MEMBUMIKAN LELUHUR
(Mengangkat Spirit Leluhur ke Kehidupan Nyata dan Keseharian)
Oleh: I Ketut Sumarya
Akhirnya, karya agung itu dituntaskan hari ini. Sebuah perjalanan panjang yang berujung pada tuntasnya tahapan yadnya sebagai perwujudan bhakti suci kepada para leluhur. Mulai esok, kerumunan yang berdesakan demi mendekat ke natar utama linggih para leluhur akan menjadi catatan sejarah — ditinggalkan dalam kenangan dan diabadikan dalam sanubari.
Denting genta, gema patet gambelan, dan rengek polos para balita yang belum paham sakralnya gumam mantra sulinggih, justru menjadi penanda kuat: merekalah pemilik masa depan parhyangan ini. Sebab yadnya bukan hanya tentang masa lalu — ia adalah investasi spiritual bagi generasi yang akan datang.
Paradoxal Dalam Rasa
Setiap yang terlibat dalam karya agung ini pasti membawa pulang sesuatu. Bukan sekadar sesaji atau busana upacara, tetapi kenangan batin:
Perpaduan antara haru dan sesal, antara cinta dan ledakan kemarahan.
Inilah warna dari karya suci yang tak luput dari ego manusia. Dalam hajatan kolosal yang sakral, kerap terselip ambisi: siapa yang paling terlihat, paling terpuji, paling utama. Padahal sejatinya, yadnya adalah pembakaran ego dalam api dharma.
Sloka Hindu: Makna Yadnya yang Sejati
> न मे भक्तः प्रणश्यति।
na me bhaktaḥ praṇaśyati (Bhagavad Gita 9.31)
Artinya:
"Bhakta-Ku tidak akan binasa."
Sloka ini menjadi pengingat bahwa siapapun yang tulus menjalankan yadnya sebagai bhakti kepada Hyang Widhi dan leluhur, tidak akan pernah sia-sia. Ia tidak akan hilang, tidak akan musnah. Sebab yadnya adalah jalan menuju kekekalan jiwa, bukan sekadar pencapaian duniawi.
---
Lanjut ke Tahapan Berikutnya
Secara pribadi, saya menyampaikan rasa syukur karena tahapan yadnya agung ini berjalan dengan lancar. Saya bangga bahwa Parhyangan Linggih Bhatara Mpu Gana telah memancarkan magnet spiritual ke seluruh pelosok, menggugah rasa suci warga Pasek di kota dan desa.
Namun, setelah puncak, datanglah pertanyaan:
"Apa selanjutnya?"
Apakah parhyangan megah ini akan tetap menjadi lambang harga diri, komitmen, dan kemandirian? Apakah ia akan hidup, atau hanya menjadi monumen? Bagaimana ruang-ruang di dalamnya bisa dioptimalkan untuk menyentuh dan memberdayakan mereka yang belum beruntung dalam trah Gnijaya Wangsa?
---
Saatnya Membumikan Waralugraha Para Leluhur
Optimalisasi harus disegerakan. Jangan sampai megahnya bangunan parhyangan menjadi titik henti. Ia harus menjadi sarana, bukan tujuan. Karena misi kita adalah membumikan waralugraha para leluhur — menurunkan kasih, kearifan, dan tuntunan mereka dalam bentuk tindakan nyata.
Mereka yang Acintya — tak terpikirkan oleh logika — sejatinya selalu hadir saat kita mengabdi, bekerja, mengajar, membangun, dan memuliakan hidup. Maka warisan sejati para leluhur adalah saat Bali ini, dalam segala sektor, dipenuhi oleh nilai-nilai santhi (damai), dharma (kebenaran), dan seva (pengabdian).
Penutup: Sloka Peneguh Tujuan
> स्वधर्मे निधनं श्रेयः परधर्मो भयावहः।
svadharme nidhanam śreyaḥ paradharmo bhayāvahaḥ (Bhagavad Gita 3.35)
Makna:
"Lebih baik meninggal dalam menjalankan dharma sendiri daripada hidup mengikuti dharma orang lain, karena dharma orang lain itu berbahaya."
Maka, mari kita teruskan pengabdian ini — bukan sebagai rutinitas seremonial, tapi sebagai penghidupan nilai leluhur dalam setiap denyut nadi Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar