Minggu, 11 Mei 2025

FENOMENA BELING MALUNAN

FENOMENA BELING MALUNAN SEBAGAI REFLEKSI KESETARAAN GENDER MELALUI PEMBELAJARAN ILMU SOSIAL (KAJIAN SOSIO-KULTURAL BERDASARKAN ETIKA HINDU DAN LONTAR KAMAREKA)

Disusun oleh:
I Putu Gede Kanha Manu Aditya
NIM:
Program Studi Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar
2025


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena beling malunan menjadi bagian dari dinamika budaya Bali modern, di mana praktik ini dipandang sebagai bentuk efisiensi dalam memastikan kesuburan pasangan. Namun, di balik itu tersembunyi persoalan dominasi gender dan diskriminasi terhadap nilai-nilai kesetaraan. Dalam konteks Pendidikan Agama Hindu, penting mengkaji ulang praktik ini dengan perspektif etika dharma dan ajaran suci Hindu, termasuk warisan lontar seperti Kamareka yang membahas etika hubungan antar manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana praktik beling malunan direfleksikan dalam konteks kesetaraan gender?


2. Apa pandangan etika Hindu terhadap fenomena ini?


3. Bagaimana nilai-nilai dalam Lontar Kamareka memberikan kerangka spiritual terhadap persoalan ini?



C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan praktik beling malunan sebagai refleksi sosial.


2. Menganalisis fenomena ini berdasarkan etika Hindu dan sloka suci.


3. Menggali nilai spiritual berdasarkan lontar Kamareka.



BAB II

LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

Teori Gender dan Dominasi Simbolik (Bourdieu)

Teori Etika Dharma dalam Hindu

Teori Pendidikan Sosial dan Kritis


B. Lontar Kamareka sebagai Dasar Etika Hubungan

Dalam Kamareka, disebutkan bahwa hubungan antara manusia harus dilandasi oleh tanggung jawab lahir dan batin. Dalam baitnya tertulis:

> Sanskerta (dari naskah Bali):
Nahan ikang salwiring angga, hana ri somya hana ri adarma, apiteng anut ring sādhu dharma.

Transliterasi:
"Nahan ika salwiring angga, hana ring saumya hana ring adharma, apite anut ring sadhu dharma."

Makna:
“Seluruh bagian tubuh manusia dapat membawa pada jalan dharma atau adharma, tergantung sejauh mana ia tunduk pada kebijaksanaan suci.”


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif dengan pendekatan hermeneutik teks suci dan etnografi partisipatoris. Sumber data utama meliputi hasil wawancara, studi pustaka, dan naskah lontar Kamareka.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Praktik Beling Malunan dalam Masyarakat Bali

Muncul dari kebutuhan akan kepastian sosial dan harapan keluarga besar, beling malunan menjadi ukuran produktivitas tubuh. Hal ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat menilai kehormatan melalui kemampuan reproduksi.

B. Pandangan Etika Hindu

Sloka dari kitab suci menggarisbawahi nilai kesucian tubuh:

> Sanskerta:
Śarīramādyaṃ khalu dharma-sādhanam

Transliterasi:
Sharīram ādyam khalu dharma-sādhanam

Makna:
"Tubuh adalah sarana utama dalam menegakkan dharma."


Memanfaatkan tubuh demi tujuan sosial, tanpa memperhatikan nilai kesucian, merupakan bentuk penyimpangan adharma.

C. Peneguhan Etika melalui Lontar Kamareka

Lontar ini secara halus menyampaikan bahwa hubungan antar manusia harus dibangun atas dasar tanggung jawab spiritual, bukan semata-mata tuntutan biologis atau sosial. Prinsip tri kaya parisudha (pikiran, perkataan, dan perbuatan yang suci) menjadi tolok ukur.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Fenomena beling malunan mencerminkan kompleksitas antara kepraktisan modern, tuntutan sosial, dan pelanggengan budaya patriarki. Dalam etika Hindu dan ajaran Kamareka, praktik ini tidak sejalan dengan nilai dharma, karena mereduksi tubuh sebagai alat pemuas norma sosial semata, bukan wahana suci dalam spiritualitas.

B. Saran

Pendidikan agama Hindu harus memperkuat pemahaman tentang kesucian tubuh dan tanggung jawab spiritual dalam hubungan antar manusia. Lontar-lontar klasik seperti Kamareka perlu diintegrasikan dalam pembelajaran kritis berbasis nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar