SKRIPSI ILMIAH
PENGABENAN Śānti-Kriyā (शान्तिक्रिया) – RITUS UNTUK KEDAMAIAN JIWA: TINJAUAN FILOSOFIS, SASTRAWI, DAN STRUKTUR UPAKARA MINIMALIS DALAM UPAKARA NGABEN BERBASIS DHARMA TATTWA
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Upacara Ngaben merupakan salah satu ritual penting dalam agama Hindu di Bali yang berfungsi sebagai pelepasan unsur Panca Mahabhuta dan pengembalian Atman ke asalnya. Di dalamnya terdapat satu fase krusial, yakni Śānti-Kriyā, yang bertujuan membawa kedamaian kepada jiwa (Atman) agar dapat mencapai moksa. Namun, modernisasi dan keterbatasan sumber daya mendorong lahirnya struktur upakara yang lebih minimalis, tanpa mengurangi nilai sakral dan makna filosofisnya.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa makna filosofis dari Śānti-Kriyā dalam upacara Ngaben?
- Bagaimana makna sastrawi (berdasarkan sloka-sloka) mendasari Śānti-Kriyā?
- Bagaimana bentuk struktur upakara minimalis yang tetap sesuai dengan ajaran Dharma Tattwa?
1.3 Tujuan Penelitian
- Mengkaji makna filosofis Śānti-Kriyā.
- Menyajikan sloka Sansekerta beserta terjemahan dan relevansinya dalam Śānti-Kriyā.
- Merumuskan struktur upakara minimalis sesuai prinsip Dharma Tattwa.
BAB II: LANDASAN TEORETIS
2.1 Pengertian Śānti-Kriyā
Śānti berarti "kedamaian", dan kriyā berarti "tindakan" atau "ritus". Dalam konteks upacara kematian, ini adalah tindakan suci untuk menciptakan ketenangan jiwa yang telah lepas dari badan kasar.
2.2 Dharma Tattwa
Dharma Tattwa adalah prinsip kebenaran dan kesucian universal yang menjadi dasar ajaran Hindu. Dalam konteks upacara, setiap tindakan harus selaras dengan dharma agar membawa kebaikan lahir dan batin.
2.3 Sloka-Sloka Relevan
Sloka 1: "Om Antarikṣaṁ śāntiḥ, Pṛthivī śāntiḥ, Āpaḥ śāntiḥ, Oṣadhayaḥ śāntiḥ" Makna: Kedamaian di antariksa, di bumi, pada air, dan pada tumbuh-tumbuhan. Relevansi: Mendoakan kedamaian menyeluruh sebagai harmoni makrokosmos dan mikrokosmos.
Sloka 2: "Atmānaṁ satataṁ śuddhaṁ, sarvavyāpi sanātanam" Makna: Atman itu selalu suci, meliputi segalanya, dan abadi. Relevansi: Menegaskan bahwa Atman hanya perlu dilepaskan agar kembali bersatu dengan Brahman.
Sloka 3: "Yadā te mohakalilaṁ buddhir vyatitariṣyati, tadā gantāsi nirvedaṁ, śrotavyasya śrutasya ca" (Bhagavad Gītā II.52) Makna: Saat kebijaksanaanmu melampaui kabut ilusi, engkau akan mencapai kejernihan terhadap apa yang telah dan perlu didengar. Relevansi: Digunakan untuk menunjukkan pentingnya kebijaksanaan dalam melepaskan keterikatan.
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif.
3.2 Sumber Data
- Literatur klasik seperti Bhagavad Gītā, Upaniṣad, dan Lontar Dharma Tattwa.
- Wawancara dengan sulinggih dan praktisi upacara di Bali.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
- Studi pustaka
- Observasi partisipatif
- Wawancara mendalam
3.4 Teknik Analisis Data Analisis interpretatif dengan pendekatan hermeneutik dan dharmalogis.
BAB IV: PEMBAHASAN
4.1 Makna Filosofis Śānti-Kriyā Upacara ini bertujuan menciptakan kedamaian pada tiga tingkat: atma (jiwa individu), bhuwana alit (tubuh dan rumah), serta bhuwana agung (alam semesta). Mengandung simbolisasi pelepasan keterikatan dan harmonisasi kembali dengan semesta.
4.2 Tinjauan Sastrawi Sloka-sloka mendasari seluruh tindakan dalam Śānti-Kriyā. Setiap doa adalah bentuk vibrasi suci untuk membimbing Atman. Doa dalam bahasa Sansekerta menciptakan resonansi spiritual tinggi.
4.3 Struktur Upakara Minimalis. Berikut contoh struktur minimalis namun esensial:
- Pawintenan untuk atma/yang diupacarai
- Panyeneng berupa sesajen canang sari, tirtha pangentas
- Sloka Śānti: dibacakan oleh pemuput
- Ngaturan Tirtha pada pusaran abu/jasad
- Śraddha simbolik dengan banten daksina alit, pungu-pungu, biyakala, durmangala
- Prayascitta sederhana dengan dupa, bunga, dan air suci serta
- Ayaban seminimal mungkin.
- Segehan.
- Nganyud (pelepasan abu ke laut/sungai)
Struktur ini dapat dijalankan dalam waktu singkat namun tetap bermakna dalam.
Ulasan Ketentuan Upacara Pengabenan
1. Larangan Menggunakan Pedudusan
Dalam konteks pelaksanaan upacara pengabenan, penggunaan pedudusan (jenis upakara yang bersifat penyucian sakala-niskala untuk rumah atau pekarangan) tidak diperkenankan lagi, karena secara niskala, roh yang sudah meninggal tidak lagi terikat dengan rumah atau lingkungan duniawi.
Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa upacara pengabenan berfokus pada penyucian roh agar mencapai alam pitra, bukan pada penyucian tempat atau lingkungan rumah secara fisik.
2. Wajib Menggunakan Upakara Dius
Sebagai pengganti pedudusan, upakara dius diwajibkan digunakan. Upakara dius bersifat penyucian sederhana, digunakan untuk menetralisir kekuatan negatif, khususnya pada tubuh (sawan) keluarga yang ditinggalkan atau bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan jenazah.
Ini sesuai dengan fungsi upakara dalam konteks pengabenan yang berfokus pada atma (roh) dan orang yang bersangkutan, bukan pada tempat.
3. Penggunaan Tirtha Penglukatan dan Pengresikan
Saat melaksanakan ngemargiyang tirtha penglukatan dan pengresikan, tidak diperlukan lagi upakara yang besar dan rumit, melainkan cukup dengan tebasan biyakala, yaitu jenis upakara sederhana yang berfungsi untuk menolak kekuatan negatif.
Hal ini menunjukkan adanya penyederhanaan yang tidak mengurangi makna spiritual, melainkan menguatkan substansi dari ritual itu sendiri.
4. Pecaruan Menggunakan Tebasan Durmangala
Jika dalam rangkaian upacara pengabenan terdapat upacara pecaruan, maka cukup digunakan tebasan durmangala (caru sederhana) untuk menetralisir energi buruk. Tujuannya adalah menjaga keharmonisan antara buana agung (alam semesta) dan buana alit (manusia) selama prosesi berlangsung.
5. Senista Wajib Memakai Kajang
Seluruh senista (benda peninggalan yang berkaitan dengan orang yang meninggal dan dianggap tidak layak pakai lagi) wajib menggunakan kajang. Kajang adalah simbol pemisah antara dunia profan (keduniawian) dengan dunia sakral (niskala), digunakan sebagai pelindung dan juga sebagai bentuk penghormatan terhadap atma yang telah meninggalkan badan kasar.
Kutipan Sloka Sansekerta
Sebagai landasan filosofis dan spiritual, dapat dikutip salah satu sloka dari Bhagavad Gita:
"Vāsāṃsi jīrṇāni yathā vihāya
navāni gṛhṇāti naro 'parāṇi |
tathā śarīrāṇi vihāya jīrṇāny
anyāni saṃyāti navāni dehī ||"
(Bhagavad Gita 2.22)
Makna:
Sebagaimana seseorang mengganti pakaian lama dan mengenakan yang baru, demikian pula roh (atma) meninggalkan badan yang telah tua dan memasuki badan yang baru.
Relevansi dengan Pengabenan:
Sloka ini menegaskan bahwa tubuh hanyalah pakaian bagi atma, dan ketika sudah tidak layak (karena kematian), tubuh itu ditinggalkan. Oleh karena itu, penyucian tidak lagi tertuju pada tubuh kasar atau lingkungan, melainkan pada keluhuran roh. Inilah dasar filosofis mengapa upakara seperti pedudusan dianggap tidak lagi relevan dalam konteks pengabenan.
Dengan pemahaman spiritual yang mendalam, penyederhanaan upacara pengabenan bukanlah pengurangan nilai, melainkan penyelarasan dengan tujuan utama upacara itu sendiri — yaitu moksha, penyatuan roh dengan asalnya. Menghindari penggunaan pedudusan, mewajibkan dius, serta pemakaian kajang dan tebasan menjadi wujud dari ketepatan sastra dan kesadaran niskala dalam beryadnya.
BAB V: PENUTUP
5.1 Simpulan Śānti-Kriyā adalah ritus penting untuk menciptakan keseimbangan dan kedamaian jiwa. Landasan sloka Sansekerta memperkuat makna sakralnya. Struktur upakara yang minimalis tetap bisa dilakukan sesuai Dharma Tattwa, asalkan dengan keyakinan dan ketulusan.
5.2 Saran Penting adanya panduan resmi upakara minimalis Śānti-Kriyā bagi masyarakat umum. Pelatihan dan penyuluhan berbasis dharma perlu digencarkan agar umat tidak terbebani biaya namun tetap dapat melaksanakan upacara secara benar.
DAFTAR PUSTAKA
- Bhagavad Gītā, Swami Prabhupada
- Taittirīya Upaniṣad
- Lontar Dharma Tattwa Bali
- Dr. I Ketut Donder. Filsafat Yoga dan Meditasi.
- Wawancara dengan Ida Pedanda Gede Putra Nara, Griya Bangli
- Majalah Genta Yoga, Edisi Khusus Upacara Pitra Yajña
Tidak ada komentar:
Posting Komentar