Minggu, 11 Mei 2025

Refleksi Etika, Keteladanan, dan Spiritualitas dalam Figur Kaki-Nini Begawan Penyarikan, Citragotra, Samantara, dan Panyeneng

Refleksi Etika, Keteladanan, dan Spiritualitas dalam Figur Kaki-Nini Begawan Penyarikan, Citragotra, Samantara, dan Panyeneng: Telaah Filosofis Sloka Hindu dan Warisan Luhur Tradisi Bali

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:
Artikel ini mengkaji nilai-nilai spiritual dan keteladanan dari tokoh-tokoh suci yang dikenal dalam tradisi Bali, yakni Kaki/Nini Begawan Penyarikan, Citragotra, Samantara, dan Panyeneng. Dengan pendekatan hermeneutik Hindu dan interpretasi sloka-sloka suci dalam bahasa Sanskerta, artikel ini menelusuri warisan nilai yang ditinggalkan oleh para begawan ini dalam membentuk etika sosial, kesadaran spiritual, serta tatanan adat Bali yang religius dan harmonis.


---

1. Pendahuluan

Dalam tradisi keagamaan Hindu-Bali, tokoh-tokoh spiritual lokal seperti Kaki/Nini Begawan Penyarikan, Begawan Citragotra, Samantara, dan Panyeneng merupakan figur sentral dalam penyebaran dharma (ajaran kebenaran) dan pembimbing masyarakat secara rohaniah. Mereka sering dihormati sebagai sulinggih kawitan atau guru bijak yang menurunkan ajaran melalui tapa, brata, yoga, dan semadi.


---

2. Sloka Hindu sebagai Landasan Filosofis

Dalam menggambarkan keagungan para Begawan, digunakan sloka-sloka dari Weda dan Itihasa yang mencerminkan sifat, perilaku, dan laku spiritual mereka.

Sloka 1: Tentang Penyarikan – Sang Penyimpan Weda

Sanskerta:
विद्या ददाति विनयं विनयाद् याति पात्रताम्।
पात्रत्वात् धनमाप्नोति धनात् धर्मं ततः सुखम्॥

Transliterasi:
vidyā dadāti vinayaṁ vinayād yāti pātratām |
pātratvāt dhanam āpnoti dhanāt dharmaṁ tataḥ sukham ||

Makna:
"Ilmu pengetahuan memberikan kerendahan hati, dari kerendahan hati datang kelayakan, dari kelayakan datang kekayaan, dan dari kekayaan datang dharma, darinya timbul kebahagiaan sejati."

Filosofi Penyarikan:
Begawan Penyarikan dihormati sebagai penjaga lontar, pustaka suci, dan warisan sastra Hindu. Sloka ini menggambarkan bahwa kebijaksanaan sejati bukan untuk pamer, melainkan untuk membangun tata etika, kedisiplinan, dan kesejahteraan rohani. Ia dikenal sebagai “Sarjana Adat Dharma” yang mencatat dengan batin yang suci.


---

Sloka 2: Tentang Citragotra – Sang Pewaris Citra Rsi

Sanskerta:
न तस्य कश्चित् दयितो न चाद्वेष्योऽस्ति कश्चन।
यस्मिन् जीवो जीवति स मे प्रियतमः सदा॥

Transliterasi:
na tasya kaścit dayito na cādveṣyo'sti kaścana |
yasmin jīvo jīvati sa me priyatamaḥ sadā ||

Makna:
"Baginya tiada yang dicinta lebih atau dibenci, siapa pun yang menghidupi jiwa dharma adalah kekasih Tuhan yang sejati."

Filosofi Citragotra:
Sebagai begawan dengan silsilah luhur (gotra), Citragotra mengajarkan prinsip samadrishti (pandangan yang setara), menembus perbedaan kasta dan warna, sehingga tiap makhluk dipandang sebagai bagian Brahman. Ia adalah pengusung nilai keadilan spiritual dan toleransi.


---

Sloka 3: Tentang Samantara – Sang Pengembara Tapas

Sanskerta:
एकं सत् विप्रा बहुधा वदन्ति।

Transliterasi:
ekaṁ sat viprā bahudhā vadanti

Makna:
"Kebenaran itu satu, para Rsi menyebutnya dengan banyak nama."

Filosofi Samantara:
Samantara adalah simbol para tirthayatra, pengembara spiritual yang menjelajah desa dan gunung membawa api suci dharma. Ia melambangkan pemersatu banyak jalur spiritual menuju kebenaran yang tunggal. Ajarannya mengajarkan bahwa semua jalan yang benar membawa pada Tuhan yang Esa.


---

Sloka 4: Tentang Panyeneng – Sang Penenteram Alam dan Jiwa

Sanskerta:
शान्ताकारं भुजगशयनं पद्मनाभं सुरेशं।
विश्वाधारं गगनसदृशं मेघवर्णं शुभाङ्गम्॥

Transliterasi:
śāntākāraṁ bhujagaśayanaṁ padmanābhaṁ sureśaṁ |
viśvādhāraṁ gaganasadṛśaṁ meghavarṇaṁ śubhāṅgam ||

Makna:
"Yang wujudnya adalah kedamaian, berbaring di atas naga suci, berpusat di padma hati, Tuhan para dewa, penyangga semesta, seperti langit tak terbatas, bercahaya seperti awan, dan tubuhnya indah suci."

Filosofi Panyeneng:
Panyeneng memancarkan aura ksama (kesabaran), prasada (ketenangan), dan shanti (kedamaian). Ia mengajarkan harmonisasi antara manusia dan alam, menjadi pusat keteduhan spiritual di tengah kegaduhan duniawi.


---

3. Kesimpulan

Keempat tokoh ini merupakan personifikasi dari empat jalan hidup suci: jnana (pengetahuan), bhakti (pengabdian), karma (pengabdian sosial), dan shanti (kedamaian batin). Melalui sloka-sloka suci yang dikaji, warisan mereka tidak hanya hidup dalam mitos lokal, melainkan menjadi pilar hidup spiritual masyarakat Bali hingga hari ini.


---

Daftar Pustaka

Bhagavad Gītā

Manusmṛti

Upanishad dan Ṛgveda

Lontar Tutur Aji Sangkya

Wacana Guru Tua Bali dan Tutur Ida Pedanda

Sumber Tradisi Lisan Griya dan Dadia di Bali


Tidak ada komentar:

Posting Komentar