penyatuan simbolik, melainkan bentuk penyadaran kolektif bahwa para pitara telah menyelesaikan siklus punarbhava dan layak menyatu dengan Paramātma.
Sloka Bhagavad Gītā XV.6:
> न तद्भासयते सूर्यो न शशाङ्को न पावकः।
यद्गत्वा न निवर्तन्ते तद्धाम परमं मम॥
na tad bhāsayate sūryo na śaśāṅko na pāvakaḥ
yad gatvā na nivartante tad dhāma paramaṁ mama
Makna:
"Tempat-Ku itu tidak disinari oleh matahari, bulan, atau api. Setelah mencapai tempat itu, seseorang tidak akan kembali—itulah tempat-Ku yang tertinggi."
Upacara ini adalah pengantar menuju tad dhāma paramaṁ mama, kediaman abadi Tuhan.
---
3. Acintya sebagai Simbol Absolut
Dalam ikonografi Bali, Acintya digambarkan dalam wujud tak berbentuk, kadang hanya berupa api atau lingga berhiaskan nyala suci. Ini menegaskan bahwa Tuhan tidak bisa dipikirkan dengan nalar (acintya) dan menjadi tujuan akhir perjalanan spiritual semua roh.
Sloka Kena Upanisad I.3:
> यन्मनसा न मनुतॆ यॆनाहुर्मनो मतम्।
yan manasā na manute yenāhur mano matam
Makna:
"Itu yang tidak dapat dipikirkan oleh pikiran, tetapi oleh-Nya pikiran dapat berpikir—Itulah Brahman."
Maka penyatuan dalam Acintya adalah akhir dari semua proses kelahiran dan kematian.
---
4. Panilapatian sebagai Penghantar Moksha
Secara teologis, Panilapatian bukan sekadar pelepasan, tetapi pemulangan: melepaskan unsur pāśa (keterikatan), menghapus karma, dan memperkenankan roh menjadi bagian dari Dewa Pitara yang niskala. Dalam ritual ini biasanya diiringi oleh persembahan besar seperti padudusan alit/agem, piodalan pitara, dan pembacaan mantra penyatuan roh.
Sloka Atharva Veda XVIII.3.59:
> उत पित्र्भ्यः स्वधायै नमोऽस्तु ये पूर्वस्मात्सदसस्परि नुनुद्रे।
uta pitṛbhyaḥ svadhāyai namo’stu ye pūrvasmāt sadasas pari nunudre
Makna:
"Puji-pujian kepada para pitara yang telah bergerak maju dari alam ini menuju alam spiritual yang lebih tinggi melalui kekuatan svadhā."
---
Penutup
Upacara Panilapatian merupakan puncak dari jalan spiritual seorang roh menuju niskala. Ia memuat makna teologis tinggi sebagai wujud penyatuan dengan Tuhan dalam simbol Acintya. Dalam konteks Hindu Bali, penyatuan leluhur sebagai sang catur dasa pitara bukan hanya bentuk bhakti kepada asal-usul, tetapi sekaligus pencapaian spiritual tertinggi: moksha. Peran leluhur pun menjadi suci dan membimbing generasi selanjutnya secara niskala.
---
Daftar Pustaka
1. Bhagavad Gītā, Teks dan Terjemahan.
2. Chandogya, Kena dan Taittirīya Upaniṣad.
3. Ṛgveda dan Atharvaveda Saṁhitā.
4. Lontar Yama Tattwa, Atma Prasangsa, Dewa Tattwa.
5. Tim Penyusun. (2021). Mantra Panilapatian lan Upacara Pitara. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
6. Titib, I Made. (2003). Veda dan Upanisad: Suatu Telaah Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar