TEGAL SUWUNG DALAM PENGHAYATAN BATIN UNTUK MENUNTUN KEINGINAN MENUJU KEMANUSIAAN RELIGIUS (MANUTING SESANAN AGAMA)
Oleh:
I Gede Sugata Yadnya Manuaba
(I Wimuda Apunggung)
Abstrak
Konsep Tegal Suwung dalam ajaran Bali bukan hanya berarti sebidang tanah kosong, tetapi merupakan representasi batin yang hening, bebas dari keterikatan duniawi, dan menjadi sumber kekuatan spiritual. Dalam konteks kehidupan (kauripan), Tegal Suwung menjadi dasar dalam proses momotoh (ngetohin keneh momo) — menuntun keinginan (momo) agar manusia menjadi sejati sebagai manusa (manutin ring sastra agama), yaitu insan yang hidup sesuai dengan sesanan agama (ajaran dharma). Artikel ini membahas kedalaman filosofi Tegal Suwung dilengkapi dengan kutipan sloka Hindu, transliterasi, dan pemaknaan rohaninya.
Pendahuluan
Dalam perjalanan hidup, manusia sering diperhadapkan dengan keinginan (momo) yang tiada henti. Tanpa pengendalian yang berbasis kesadaran spiritual, keinginan itu dapat menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan. Tegal Suwung sebagai landasan batiniah mengajarkan pentingnya keheningan dalam menghadapi keinginan, sehingga mampu menuntun diri menjadi manusia yang manuh (patuh) terhadap sesanan agama.
Pembahasan
1. Tegal Suwung sebagai Metafora Batin
Secara lahiriah, tegal berarti tanah lapang, dan suwung berarti kosong. Secara spiritual, ini menggambarkan batin yang luas dan hening, tanpa diwarnai oleh nafsu duniawi.
Sloka dari Bhagavadgītā (VI.6) menjelaskan pentingnya penguasaan batin:
> Sloka (Sansekerta):
बन्धुरात्मात्मनस्तस्य येनात्मैवात्मना जितः।
अनात्मनस्तु शत्रुत्वे वर्तेतात्मैव शत्रुवत्॥
> Transliterasi:
bandhur ātmātmanas tasya yenātmaivātmanā jitaḥ |
anātmanas tu śatrutve vartetātmaiva śatruvat ||
> Makna:
"Bagi orang yang telah menguasai dirinya, dirinya sendiri adalah sahabat terbaik. Tetapi bagi orang yang tidak menguasai dirinya, dirinya sendiri bertindak seperti musuh."
Interpretasi:
Dalam keheningan Tegal Suwung, manusia dapat menguasai momo (keinginan). Tanpa keheningan ini, momo justru memperbudak dan menjadikan diri sebagai musuh sejati.
2. Momotoh: Menuntun Keinginan Menuju Dharma
Dalam istilah Bali, momotoh berarti menuntun keinginan. Momo (keinginan) jika diarahkan dengan batin yang suwung, akan menjadi daya spiritual untuk tumbuh menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Sebagaimana dalam Kaṭha Upaniṣad (I.3.4):
> Sloka (Sansekerta):
इन्द्रियाणि हयानाहु: विषयाँस्तेषु गोचरान्।
आत्मेन्द्रियमनोयुक्तं भोक्तेत्याहुर्मनीषिणः॥
> Transliterasi:
indriyāṇi hayān āhuḥ viṣayāṁs teṣu gocarān |
ātma-indriya-mano-yuktaṁ bhoktety āhur manīṣiṇaḥ ||
> Makna:
"Indra (pancaindra) disebut sebagai kuda, objek-objeknya adalah jalan mereka; diri, bersama dengan pikiran dan indria, disebut sebagai penikmat oleh para bijaksana."
Interpretasi:
Indra (alat pengindraan) jika tidak dikendalikan, akan menuruti momo tanpa arah. Namun, dengan prinsip Tegal Suwung, manusia dapat menuntun indranya, sehingga dapat menjalani kauripan sesuai dharma.
3. Menjadi Manusa: Manuting Sesanan Agama
Dalam tradisi Bali, menjadi manusa berarti menjalani hidup sesuai dengan dharma. Manusa berasal dari kata manas (pikiran) dan sa (dengan), artinya makhluk yang berpikir benar.
Sebagaimana dijelaskan dalam Chāndogya Upaniṣad (VIII.7.1):
> Sloka (Sansekerta):
यथा नद्यः स्यन्दमाना: समुद्रे अस्तं गच्छन्ति नामरूपे विहाय।
तथैव विद्वान् नामरूपाद्विमुक्तः परात्परं पुरुषमुपैति दिव्यम्॥
> Transliterasi:
yathā nadyaḥ syandamānāḥ samudre astaṁ gacchanti nāmarūpe vihāya |
tathaiva vidvān nāmarūpād vimuktaḥ parātparaṁ puruṣam upaiti divyam ||
> Makna:
"Sebagaimana sungai-sungai mengalir dan akhirnya bersatu dengan laut, meninggalkan nama dan bentuknya, demikian pula orang bijaksana, setelah membebaskan diri dari nama dan bentuk, mencapai Purusha Tertinggi yang bersinar."
Interpretasi:
Dengan batin Tegal Suwung, manusia melepaskan ego (nama dan rupa) dan menyatu dengan kesadaran ilahi, menjadi insan sejati yang patuh terhadap sesanan agama.
Kesimpulan
Tegal Suwung adalah simbol keheningan batin yang diperlukan untuk mengendalikan dan menuntun keinginan (momotoh) dalam kehidupan. Melalui penghayatan Tegal Suwung, manusia tidak lagi diperbudak oleh momo, melainkan mengarahkannya kepada pencapaian manusa yang sejati — manusia yang meniti jalan dharma, hidup manuting sesanan agama. Dengan demikian, hidup menjadi bukan sekadar eksistensi duniawi, melainkan perjalanan suci menuju kesempurnaan diri dan penyatuan dengan kebenaran ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar