Transformasi Spiritual dalam Kesulinggihan: Antara Tuduhan Pelarian dan Jalan Dharma
Oleh:
I Gede Sugata Yadnya Manuaba
---
I. PENDAHULUAN
Kesulinggihan adalah mahkota tertinggi dalam kehidupan spiritual Hindu. Menjadi sulinggih bukan sekadar perubahan status sosial, melainkan puncak dari laku spiritual yang memerlukan niat tulus, keikhlasan, kejujuran batin, dan proses pendidikan yang terstruktur. Namun, dalam kehidupan modern, muncul narasi sinis bahwa menjadi sulinggih adalah pelarian untuk meningkatkan taraf hidup, atau bahwa dunia sulinggih "tidak baik-baik saja".
Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar:
Apakah salah menjadi sulinggih dari latar belakang duniawi, seperti purnawirawan jenderal?
Mengapa ada sulinggih yang justru membully atau mengulas asal-usul orang lain dalam dharmawacana?
Apakah yang membully itu menjadi sulinggih saat ini, tidak juga berasal dari “bekas-bekas” kehidupan duniawinya yang terdahulu?
Makalah ini mengupas isu tersebut melalui sudut pandang tattwa Hindu, etika spiritual, dan sistem pewarisan kesulinggihan dalam garis parampara Griya Agung Bangkasa.
---
II. LANDASAN FILOSOFIS: KUTIPAN SLOKA
1. Sloka Tentang Transformasi dan Niat Tulus
सर्वधर्मान्परित्यज्य मामेकं शरणं व्रज ।
अहं त्वां सर्वपापेभ्यो मोक्षयिष्यामि मा शुचः ॥
Bhagavad Gita XVIII.66
Transliterasi: Sarva-dharmān parityajya mām ekaṁ śaraṇaṁ vraja
Ahaṁ tvāṁ sarva-pāpebhyo mokṣayiṣyāmi mā śucah
Makna: Tinggalkan semua dharma duniawi, dan berserah dirilah sepenuhnya kepada-Ku. Aku akan membebaskanmu dari segala dosa. Jangan bersedih.
Sloka ini menegaskan bahwa transformasi spiritual tidak tergantung pada latar belakang, melainkan pada totalitas penyerahan diri. Seorang purnawirawan, jenderal, maupun rakyat biasa, jika berserah kepada dharma, layak menjadi sulinggih.
---
2. Sloka Tentang Ucapan yang Menyakitkan
सत्यं ब्रूयात्प्रियं ब्रूयान्न ब्रूयात्सत्यं अप्रियम्।
प्रियम् च नानृतं ब्रूयादेष धर्मः सनातनः॥
Transliterasi: Satyaṁ brūyāt priyaṁ brūyān na brūyāt satyaṁ apriyam
Priyam ca nānṛtaṁ brūyād eṣa dharmaḥ sanātanaḥ
Makna: Berkatalah benar dan menyenangkan. Jangan katakan kebenaran jika itu menyakitkan, dan jangan pula mengatakan yang menyenangkan jika itu dusta. Inilah dharma yang abadi.
Dharmawacana adalah media penyadaran, bukan penghakiman. Membuka aib masa lalu seseorang di depan umum, apalagi untuk menyindir, adalah pelanggaran terhadap etika seorang sulinggih.
---
III. SISTEM KEKESULINGGIHAN GRIYA AGUNG BANGKASA
Dalam garis parampara Griya Agung Bangkasa, proses menuju kesulinggihan dijalani dengan penuh disiplin dan kesucian, melalui tiga fase transformatif:
1. Pendidikan dan Pelatihan Kepinanditaan Wiwa
Tahapan awal sebagai ulat, di mana seseorang dididik nilai-nilai brahmana dan hidup sederhana dengan pembimbing (guru nabe).
2. Pawintenan Wiwa dan Bhawati
Menandai proses seseorang diterima dalam keluarga spiritual sebagai kepompong, anak dharma yang mulai menunjukkan kualitas kebrahmanaan.
3. Dwijati Didiksa (Sulinggih)
Seseorang ditahbiskan menjadi sulinggih, ibarat kupu-kupu yang siap terbang menyebarkan keharuman dharma dan kebijaksanaan ke mana pun ia berada.
Dalam sistem ini, asal usul duniawi seseorang tidak menjadi penghalang, asalkan niat, ketulusan, dan dharma dijalani dengan konsisten.
---
IV. ANALISIS: STIGMA DAN KEHORMATAN
1. Tuduhan “Pelarian”
Mereka yang menuduh bahwa kesulinggihan hanyalah pelarian lupa bahwa laku spiritual adalah panggilan jiwa. Banyak yang meninggalkan jabatan, harta, dan status duniawi justru untuk melayani dharma. Itu bukan pelarian, itu pengorbanan.
2. Kesulinggihan adalah Pengabdian, Bukan Ajang Pamer Gelar
Seorang sulinggih bisa menyebut masa lalunya bukan untuk membanggakan, tetapi sebagai bukti transformasi, motivasi bagi umat bahwa siapa pun bisa menempuh jalan suci.
3. Etika Seorang Sulinggih dalam Wacana Publik
Sulinggih adalah contoh ketenangan dan welas asih. Membully atau menyindir orang lain dalam dharmawacana bertentangan dengan ajaran ahimsa (tidak menyakiti).
---
V. PENUTUP
Kesulinggihan adalah jalan panjang yang sakral. Tidak satu pun berhak menghakimi latar belakang seseorang yang memilih jalan ini, selama ia menjalani proses dengan jujur dan ikhlas. Seperti kupu-kupu yang lahir dari ulat dan kepompong, setiap sulinggih memiliki masa lalu. Justru dari masa lalu itulah mereka belajar terbang lebih indah membawa dharma.
Mari kita hargai setiap insan yang dengan tulus memasuki dunia kesucian. Karena dunia sulinggih bukan tentang siapa Anda dulu, tetapi siapa Anda kini, dan apa yang Anda berikan untuk dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar