Jumat, 09 Mei 2025

KEDUDUKAN SPIRITUAL DALAM UPACARA BAYUH OTON

KEDUDUKAN SPIRITUAL DALAM UPACARA BAYUH OTON: HANYA SULINGGIH YANG LAYAK MERUWAT KELAHIRAN MENURUT AJARAN HINDU

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak
Upacara Bayuh Oton merupakan ritual sakral dalam tradisi Hindu di Bali yang bertujuan untuk membersihkan dan meruwat kelahiran seorang manusia dari pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin melekat sejak ia lahir. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi penyimpangan terhadap tatanan spiritual, di mana upacara Bayuh Oton dilakukan oleh pemangku atau bhawati yang belum mencapai status sulinggih. Artikel ini membahas secara ilmiah dan spiritual tentang posisi yang tepat dalam melaksanakan Bayuh Oton, berdasarkan ajaran Veda, Lontar, dan praktik tradisi Hindu Bali.
---

Pendahuluan
Dalam kosmologi Hindu Bali, kelahiran manusia tidak hanya dipandang sebagai peristiwa biologis, tetapi juga spiritual. Bayuh Oton dilakukan sebagai bentuk ruwatan untuk menyucikan manusia dari pengaruh buruk yang berasal dari kala (waktu), karma wasana, dan kekuatan tak kasatmata. Karena upacara ini bersifat spiritual tinggi, maka diperlukan tokoh spiritual yang sudah “megelar” atau “meraga Siwa”, yakni sulinggih. Namun dewasa ini muncul praktik-praktik yang menyimpang, di mana pemangku atau bhawati yang belum menyandang status sulinggih justru melaksanakan upacara ini.
---

Dasar Filosofis dan Skriptural

Ajaran Hindu menempatkan struktur dharma sangat ketat dalam pelaksanaan upacara yadnya. Sulinggih merupakan tokoh spiritual yang telah melalui proses Diksa dan Samiksa, serta hidup dalam tatanan Nivṛtti Mārga (jalan spiritual melepaskan duniawi). Hanya sulinggih yang layak menyandang pakaian kebesaran (busana agung), mebhawa (melaksanakan penurunan aspek ilahi), dan mengucapkan mantra-mantra tinggi dalam ruwatan.

Sloka dalam Atharvaveda dan Upanishad memberi landasan bahwa seorang rohaniwan sejati harus telah mencapai pengendalian diri dan kesucian spiritual:

Sloka Sanskerta:
"Brahmavid brahmaiva bhavati"
(Chandogya Upanishad 3.14.1)

Transliterasi:
Brahmavid brahmaiva bhavati
Makna:
"Orang yang mengenal Brahman (Tuhan), ia sendiri menjadi Brahman (mengalami penyatuan ilahi)."

Sloka ini mempertegas bahwa hanya mereka yang telah mencapai realisasi spiritual dan menjadi satu dengan Brahman (Sulinggih) yang layak menjalankan upacara pembersihan spiritual seperti Bayuh Oton. Pemangku atau bhawati, walaupun berperan penting dalam kehidupan spiritual masyarakat, tidak memiliki otoritas spiritual untuk meruwat karma wasana seorang manusia.
---

Argumentasi Teologis dan Tradisional

Bayuh Oton termasuk dalam kategori Manusa Yadnya dengan tingkat spiritual menengah hingga tinggi tergantung jenis dan tujuannya. Dalam tradisi Bali, upacara ini idealnya dipimpin oleh sulinggih karena membutuhkan kemampuan adhyatmika (spiritual) dan adhidaivika (ilahi), terutama untuk mengakses kekuatan mantra dan pembacaan lontar-lontar seperti Tattwa Sang Hyang Rudra, Roga Sangaskara, dan Bayuh Otonan Sangaskara.

Dalam lontar Roga Sangaskara dijelaskan:

"Tan hana ruwatan kawedar dening tan adiksa dwijati pada linggih Siwa ngaran"
Artinya:
"Tidak ada ruwatan yang sempurna jika dilakukan oleh mereka yang belum mediksa madwijati sama kedudukan dengan Siwa namanya. "

Kutipan lontar lawar Capung Ki Dalang Tangsub:
Kunang wwang tan maka don pinehayunen tampel bolong, salawasnia tan amanggih mertha sanjiwani lawan kaswargani, apan jadma tan kasupat dening sang putus Siwa kalanwan Budha, wenang amanggih panca gati sangsara sama lawan atmaning wwang tulah keneng upata upadrawa tan dadya jadma mwah encep ring kawah.

Terjemahan:
Kalau ada orang yang tidak melakukan ruwatan / bayuh tampel bolong, selamanya tidak akan menemui keberhasilan dalam hidupnya dan menemukan sorganya, karena orang itu tidak disucikan oleh brahmana Siwa dan Budha, wajar menemukan lima macam kesengsaraan sama seperti atma orang yang mendapat kutukan, tidak akan menjelma menjadi manusia lagi, akan tenggelam di dalam kawah (neraka)  

Dengan demikian, hanya sulinggih yang dianggap sebagai wujud manifestasi Siwa dalam dunia ini yang dapat melaksanakan ruwatan seperti Bayuh Oton.
---

Kesimpulan

Pelaksanaan Bayuh Oton tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga spiritual dan teologis. Pemangku dan bhawati belum memiliki kedudukan spiritual sebagai sulinggih, sehingga tidak layak untuk melaksanakan ruwatan Bayuh Oton. Hal ini bertentangan dengan ajaran suci dan struktur dharma dalam Hindu. Maka, untuk menjaga kesucian dan keberhasilan spiritual upacara, Bayuh Oton hanya boleh dilaksanakan oleh seorang sulinggih yang telah megelar atau meraga Siwa, karena hanya beliau yang mampu menjadi penghubung antara manusia dan kekuatan ilahi.
---

Daftar Pustaka (Contoh):

1. Lontar Roga Sangaskara
2. Lantar Lawar Capung (Ki Dalang Tangsub) 
3. Chandogya Upanishad
4. Atharvaveda
5. Wiana, I. Made. (2004). Agama Hindu dan Tradisi Bali.
6. Titib, I. Made. (1996). Veda dan Upanishad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar