Renungan Filosofis Hindu: Menghindari Sikap Menghakimi, Membuka Ruang Empati dan Kasih bagi Sesama
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pendahuluan
Dalam kehidupan sosial kita, terkadang tanpa sadar kita tergelincir dalam kebiasaan menghakimi permasalahan pribadi orang lain, seolah-olah kita lebih tahu jalan hidup mereka. Padahal, setiap manusia dilahirkan membawa karmanya masing-masing, menempuh suka dan duka, dalam tatanan dualitas kehidupan yang disebut rwa bhineda. Artikel ini mengajak kita merenung, agar menjadi pribadi yang lebih bijaksana, lembut hati, dan menciptakan ruang damai bagi saudara (semeton) yang sedang berjuang dalam hidupnya.
1. Mulat Sarira: Introspeksi Diri Sebelum Menilai Orang Lain
Dalam ajaran Hindu Bali, kita diajarkan untuk melakukan "mulat sarira", yaitu melihat ke dalam diri sebelum menilai orang lain. Tindakan ini penting agar kita tidak mudah terjebak dalam sikap ujug-ujug (gegabah) dalam menilai sesuatu dari permukaan.
> Sloka:
"Atmānaṁ satataṁ paśyet paśyedanyān samāhitaḥ."
"Awakta Warahen Rumuhun" Raga di raga takenan lan orin malu = Tanyakan dan jawablah pada diri terlebih dahulu.
Makna:
“Seseorang yang bijaksana hendaknya selalu melihat ke dalam dirinya terlebih dahulu, sebelum melihat kesalahan orang lain.”
---
2. Rwa Bhineda: Kehidupan Tak Lepas dari Dualitas
Kehidupan di dunia fana ini dibingkai oleh hukum rwa bhineda — dualitas alam: suka-duka, baik-buruk, terang-gelap. Tidak ada manusia yang sempurna sepenuhnya tanpa pernah jatuh. Maka dari itu, kita tidak bisa menilai seseorang hanya karena ia sedang berada di titik sulit hidupnya.
> Sloka:
"Na jātuh kasyacit pāpam, na caiva sukṛtam vibhuḥ."
Makna:
“Tidak ada manusia yang secara mutlak berdosa atau sepenuhnya benar, karena semua hanyalah bagian dari perjalanan jiwa.”
3. Dharma Kasih: Menjadi Tempat Aman Bagi Sesama
Daripada menjadi penghakim, jadilah pelipur. Daripada menjadi pengamat luka, jadilah pengobat. Dalam ajaran tat twam asi (aku adalah engkau), kita diajak untuk merasakan penderitaan orang lain sebagai bagian dari diri kita sendiri.
> Sloka:
"Tat tvam asi."
Makna:
“Engkau adalah aku” — artinya, penderitaan orang lain adalah bagian dari penderitaan kita sendiri. Maka bantulah, bukan menghakimi.
4. Karma Masing-Masing: Hidup Adalah Jalan yang Personal
Setiap manusia lahir membawa karma masing-masing. Jalan hidup, tantangan, dan pencapaian tidak bisa disamakan. Menghakimi seseorang karena keputusan atau keadaannya sama saja dengan mengingkari hukum karma dan reinkarnasi.
> Sloka:
"Karmaṇy-evādhikāras te mā phaleṣhu kadāchana."
Makna:
“Kewajibanmu adalah bertindak (menjalani karma), bukan untuk menilai hasilnya — apalagi hasil karma orang lain.”
5. Menjadi Ruang Damai dan Nyaman
Orang yang sedang dalam kesulitan tidak butuh kritik, tapi butuh pelukan. Tidak butuh penghakiman, tapi kehadiran. Jadilah tempat yang damai dan nyaman bagi saudara kita yang sedang berjuang.
> Renungan:
"Jadi kita tak bisa menjadi cahaya, setidaknya jangan menjadi awan bagi mereka yang sedang mencari terang."
Penutup
Mari kita jaga hati agar tidak mudah menghakimi, tetapi justru merangkul. Kehidupan ini adalah perjalanan panjang jiwa, penuh pelajaran, dan tak selalu mudah. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang hadir dengan kasih, bukan vonis; dengan empati, bukan caci. Mari mulat sarira dan eling ring raga, karena kehidupan bukan ajang siapa paling benar, tetapi siapa paling bisa menjaga sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar