SKRIPSI
ATMAPUJA CATUR SUDDHI (SEKAH LINGGA CATUR SARI): SEBUAH MODEL UPAKARA PENYEKAHAN SEDERHANA BERDASARKAN FILOSOFI UNSUR PANCA MAHABHUTA DALAM TRADISI HINDU BALI
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
ABSTRAK
Upacara penyekahan dalam tradisi Hindu Bali merupakan bagian penting dari rangkaian atma wedana, yakni proses penyucian roh (atma pitara) menuju penyatuan kembali dengan Sang Hyang Widhi. Dalam konteks keterbatasan material dan spiritual masyarakat, diperlukan model penyekahan yang sederhana namun tetap mengandung esensi tattwa, etika, dan spiritual. Tulisan ini membahas model upacara "Sekah Lingga Catur Sari", yang merupakan bentuk atmapuja berbasis kesucian unsur Panca Mahabhuta dengan pendekatan tulus ikhlas (sraddha bhakti). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kajian pustaka dan wawancara tokoh agama. Diharapkan model ini menjadi inspirasi spiritual bagi masyarakat Hindu Bali masa kini dalam menjalankan yadnya secara bijaksana dan bermakna.
Kata Kunci: Sekah Lingga, Catur Sari, Atmapuja, Panca Mahabhuta, Hindu Bali, Sraddha
BAB I – PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upacara atma wedana dalam ajaran Hindu Bali adalah bentuk penghormatan dan penyucian roh leluhur agar dapat mencapai moksa. Namun, pelaksanaan upacara besar seperti pengabenan sering terkendala faktor ekonomi, sosial, dan waktu. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk menyederhanakan bentuk penyekahan tanpa mengurangi nilai sakral dan filosofisnya.
Model "Sekah Lingga Catur Sari" hadir sebagai alternatif spiritual untuk memenuhi fungsi penyucian roh dengan sarana minimal namun mengandung makna simbolis mendalam yang berpijak pada filosofi Panca Mahabhuta dan prinsip Atmapuja Catur Suddhi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa makna simbolik dari istilah Sekah, Lingga, dan Catur Sari?
2. Bagaimana filosofi Panca Mahabhuta diterapkan dalam model upacara ini?
3. Bagaimana struktur dan teknis pelaksanaan upacara Sekah Lingga Catur Sari?
4. Apa keunggulan spiritual dan sosial dari model upakara ini?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan makna dari komponen Sekah, Lingga, dan Catur Sari.
2. Menguraikan implementasi Panca Mahabhuta dalam model upakara ini.
3. Menyusun struktur dan urutan teknis pelaksanaan Sekah Lingga Catur Sari.
4. Menilai nilai-nilai luhur dan manfaat praktisnya bagi masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Menjadi referensi alternatif upakara penyekahan.
2. Memberikan solusi spiritual berbasis kearifan lokal.
3. Mendorong pelestarian nilai-nilai Hindu Bali secara kontekstual.
BAB II – LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Upacara Penyekahan
Penyekahan adalah tahap awal menyucikan roh (atma) sebelum upacara pengabenan penuh dilaksanakan. Ini adalah tahap penting dalam proses kembalinya atma ke Brahman.
2.2 Teori Panca Mahabhuta
Panca Mahabhuta adalah lima unsur alam semesta, yaitu:
Prthivi (tanah)
Apah (air)
Teja (api)
Vayu (udara)
Akasa (ether)
2.3 Atmapuja dan Catur Suddhi
Atmapuja berarti pemujaan terhadap atma. Sedangkan Catur Suddhi adalah empat penyucian unsur dasar, yang diinterpretasikan secara simbolik dalam Catur Sari.
2.4 Kutipan Sloka sebagai Landasan Filosofis
> Sloka Sanskrit:
"Yat pinde tat brahmande, yat brahmande tat pinde"
Transliterasi: "Yat piṇḍe tat brahmāṇḍe, yat brahmāṇḍe tat piṇḍe"
Makna: Apa yang ada di tubuh manusia (pinda) juga ada di alam semesta (brahmanda), dan sebaliknya.
BAB III – METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian: Kualitatif-deskriptif
Teknik Pengumpulan Data: Studi pustaka, wawancara dengan sulinggih/pemangku, dan observasi praktik di lapangan.
Analisis Data: Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
BAB IV – PEMBAHASAN
4.1 Makna dan Simbolisme
Sekah: Simbol fisik atma pitara.
Lingga: Tapakan sakral sebagai penghubung roh dengan Brahman.
Catur Sari: Empat unsur simbolik Panca Mahabhuta dalam bentuk:
1. Bija (beras putih): Tanah/prthivi – simbol dasar kehidupan.
2. Toya (air suci): Air/apah – simbol pembersih dan pengharmoni.
3. Puspa (bunga): Udara/vayu – simbol keharuman dan keikhlasan.
4. Dupa/lilin: Api/teja – simbol penerangan dan pemurnian.
Penglukatan, Prayascita dan Penglulapan.
Caru Ayam Brumbun di Natar Rumah, yang lain segehan.
Banten Ayaban seminimal mungkin.
ULASAN TENTANG KETENTUAN NYEKAH LINGGA CATUR SARI TANPA PEDUDUSAN
1. Latar Belakang
Upacara Nyekah atau Atma Wedana dalam tradisi Hindu Bali merupakan prosesi penting untuk menyucikan dan mengantarkan roh leluhur menuju penyatuan dengan Brahman. Dalam varian Lingga Catur Sari, roh ditempatkan dalam bentuk lingga sederhana dari bahan alami sebagai sarana penyatuan.
Seiring perkembangan zaman dan pertimbangan dharma kesederhanaan (ala kadarnya) serta prinsip efisiensi yadnya, beberapa ketentuan diperbarui. Salah satunya adalah penghapusan upakara Pedudusan, yang sebelumnya dianggap wajib, dan menggantinya dengan upakara Dius, serta penggunaan tirtha penglukatan dan pengulapan sebagai simbol pensucian menyeluruh.
2. Sloka Sansekerta dan Maknanya
Sloka:
"Yad yad karma karomi tat tad akhilam śivārpaṇam।
Śuddhatmā śuddhivihitaḥ śuddhaṁ śuddhena śudhyati॥"
(Bhagavad Gita / Smṛti Tantra)
Makna:
Apapun upacara (karma) yang aku laksanakan, semuanya kupersembahkan ke hadapan Śiva (Tuhan).
Jiwa yang suci, melalui sarana penyucian yang sederhana dan tulus, akan tercapai kesucian sejati melalui kesucian itu sendiri."
Sloka ini menjadi dasar spiritual bahwa tujuan yadnya bukan pada kemewahan sarana, melainkan pada ketulusan niat (śuddha bhāva) dan kesucian batin. Maka, upacara tetap sah secara tattwa walaupun tanpa pedudusan, asalkan dilakukan sesuai prinsip dharma dan tatwa.
3. Ketentuan Upacara Nyekah Lingga Catur Sari yang Diperbarui
a. Penghapusan Pedudusan
Pedudusan yang biasanya berupa rangkaian upakara besar ditiadakan.
Diganti dengan: Upakara Dius, yang lebih sederhana namun memiliki makna penyucian spiritual yang sama.
Tujuannya adalah menyentuh langsung ke puspa sekah, yaitu bunga sebagai simbol roh leluhur, dengan penghayatan penuh.
b. Pengresikan
Cukup menggunakan tirtha penglukatan sebagai sarana penyucian.
Tidak perlu menggunakan tirta pedudusan alit/madya.
c. Upakara Penyucian
Menggunakan tebasan biyakala, dan tebasan durmangala sebagai upacara penolak bhuta kala dan mala (ketidakselarasan) serta prayascita
Ini sudah mencakup penyucian wilayah upacara dan diri pelaksana.
d. Senistanya (Sekecil-kecilnya)
Senistanya (alat-alat dan simbol bekas upacara) wajib menggunakan pengulapan sebagai simbol pelepasan unsur negatif atau ‘malaning upakara’.
Pengulapan adalah bentuk pengembalian dan penyucian dengan unsur air dan api secara simbolis.
4. Dasar Tattwa & Etika Hindu
Sloka:
"Alpavastu mahārthaḥ syāt bhāvena paripālitah।
Nā bhogair na bahutvena śuddhiḥ bhavati dharmataḥ॥"
Makna:
Walau sarana kecil, jika dilakukan dengan niat suci, akan membuahkan hasil besar.
Kesucian tidak ditentukan oleh kemewahan, tapi oleh kebenaran dan ketulusan.
5. Kesimpulan
Perubahan ini bukan sekadar penyederhanaan teknis, melainkan penegasan pada esensi yadnya yang utama: niat tulus dan kedalaman tattwa. Penggunaan upakara Dius, tirtha penglukatan, prayascitta tebasa, dan pengulapan, mencerminkan semangat Tri Kaya Parisudha dalam pelaksanaan yadnya yang bersih pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Dengan demikian, Nyekah Lingga Catur Sari tanpa pedudusan tetap sah secara tattwa dan dharma, serta menjadi bentuk pelestarian yadnya yang adaptif dan relevan dengan zaman.
4.2 Tujuan Filosofis Upacara
Menyucikan unsur-unsur roh melalui penyatuan simbolis Panca Mahabhuta.
Menanamkan sraddha dan kesadaran bhakti dalam yadnya.
4.3 Waktu dan Pelaksanaan
Hari Baik: Sukra Kliwon, Purnama, Tilem.
Pemimpin Upacara: Ideal oleh sulinggih, jika tidak memungkinkan bisa oleh pemangku atau keluarga dengan niat tulus.
Caru: Cukup dengan ayam brumbun sebagai simbol harmonisasi.
4.4 Mantram Puja
> Mantram Sansekerta:
"Om Atma Tattwatma Suddha Mam Swaha"
Arti: "Ya Atma, Roh Sejati yang berasal dari Tattwa, sucikanlah aku dan sucikan sekah ini."
BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Upacara Sekah Lingga Catur Sari merupakan model atmapuja sederhana yang tetap mengandung kekuatan spiritual tinggi. Model ini menekankan pada kesatuan unsur alam (Panca Mahabhuta) dan ketulusan niat (sraddha) sebagai inti yadnya. Pelaksanaannya sesuai dengan prinsip desa kala patra serta menjunjung filosofi "esensi di atas bentuk".
5.2 Saran
Upakara ini dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai model yadnya adaptif untuk masyarakat urban.
Perlu disosialisasikan lewat lembaga keagamaan Hindu, seperti Parisada, STAH, dan Pasraman.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bhagavad Gita dan Upanisad.
2. Manawa Dharmasastra.
3. Swastika, I Wayan. (2010). Filsafat Upacara Dewa Yadnya. Denpasar: Widya Dharma.
4. Titib, I Made. (2004). Teologi dan Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita.
5. Narayana, I Ketut. (2017). Yadnya dan Tattwa dalam Kehidupan Hindu Bali. Denpasar: Bali Dharma Loka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar