Sabtu, 26 April 2025

Kosong Adalah Berisi

Kosong Adalah Berisi: Sebuah Tinjauan Filosofis Berdasarkan Sloka Sansekerta

Pendahuluan

Dalam dinamika kehidupan manusia, konsep "kosong" (śūnya) sering dipandang sebagai ketiadaan, kehampaan, atau nihilisme. Namun, ajaran-ajaran kuno dalam filsafat India, khususnya dalam literatur Sansekerta, menunjukkan bahwa "kosong" bukan berarti "tanpa apa-apa", melainkan merupakan potensi dari segala sesuatu. Kekosongan justru merupakan dasar dari keberadaan. Dalam tulisan ini, akan dibahas bagaimana pemahaman tentang kekosongan sebagai keberisian itu ditegaskan dalam sloka Sansekerta, sehingga membuka perspektif baru terhadap makna eksistensi dan spiritualitas.

Sloka Sansekerta tentang Kosong

Salah satu sloka klasik yang berhubungan dengan tema ini berasal dari teks Prajñāpāramitā (Kesempurnaan Kebijaksanaan) yang berbunyi:

> "Śūnyatā sarva-dharmāṇāṃ, utpāda-nirodhānāṃ ca."



Transliterasi:

> "Śūnyatā sarva-dharmāṇāṃ, utpāda-nirodhānāṃ ca."



Terjemahan:

> "Kekosongan adalah hakikat semua fenomena, dalam kelahiran maupun lenyapnya."



Sloka ini mengajarkan bahwa semua yang ada, baik yang muncul maupun yang lenyap, berakar dari kekosongan. Kosong bukan berarti nihil, melainkan potensi murni yang melahirkan segala wujud dan mengembalikannya dalam kesatuan.

Filosofi Kosong yang Berisi

Dalam pemikiran Vedanta dan Buddhisme Mahayana, śūnya (kosong) tidak diartikan sebagai ketiadaan absolut, tetapi sebagai ketiadaan dari bentuk tetap. Dari sudut pandang ini:

Kosong adalah sumber dari semua kemungkinan.

Dari kekosongan, muncul segala rupa, warna, suara, pikiran, dan pengalaman.

"Kosong" adalah ruang tempat segala manifestasi terjadi.


Seperti yang diungkapkan dalam Mandukya Upanishad:

> "Amātraś caturthaḥ avyavahāryaḥ prapañcopaśamaḥ śivaḥ advaitaḥ evaṃ oṃkāraḥ."



Transliterasi:

> "Amātraś caturthaḥ avyavahāryaḥ prapañcopaśamaḥ śivaḥ advaitaḥ evaṃ oṃkāraḥ."



Terjemahan:

> "Keempat (keadaan) itu tanpa ukuran, melampaui semua transaksi duniawi, merupakan penghentian segala perbedaan, damai, non-dualitas, dan itulah Om."



Ini menegaskan bahwa melampaui segala bentuk adalah keadaan murni — tanpa atribut, tanpa batas, tanpa ukuran — namun penuh dengan kedamaian, potensi, dan keberadaan sejati.

Konsep "Kosong" dalam Konteks Melasti dan Kehidupan Sehari-hari

Sebagaimana diceritakan dalam kisah "Puyung Itu", seorang tua menggugah pemikiran seorang pemuda tentang makna kekosongan. Melasti, sebagai simbol pembersihan diri menuju kesucian, menjadi bermakna bila dilandasi penerimaan terhadap "puyung" — kekosongan murni yang tidak dikotori oleh logika dan ukuran-ukuran duniawi.

Dalam ritual melasti:

Air melambangkan kekosongan yang mengandung segala potensi penyucian.

Laut tampak biru, namun sejatinya tidak berwarna — sebagaimana kekosongan itu terlihat "tak berisi", padahal justru di situlah segalanya bermula dan berakhir.


Ketika kita menghayati "kosong" sebagai "berisi", maka kita masuk ke dalam kesadaran bahwa:

> Yang paling murni adalah yang tampak hampa, namun sebenarnya paling penuh.



Penutup

Memahami kekosongan sebagai keberisian membawa manusia kepada kebijaksanaan sejati. Ia mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam fenomena semu, tidak terpaku pada angka dan ukuran duniawi. Sebaliknya, kita diajak untuk menikmati ketenangan, kebebasan, dan kemurnian hidup yang hanya dapat ditemukan dalam "puyung", kekosongan agung.

Sebagaimana dinyatakan dalam ajaran kuno:

> "Yaḥ paśyati śūnyatāṃ sa paśyati sarva-tattvam."



Transliterasi:

> "Yaḥ paśyati śūnyatāṃ sa paśyati sarva-tattvam."



Terjemahan:

> "Barang siapa melihat kekosongan, dialah yang melihat seluruh kebenaran."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar