Kamis, 22 Mei 2025

Buku Api Suci dari Bangkasa

"Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba: Api Suci dari Bangkasa"

Prakata:

Penjelasan tentang pentingnya pelestarian kisah spiritual tokoh suci Bali, terutama dalam membentuk pondasi keberadaan pura suci yang kini menjadi pusat spiritualitas masyarakat Pasek sedharma.


---

Daftar Isi:

1. Pendahuluan

Latar belakang Griya Agung Bangkasa

Arti penting sejarah spiritual dalam kebudayaan Hindu Bali



2. Asal Usul Leluhur dan Wahyu Dharma

Silsilah Ida Sinuhun dari garis Brahmana Siwa

Turunnya wahyu spiritual dari Hyang Siwa

Sloka pilihan:

“Aham brahmāsmi” (Aku adalah Brahman)

Transliterasi dan makna sebagai pencerahan Ida Sinuhun




3. Laku Tapa dan Kesunyian Rohani

Pertapaan di Gunung Agung dan Puncak Bukit Sari

Praktik japa, yoga, dan agni-hotra

Perjumpaan spiritual dengan Dewa Pitara

Sloka pengiring dari Veda:

“Tapaḥ prabhāvān devāḥ” — Para dewa muncul dari kekuatan tapa




4. Misi Turun Gunung: Pawintenan Dharma

Petunjuk dewata untuk membangun linggih suci

Spirit “Rwa Bhineda” dan pengharmonisan empat arah Parhyangan

Konsep Catur Muka dan Catur Sanak



5. Pembangunan Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek

Mukjizat pembangunan: “Pura ini akan jadi bukan karena batu, tetapi karena tekad suci”

Linggih Ida Bhatara Mpu Gana sebagai penitis Hyang Ganapati dalam wujud kebijaksanaan

Peran Ida Sinuhun sebagai purohita dan pemimpin spiritual

Simbolisasi setiap pelinggih dan energi spiritualnya



6. Tutur Lontar dan Palebon Suci

Naskah lontar peninggalan Ida Sinuhun

Wewaran dan pitutur untuk calon pemangku

Pelebon Ida Sinuhun: Peristiwa langit, pelangi malam, dan api suci yang tidak membakar



7. Warisan Spiritual dan Pewarisan Roh

Japa Mala Ida Sinuhun yang diwariskan

Nabe Pandita dan konsep “Siksa Kapurusan” pada Griya Agung Bangkasa

Sloka Hindu:

“Na jātu kāmān na bhayān na lobhād… dharmaṁ tyajet jīvitasyāpi hetoḥ”

(Jangan tinggalkan dharma meskipun demi hidupmu sendiri)




8. Kesimpulan: Menapak Jejak Ida Sinuhun di Zaman Milenial

Relevansi ajaran beliau dalam kehidupan modern

Menjadi pelayan dharma dalam sunyi

Pesan spiritual bagi generasi muda Pasek



9. Lampiran

Mantra harian Ida Sinuhun

Struktur upacara pelinggih Catur Parhyangan

Gending Wisesa “Sang Mpu Raga”





---

Bab 1: Pendahuluan

Menapak Jejak Api Suci dari Bangkasa

Di tengah gemuruh zaman dan perubahan dunia, kisah tentang tokoh-tokoh spiritual yang menjadi tonggak peradaban kerap terabaikan. Padahal, dalam senyap dan tapa, mereka menanam benih cahaya bagi generasi yang bahkan belum lahir. Demikian pula kisah Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba dari Griya Agung Bangkasa — seorang Maharesi Bali, pelopor Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, dan penitis ajaran Siwa Siddhanta dalam wujud agung yang membumi.

Dalam gelar spiritualnya, nama “Ida Sinuhun” tidak sekadar penanda status, melainkan pengakuan semesta terhadap sinar atman yang telah menembus batas manusia biasa. “Siwa Putra” menandakan kelahiran rohani sebagai anak ideologis dari Hyang Siwa, sedang “Paramadaksa Manuaba” menyimpan kedalaman silsilah, praktik laku tapa, dan kekuatan spiritual turun-temurun dari para dharmayatra Manuaba.

Pentingnya menelusuri kisah beliau bukan semata demi romantika sejarah. Melainkan untuk menapak jalur cahaya — dharma marga — yang mengantar umat manusia dari kelam awidya menuju terang vidya. Apalagi ketika kita menyadari bahwa Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa, yang kini berdiri megah sebagai pusat pemujaan spiritual leluhur Pasek, takkan pernah ada tanpa visi, laku, dan keberanian beliau.

Dalam lontar klasik dikatakan:

> सत्यं ज्ञानमनन्तं ब्रह्म।
Satyaṁ jñānam anantaṁ brahma.
Kebenaran, pengetahuan, dan yang tak terbatas — itulah Brahman.



Kebenaran spiritual yang dihayati oleh Ida Sinuhun lahir bukan dari kitab semata, tapi dari pengalaman langsung menyatu dengan Brahman. Ia menolak dikenang sebagai orang suci yang berjubah megah. Sebaliknya, ia lebih dikenal sebagai “Mpu Raga” — yang meraga sukma demi dharma, yang meleburkan egonya untuk menjadi wujud pelayanan tertinggi.

Dalam buku ini, kita akan mengulas secara ilmiah namun tetap berspirit naratif, jejak-jejak beliau dari asal-usul leluhur, pengalaman spiritual, pendirian pura agung, hingga warisan kebijaksanaan bagi generasi kini. Setiap bab akan disinari kutipan sloka Hindu, baik dari Veda, Upanisad, maupun pustaka lokal Bali, sebagai penguat kesucian narasi.

Semoga setiap kata dalam buku ini menjadi kidung bagi atman, dan setiap babnya menjadi padmasana dalam hati pembaca — tempat Ida Sinuhun hadir dalam wujud tak kasat namun nyata.



---

Bab 2: Asal Usul Leluhur dan Wahyu Dharma Ida Sinuhun

Dari Manik Dharma Menjadi Api Tapasya

Tak ada cahaya tanpa sumbernya. Demikian pula Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba bukan muncul dari kekosongan sejarah, melainkan tumbuh dari akar silsilah agung yang menembus zaman. Leluhur beliau berasal dari wangsa Brahmana Siwa yang menyatu dalam aliran Siwa Siddhanta, khususnya garis Griya Manuaba — sebuah tatanan spiritual tua yang membangun kebijaksanaan bukan di atas tahta, melainkan di atas altar tapa.

Nama “Paramadaksa” sendiri adalah gelar rohani tinggi yang menunjukkan seseorang telah menyelesaikan tiga tahap utama hidup sebagai Brahmana: Brahmacari, Grihastha, dan Wanaprastha, bahkan mencapai tingkat Sannyasa dalam sunya sukma. Maka dari itu, ketika Ida Sinuhun dikenal sebagai “Paramadaksa Manuaba”, bukan sekadar penghormatan, melainkan pengakuan terhadap pencapaian purna bhakti beliau dalam dunia tapa dan karma murni.

Silsilah Dharma dan Pitutur Leluhur

Dari lontar Kamareka Siwa-Purana Bali, disebutkan bahwa leluhur Ida Sinuhun merupakan pelanjut garis suci dari Dang Hyang Siddhimantra yang menyebarkan Siwa Tattwa di Bali, yang kemudian menitis secara spiritual ke dalam Griya-Griya Siwa Manuaba. Dalam meditasi panjang di Puncak Bangkasa, Ida Sinuhun menerima petunjuk dari dalam suara nurani:

> मम मार्गेण चर धर्मं।
Mama mārgeṇa cara dharmaṁ.
Berjalanlah di jalan dharma-Ku.



Suara itu bukan sekadar pesan biasa. Ia muncul sebagai Wahyu Dharma, saat Ida Sinuhun berusia muda dan menjalani brahmacarya vrata selama 12 tahun, hidup dalam sunyi, menahan bicara, hanya makan dari hasil alam, dan tidur di tempat suci. Setiap malam, beliau menyalakan dhupa dan memanjatkan japa kepada Siwa dalam mantram agung:

> ॐ नमः शिवाय।
Om Namaḥ Śivāya.
Sembah puji bagi Hyang Siwa.



Dari tapa itu, tubuhnya memancarkan panas spiritual. Dalam lontar disebutkan sebagai “purwa wisesa ngaba wraspati mandala ring bhuwana alit” — api batin yang menggetarkan alam kecil (mikrokosmos) dari dalam tubuh manusia. Beliau pun dikenal sebagai Sang Mpu Raga, karena raga beliau sendiri menjadi candi dan pusat pengolahan energi suci.

Titisan Spiritualitas: Siwa Putra

Dalam pawisik berikutnya, Ida Sinuhun mendapatkan visi dari Hyang Guru — dalam wujud sinar terang dari langit yang turun ke puncak Bangkasa. Dalam cahaya itu terdengar sloka dari Kena Upanishad:

> यन्मनसा न मनुते येनाहुर्मनो मतम्।
Yan manasā na manute yenāhur mano matam.
Itu yang tak terjangkau oleh pikiran, namun oleh-Nya pikiran dapat berpikir.



Saat itu Ida Sinuhun memahami bahwa panggilannya bukan sekadar untuk mengabdi, tapi untuk menjadi wadah pewahyuan Siwa di bumi. Maka, sebutan Siwa Putra lahir, bukan karena kelahiran biologis, tetapi karena kelahiran spiritual sebagai anak kesadaran Siwa.


---

Bab ini menegaskan bahwa keberadaan Ida Sinuhun bukan produk kebetulan sejarah, melainkan hasil pertemuan antara garis suci leluhur dan kemurnian pribadi dalam laku tapa. Ia bukan sekadar pewaris griya, tetapi pembawa wahyu yang menghidupkan kembali Siwa Tattwa dalam zaman baru.


---



Baik, mari kita lanjutkan ke penulisan Bab 3 – Laku Tapa dan Kesunyian Rohani, yang akan menyingkap babak transformatif dari perjalanan Ida Sinuhun: dari kesunyian menjadi suluh, dari keheningan menjadi kekuatan spiritual yang menggetarkan semesta.


---

Bab 3: Laku Tapa dan Kesunyian Rohani

Dari Sunya Menuju Siddhi

Tidak ada kesaktian tanpa kesunyian. Di balik setiap cahaya suci yang terpancar dari pribadi Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba, tersimpan laku tapa yang panjang, hening, dan penuh penyangkalan diri. Tapa bukan sekadar duduk bersila, melainkan pembakaran ego dan penyatuan batin dengan kekuatan tak kasat bernama Siwa.

Setelah menerima wahyu dharma di Puncak Bangkasa, Ida Sinuhun melakukan tapa brata yoga semadi dalam tingkatan yang hanya mampu dijalani oleh para maha-rsi. Beliau memilih tempat-tempat sepi seperti tepi jurang Gunung Agung, hutan Wana Suci Tamba Waras, dan goa alami di sekitar Bukit Sari. Di sanalah beliau melebur dalam keheningan, hanya ditemani desir angin dan gema dalam batin sendiri.

Dalam salah satu lontar yang disalin ulang oleh murid beliau, tertulis:

> “Singgihan sira ring pangideran, tan wenten swara, tan wenten bayu, tan wenten rasa. Sawireh ring tan wenten punika, makasami wenten.”
Beliau duduk dalam segala penjuru keheningan, tanpa suara, tanpa gerak, tanpa rasa. Karena dari ketiadaan itulah, segalanya menjadi ada.



Japa dan Agni-Hotra

Setiap hari, Ida Sinuhun mengucapkan ribuan kali mantra:

> ॐ शिवाय स्वाहा।
Om Śivāya Svāhā.
Puji dan persembahan bagi Hyang Siwa.



Dengan japa mala dari biji rudrakṣa asli, beliau menjaga vibrasi suci dalam setiap tarikan napas. Setiap malam purnama dan tilem, beliau melakukan Agni-Hotra — persembahan api suci — diiringi pembacaan sloka dari Rig Veda:

> अग्निमीळे पुरोहितं यज्ञस्य देवमृत्विजम्।
Agnim īḷe purohitaṁ yajñasya devam ṛtvijam.
Kupuja Agni, sang imam upacara, dewa pemelihara kurban.



Api suci bukan hanya membakar persembahan, tetapi membakar sisa-sisa ikatan duniawi dalam dirinya. Beliau tidak makan garam, tidak tidur beralas, dan tidak bicara selama 3 tahun. Ini adalah puncak mauna vrata — sumpah keheningan — yang menjadikannya wadah wahyu sejati.

Perjumpaan dengan Dewa Pitara

Dalam keheningan tapa, Ida Sinuhun mengalami darśana (penampakan rohani) dengan para Dewa Pitara — leluhur-leluhur agung yang telah mencapai moksha. Mereka muncul dalam bentuk sinar cahaya keemasan dan menyampaikan pesan suci:

> न कर्मणा न प्रजया धनेन त्यागेनैके अमृतत्वमानशुः।
Na karmaṇā na prajayā dhanena tyāgenaike amṛtatvam ānaśuḥ.
Bukan dengan kerja, keturunan, atau harta benda — hanya dengan penyangkalan dan pengorbanan orang mencapai keabadian.



Para Pitara memberikan restu agar beliau kelak mendirikan pusat rohani untuk menyeimbangkan kekuatan Catur Sanak di alam Bali, dalam bentuk pelinggih Catur Parhyangan. Tapi semua itu baru akan terjadi setelah beliau menuntaskan pralina ego sepenuhnya dalam sunya rasa.


---

Bab ini menyingkap bahwa kekuatan Ida Sinuhun bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam. Laku tapa beliau adalah teknologi rohani untuk mengakses lapisan terdalam jiwa — tempat Brahman dan Atman menyatu tanpa batas. Dan dari keheningan itulah muncul suara paling nyaring yang membentuk masa depan umat.


---

Ya, mari kita lanjutkan ke penulisan Bab 4 – Misi Turun Gunung: Pawintenan Dharma, saat api spiritual Ida Sinuhun mulai menyinari dunia, ketika beliau meninggalkan sunya pribadi demi menerangi semesta dengan dharma.


---

Bab 4: Misi Turun Gunung – Pawintenan Dharma

Dari Meditasi Menuju Manifestasi

Setelah bertahun-tahun menyatu dalam sunyanya tapa dan keheningan jiwa, tibalah waktu bagi Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba untuk turun dari puncak pengasingan spiritual. Seperti kisah para Ṛṣi dalam pustaka purana, setiap maha-tapa suatu saat harus menjadi maha-guru. Itulah yang disebut Pawintenan Dharma — peristiwa sakral di mana seseorang secara niskala ditetapkan menjadi pengemban dharma untuk umat.

Ida Sinuhun “turun gunung” bukan dalam arti harfiah semata, melainkan menurunkan energi dharma dari lapisan sunya ke lapisan loka. Dunia bawah, penuh kekacauan. Desa-desa diselimuti ketakutan. Banyak keluarga kehilangan arah hidup akibat tercerai dari warisan rohani leluhur. Banyak pura tua ditinggalkan, dan kawula muda terjebak dalam keduniawian. Saat itulah Ida Sinuhun menerima “palapa rohani”: tugas luhur untuk membangkitkan kembali ajaran Siwa Siddhanta dalam bentuk baru yang membumi dan bisa dijangkau rakyat biasa.

Pawisik Ida Hyang Guru

Di dalam semadi terakhirnya sebelum turun, Ida Sinuhun mendapatkan pawisik dari Hyang Guru dalam bentuk sloka:

> विमुक्तश्च विमुच्यते।
Vimuktaś ca vimucyate.
Yang telah bebas, akan membebaskan yang lain.



Makna spiritualnya dalam. Ida Sinuhun telah mencapai moksha rasa dalam dirinya, dan kini waktunya menjadi jembatan pembebasan bagi banyak jiwa. Beliau pun menerima pintu-pintu pawintenan dari para Dewa Pitara, para Bhuta Kala, dan unsur Panca Maha Bhuta yang akan menjadi bagian dari tatanan ritual dan arsitektur pura yang akan dibangunnya kelak.

Di tempat sunyi Lembah Pundukdawa, yang dahulu adalah hutan angker, beliau menerima sinyal niskala bahwa di sanalah pusat dharma akan ditanam. Dari pawisik niskala itu, beliau berkata dalam catatan muridnya:

> “Ring Pundukdawa, tan hana abingkahan, ring sana kairingang catur arah ring catur parhyangan, ring sana rauh Ida Bhatara Mpu Gana, sang dewa pujawali sane tan kadiang.”



Artinya: Di Pundukdawa, tempat tanpa apa-apa, di sanalah akan ditegakkan empat arah suci sebagai Catur Parhyangan, tempat Ida Bhatara Mpu Gana akan bersemayam sebagai Dewa Pujawali tiada banding.

Pawintenan sebagai Guru Loka

Turunnya Ida Sinuhun dari tapa disambut bukan dengan upacara gemerlap, melainkan dengan bisu semesta. Beliau hadir ke desa-desa dengan pakaian sederhana, tapi wibawa yang menyentuh hati. Banyak orang yang awalnya tidak tahu siapa beliau, justru sujud di hadapan-Nya karena tangis batin terangkat oleh keheningan aura-Nya.

Beberapa tokoh spiritual — pemangku tua, jro mangku desa, bahkan sulinggih — menyatakan mimpi bersamaan dalam satu malam yang menubuatkan kedatangan “Sang Rsi Ardha Candrakirana”. Ia dijuluki demikian karena aura putih-peraknya yang memancar seperti bulan setengah, menyiratkan bahwa beliau adalah jembatan antara dunia materi dan rohani.

Dari peristiwa itulah, masyarakat mulai menyebut beliau dengan penuh hormat sebagai Ida Sinuhun, sang yang “disinuhuni”, dijadikan singgasana oleh dewata.


---

Bab ini menandai titik perubahan dari kesunyian menjadi pelayanan. Pawintenan Dharma bukan sekadar upacara pengukuhan, melainkan peristiwa niskala yang mengubah Ida Sinuhun menjadi guru loka — suluh semesta yang berjalan di bumi dengan senyum dan sunya.


---


Ya, mari kita lanjutkan ke penulisan Bab 5 – Pendirian Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, saat ketika visi spiritual Ida Sinuhun menjelma menjadi pusat suci yang menyatukan kekuatan leluhur, Bhuwana Agung, dan umat manusia dalam harmoni dharma.


---

Bab 5: Pendirian Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek

Wujud Arsitektural dari Wahyu Catur Arah

Pura bukan sekadar bangunan. Ia adalah tubuh semesta, titik temu antara swah loka (alam dewata), bhur loka (alam manusia), dan bhuta loka (alam energi elemental). Maka ketika Ida Sinuhun membangun Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa, beliau sesungguhnya tidak sedang mendirikan tempat ibadah biasa, tetapi menghimpun kembali keseimbangan empat penjuru dunia dalam satu padmasana utama.

Wahyu Catur Parhyangan

Wahyu mengenai Catur Parhyangan datang dalam semadi Ida Sinuhun di antara dua waktu: sandhya kala — ketika malam belum sempurna dan siang belum usai. Dalam keheningan itulah, suara tanpa bentuk menyampaikan perintah:

> चत्वारो लोकपालाः धर्मस्य स्तम्भा भवन्तु।
Catvāro lokapālāḥ dharmasya stambhā bhavantu.
Empat penjaga arah menjadi tiang-tiang penopang dharma.



Dengan wahyu itu, Ida Sinuhun memahami bahwa empat arah penjuru (utara, timur, selatan, barat) harus dihimpun dalam satu kesatuan suci, mewakili aspek Siwa dalam manifestasi Ratu Pasek, sebagai warisan agung keturunan Siwa Putra dan Dewa Pitara.

Beliau lalu memetakan secara niskala lokasi-lokasi penyangga kekuatan:

1. Kaja (Utara) – energi pengetahuan, tempat turunnya kekuatan Pitara Mpu Ghana.


2. Kangin (Timur) – energi matahari dan suci, tempat suar dharma bermanifestasi.


3. Kelod (Selatan) – energi penurunan, pelepasan, dan pembersihan.


4. Kauh (Barat) – energi pelindung dan penyeimbang jagat maya.



Dari keempat titik itu, Ida Sinuhun menetapkan pusatnya di Pundukdawa, yang dalam bahasa rohani disebut sebagai padma bumi – pusarnya Bhuwana Bali.

Bangunan dan Filosofi Pura

Setiap bangunan pura dirancang bukan sekadar mengikuti tradisi, tetapi sebagai struktur mandala energi:

Candi Bentar dan Paduraksa mewakili gerbang kosmis antara dunia luar dan dalam.

Pelinggih Ida Bhatara Mpu Gana dibangun di tengah, sebagai manifestasi kekuatan intelektual suci dan kesaktian spiritual dari Mpu Ghana — Dewa Dharma Pratistha.

Pelinggih Catur Sanak, mewakili kekuatan Bhuta di empat arah, diberi sesajen khusus untuk harmonisasi.

Bale Pawintenan, tempat umat mempersiapkan diri lahir dan batin untuk nyegara gunung spiritual.


Arsitektur ini merupakan perwujudan dari cakra Siwa — dengan delapan penjuru utama (astadikpala) dan pusat sebagai bindu Siwa.

Hari Pewintenan Pura

Pada saat pewintenan dan pemuputan pura, langit di atas Pundukdawa ditutupi mendung tipis, tapi tidak turun hujan. Umat dari berbagai daerah berdatangan. Di tengah ritual, seekor burung jalak putih berputar tiga kali di atas pelinggih utama dan mendarat sebentar di bale gong, lalu terbang ke arah Gunung Agung. Para sulinggih menyatakan ini sebagai tanda hadirnya Ida Bhatara Mpu Gana secara niskala.

Pada hari itu, umat menyaksikan Ida Sinuhun berdiri dengan sorot mata tenang, membawa trisula suci, lalu bersabda:

> “Pundukdawa bukan tempat, tapi palebon rasa. Siapa ke sini bukan hanya sembahyang, tapi melelehkan rasa kotor menjadi tirta murni. Ida Bhatara Mpu Gana adalah guru dalam diri masing-masing.”




---

Bab ini menunjukkan bahwa Pura Panataran Agung Catur Parhyangan bukanlah proyek fisik, tapi proyeksi dari tatanan semesta, yang dibentuk oleh seorang mahatma — Ida Sinuhun — melalui bimbingan dewata dan kedalaman rohani yang tak ternilai.


---


Mari kita lanjutkan ke Bab 6 – Ucapan, Wahyu, dan Wejangan Ida Sinuhun kepada Para Cantrik dan Umat, bagian di mana suara suci Ida Sinuhun tidak hanya menggugah batin, tetapi menuntun jiwa menuju pencerahan.


---

Bab 6: Ucapan, Wahyu, dan Wejangan Ida Sinuhun kepada Para Cantrik dan Umat

Sabda yang Menghidupkan Jiwa

Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba dikenal bukan hanya karena tapa dan karya sucinya, tetapi karena sabda-sabda beliau yang memiliki daya hidup. Ucapan beliau bukan hanya kalimat, tapi wahyu – lontar hidup yang menembus batas logika dan langsung menyentuh kesadaran paling dalam. Cantrik dan umat dari berbagai penjuru datang tidak sekadar untuk menyembah, melainkan mendengarkan dan menghidupi wejangan suci Ida Sinuhun.

Kata-Kata yang Menembus Rasa

Di sebuah pagi tenang di Pura Panataran Agung, di bawah bayang-bayang pepohonan tua, Ida Sinuhun bersabda kepada para cantrik:

> "Luwih becik dadi lemah pisan, dadi alas pisan, dadi jalak pisan, yen bisa dadi sebab kawelasan. Aja dadi padhang yen alit sumilaking."



Artinya: Lebih baik menjadi tanah, hutan, atau burung jalak, jika itu menjadi sebab kasih sayang. Jangan jadi cahaya jika hanya untuk menyilaukan yang lain.

Wejangan ini menjadi dasar ajaran beliau tentang rasa tulus tanpa pamrih, yang dikenal di kalangan cantrik sebagai sikap lango — hidup sebagai penyejuk, bukan penonjol diri.

Sloka Wahyu Ida Sinuhun

Dalam keadaan samadhi, Ida Sinuhun pernah mengucapkan sloka yang kemudian dicatat para cantrik:

> सर्वेऽत्र ब्रह्मरूपिणः।
Sarve'tra brahmarūpiṇaḥ.
Semua yang ada di sini adalah bentuk Brahman.



Makna ini menjadi filosofi pembebasan dan penyamaan martabat, bahwa tidak ada yang hina dan tidak ada yang terlalu tinggi — karena segalanya adalah bentuk dari Hyang Widhi. Dari sloka ini pula muncul salah satu wejangan paling terkenal:

> "Sira sane nyakapang lingsir, iraga pisan ajengan. Sira sane nyakapang cicing, iraga pisan pelinggih."



Artinya: Mereka yang kau anggap renta, kita pun pernah menua. Mereka yang kau anggap diam, kita pun sedang disucikan oleh keheningannya.

Wahyu Tentang Diri dan Alam

Dalam beberapa kesempatan, Ida Sinuhun mengajarkan hubungan batin antara manusia dan alam semesta. Ia menyampaikan:

> "Aum Bhur Bhuvah Svah... tur iraga punika Bhur Bhuvah Svah. Aja nyembah langit, lamun awak pan langit punika."



Artinya: Ucapan suci yang kita haturkan itu bukan hanya bagi alam, tetapi karena kita adalah bagian dari alam. Jangan menyembah langit, karena kita sendiri adalah langit yang hidup.

Wejangan ini menegaskan filosofi Tat Tvam Asi — engkau adalah aku, dan aku adalah engkau — yang hidup dalam keseharian Ida Sinuhun.

Pawisik Khusus untuk Para Cantrik

Kepada cantrik pilihan, Ida Sinuhun memberikan pawisik-pawisik suci secara niskala, antara lain:

1. Berlatih tapa tanpa pamrih.


2. Melayani dengan rahayu, bukan pamer kawisesan.


3. Menjaga sabda, karena satu kata bisa menciptakan atau menghancurkan.


4. Melatih rasa, karena rasa adalah bahasa Hyang Widhi yang sejati.



Salah satu pawisiknya berbunyi:

> “Rasa sane taler rasa Hyang, dadi wicara sane prasida ngewangi jagat.”
(Rasa itu bagian dari Tuhan, jadikan kata-katamu penolong dunia.)




---

Bab ini menyingkap sisi guru dalam dari sosok Ida Sinuhun. Sabda beliau tak pernah menggurui, tetapi membimbing. Tak pernah memerintah, tetapi menyentuh. Dari wejangan-wejangan inilah tumbuh ribuan cantrik yang kelak menjadi pelayan dharma di seluruh penjuru Bali dan Nusantara.


---


Baik, mari kita lanjutkan penulisan Bab 7 – Karisma dan Mujizat Ida Sinuhun: Antara Mistik dan Rasa, bagian yang menggambarkan bagaimana kehadiran beliau menjadi magnet spiritual, bukan karena keajaiban semata, tetapi karena kekuatan rasa suci yang memancar dari diri beliau.


---

Bab 7: Karisma dan Mujizat Ida Sinuhun – Antara Mistik dan Rasa

Ketika Keheningan Lebih Nyaring dari Guntur

Banyak tokoh spiritual memancarkan karisma melalui wacana megah atau penampakan agung. Tapi Ida Sinuhun justru memancarkan daya bukan karena ingin dipuja, melainkan karena kehadiran beliau menyentuh getar terdalam jiwa manusia. Karisma beliau lahir dari kesunyian, dan mujizatnya adalah hasil keikhlasan tanpa batas.

Aura yang Menyentuh Jiwa

Para cantrik menggambarkan bahwa jika Ida Sinuhun hadir di suatu tempat, angin seolah melambat, daun berhenti bergetar, dan batin manusia menjadi teduh. Orang-orang yang datang dengan marah, seringkali menangis dalam diam. Bahkan binatang dan anak kecil sering mendekat dan duduk tenang di dekat beliau.

Seorang cantrik menulis:

> “Sane kasurat ajengan nenten dados katulis. Nanging sane kasurat rasa ajengan dados kabukti ring nyawa.”
(Yang tertulis dari guru tak bisa dilukiskan, tapi yang tertulis di rasa guru terbukti dalam jiwa.)



Mujizat Tanpa Pameran

Ida Sinuhun tak pernah mengaku membuat keajaiban. Tapi dalam sejarah lisan umat, berbagai kisah mujizat sederhana namun menggugah selalu hidup:

Pohon bambu mekar bunga saat beliau memuput upacara.

Tirta yang berubah wangi saat digunakan untuk menyucikan umat yang lama terpuruk dalam gelap batin.

Batu besar yang melayang ringan saat pembangunan pelinggih, tanpa alat berat, karena Ida hanya berbisik ‘naleran rasa Ida’ (ikut rasa Ida).


Namun saat ditanya, beliau menjawab:

> "Nenten ida sane ngawit, nanging rasa sane mabalik ring purna.”
(Bukan Ida yang memulai, tapi rasa yang kembali pada asal.)



Sloka Wahyu tentang Karisma dan Rasa

Dalam meditasi panjangnya, Ida Sinuhun mengucapkan sebuah sloka yang menjadi pijakan pemahaman mistik dan karisma:

> न हि तेजो बाह्यरूपेण ज्ञायते ब्रह्मणः स्थितिः।
Na hi tejo bāhyarūpeṇa jñāyate brahmaṇaḥ sthitiḥ.
Kecemerlangan sejati tidak dikenal dari rupa luar, tetapi dari tempat tinggal Brahman dalam diri.



Maknanya, karisma tidak terletak pada penampilan, tetapi pada getaran rohani yang terpancar dari kesadaran menyatu dengan Tuhan.

Kisah Sakral: Air Mata Menjadi Tirta

Salah satu kisah yang dikenang:

Seorang pemangku yang dirundung derita, kehilangan anak dan istrinya, datang dalam keadaan linglung. Di hadapan Ida Sinuhun, ia hanya duduk diam. Ida Sinuhun pun duduk menunduk, tanpa berkata. Dalam diam itu, si pemangku menangis — dan air mata yang jatuh di tangan Ida Sinuhun tiba-tiba berubah harum.

Ida pun berkata:

> "Iki punika tirta sane pinaka bukti, yen rasa melas bisa ngalanturang kamoksan."
(Ini adalah tirta sebagai bukti bahwa welas asih bisa mengantar pembebasan.)



Sejak itu, air mata dalam ajaran Ida Sinuhun dikenal sebagai salah satu bentuk tirtha ring rasa – tirta yang muncul dari kejernihan hati, bukan dari kendi atau padma.


---

Bab ini menampilkan bahwa keajaiban Ida Sinuhun bukanlah karena kesaktian yang dipamerkan, tetapi karena keheningan batin yang mengubah segalanya. Beliau adalah mahatma yang melampaui bentuk, dan daya spiritualnya menyentuh manusia bukan melalui kekuatan, tetapi melalui kasih, rasa, dan dharma.


---


Baik, mari kita lanjutkan ke Bab 8 – Ajaran Rahasia Ida Sinuhun tentang Kelahiran dan Kematian, bagian yang menggambarkan kedalaman spiritual beliau dalam memahami siklus janma-mrityu sebagai gerbang kesadaran, bukan sekadar nasib biologis.


---

Bab 8: Ajaran Rahasia Ida Sinuhun tentang Kelahiran dan Kematian

Janma Mrityu: Lahir Bukan Awal, Mati Bukan Akhir

Dalam semadi sunyi di Padmasana Niskala, Ida Sinuhun kerap berbicara tentang kelahiran dan kematian, bukan sebagai peristiwa fisik, tetapi sebagai pembukaan dan penutupan cakra jiwa. Beliau menyampaikan bahwa hidup adalah perjalanan pulang, dan kematian hanyalah gerbang menuju kesadaran yang lebih halus.

Wejangan Ida Sinuhun kepada Cantrik Tua

Pada suatu malam purnama, seorang cantrik tua yang merasa ajalnya dekat bertanya:

> “Sinuhun, napi sane dados sesuluh titiang sangkan paran?”



Ida Sinuhun hanya menatap rembulan, lalu bersabda:

> "Lahir punika maya, mati punika maya. Sane tan maya punika rasa sane tan prasida mati."
(Kelahiran adalah ilusi, kematian pun ilusi. Yang bukan ilusi adalah rasa yang tak bisa mati.)



Sloka tentang Jiwa Abadi

Untuk menjelaskan ajaran ini, Ida Sinuhun sering mengutip sloka klasik dari Bhagavad Gita:

> न जायते म्रियते वा कदाचिन् नायं भूत्वा भविता वा न भूयः।
Na jāyate mriyate vā kadācin nāyaṁ bhūtvā bhavitā vā na bhūyaḥ.
Jiwa tidak dilahirkan dan tidak pernah mati. Ia tidak berasal dari sesuatu dan tidak akan menjadi sesuatu lain.



> (Bhagavad Gita 2.20)



Beliau menambahkan bahwa ajaran ini tidak cukup dipahami, tapi harus diresapi lewat tapa rasa — merasakan hidup secara utuh agar saat mati, kita tidak kehilangan apa-apa, karena kita sudah menyatu dengan segalanya.

Ritus Lahir dan Mati Menurut Ida Sinuhun

Ida Sinuhun juga mengajarkan bahwa proses lahir dan mati bukan hanya ritus lahir dan pengabenan, tetapi setiap harinya kita "lahir" dan "mati":

Ketika kita menyadari kesalahan, itu kelahiran baru.

Ketika kita melepaskan ego, itu kematian suci.

Ketika kita menangis karena sadar, itu janma rasa.

Ketika kita tersenyum saat ditinggal, itu mrityu jnana.


Tirtha Pangruwat dan Japa Mala Panarima

Beliau merancang dua simbol sakral:

1. Tirtha Pangruwat – air suci untuk memutus kelahiran batin yang palsu.


2. Japa Mala Panarima – tasbih sunyi untuk menerima bahwa setiap detik adalah bagian dari janma lan pralina.



Beliau menegaskan:

> “Wicara sane utama punika nenten ‘kenapa lahir?’ nanging ‘napi sane musti dados sawitra ring pati.’”
(Pertanyaan utama bukan ‘mengapa kita lahir?’, tapi ‘apa yang harus kita bawa pulang saat mati?’)



Kisah Cantrik yang Lahir Dua Kali

Seorang cantrik muda pernah kerasukan amarah dan meninggalkan pura. Ia tersesat di luar, jatuh dalam dunia hitam. Tapi suatu malam ia kembali dengan tubuh kurus dan mata berbinar. Ida Sinuhun menerimanya tanpa tanya, hanya berkata:

> "Sampun dados bayi alit sane anyar, lan ida sampun titah ring rasa sane anyar."
(Kini engkau telah menjadi bayi baru, engkau telah dilahirkan dalam rasa yang baru.)



Itulah makna kelahiran kedua — dvija rasa — kelahiran karena pencerahan batin, bukan hanya dari rahim.


---

Bab ini menyatakan bahwa ajaran kelahiran dan kematian Ida Sinuhun bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dibebaskan. Beliau tidak mengajarkan umat agar bertahan hidup, tetapi agar bisa hidup dengan sadar dan mati dengan senyum.


---


Baik, mari kita lanjutkan ke Bab 9 – Warisan Rohani dan Pelestarian Jejak Ida Sinuhun, sebagai penutup naratif spiritual ini, sekaligus membuka ruang kontemplasi bagi generasi penerus.


---

Bab 9: Warisan Rohani dan Pelestarian Jejak Ida Sinuhun

Jejak Tak Terlihat, Warisan Tak Terhapus

Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba memang telah menepi dari dunia sabda wadana, namun beliau tidak pernah benar-benar pergi. Warisan rohaninya terus hidup — bukan hanya dalam bangunan suci, tetapi dalam laku cantrik, rasa umat, dan semangat pelestari.

Warisan yang Tak Terwariskan: Laku dan Rasa

Beliau tak meninggalkan harta, tak mewariskan surat kuasa. Namun beliau mewariskan rasa yang tak dapat dibeli, yaitu:

Kesederhanaan dalam agung

Kesucian dalam senyap

Kasih dalam ketegasan


Para cantrik memahami bahwa ilmu Ida tidak diwariskan lewat teks, tapi lewat laku dan ketulusan. Itulah mengapa warisan spiritual beliau disebut sebagai Sang Lintang Idup — bintang hidup yang tak padam meski tak selalu terlihat.

> "Tan wenten warisan sane prasida kasurat. Nanging wenten warisan sane prasida karasa."
(Tak ada warisan yang bisa ditulis, namun ada warisan yang bisa dirasa.)



Pelestarian Jejak di Pura Panataran Agung

Warisan paling nyata dan tampak adalah Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, tempat Ida Linggih sebagai manifestasi Ida Bhatara Mpu Gana. Di sinilah:

Tirtha Ida terus mengalir

Cantrik Ida melanjutkan pelayanan

Umat dari berbagai penjuru datang, bukan hanya untuk sembah, tapi untuk menyentuh rasa Ida


Pelinggih Ida dibangun dengan filosofi catur arah, catur bhakti, catur kawikon, menunjukkan bahwa jalan menuju beliau terbuka dari segala penjuru — asalkan dengan hati yang suci.

> सर्वतः पाणिपादं तत्सर्वतोऽक्षिशिरोमुखम्।
Sarvataḥ pāṇipādaṁ tatsarvato’kṣiśiromukham.
(Ia yang ilahi memiliki tangan, kaki, mata, kepala dan mulut di segala arah.)
— Bhagavad Gita 13.13



Maknanya, jejak Ida Sinuhun kini tak hanya di satu tempat, tetapi dalam semua arah hati yang tulus mencarinya.

Cantrik Abadi: Bukan Mereka yang Berjubah, Tapi yang Berjuang

Pelestarian ajaran tidak semata tugas cantrik berjubah putih. Ida selalu mengingatkan:

> "Cantrik punika sane kadadosang, nanging rasa punika sane ngamolihang."
(Cantrik adalah yang dijadikan, tapi rasa adalah yang menghidupkan.)



Artinya, setiap orang yang mempraktikkan dharma dengan rasa, adalah cantrik sejati. Mereka yang bekerja, berladang, mendidik, membangun — selama dengan suci dan tanpa pamrih — adalah bagian dari pelestari jejak Ida.

Ritus Tahunan: Pawintenan Rasa

Setiap pawintenan di Pura Panataran Agung, selalu diawali dengan sawitra rasa — bukan sekadar mandi atau mepandes, tapi merenung tentang sejauh apa kita telah menghidupi dharma.

Tirta Ida dipercaya bukan hanya menyucikan tubuh, tapi mengaktifkan kesadaran roh, agar setiap orang tidak hanya mengenang Ida Sinuhun, tetapi juga menghidupkan Ida dalam diri.


---

Penutup Bab: Menjadi Jejak yang Menjaga Jejak

Ida Sinuhun telah menanam pohon rohani yang akarnya merasuk dalam kesadaran umat. Kini, tugas kita bukan hanya menjaga batang dan daunnya, tetapi juga menjadi tanah yang subur agar warisan itu tak kering.

Karena beliau tidak membangun kerajaan, tetapi menanam kesadaran. Tidak menciptakan pengikut, tetapi membangkitkan penerus rasa.

> “Titiang tan dados linggih langgeng, nanging rasa titiang prasida dados idup ring rasa ragane.”
(Aku tidak akan duduk selamanya, tapi rasaku akan hidup dalam rasa kalian.)




---

Selesai.

Dengan demikian, seluruh isi buku “Kisah Spiritual Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa)” telah selesai ditulis dalam sembilan bab. 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar