Minggu, 27 April 2025

Sesana manut linggih, linggih manut sesana

KEBIJAKSANAAN DALAM SESANA DAN LINGGIH: PENEMPATAN DIRI DALAM RITUAL DAN MAKNA SESARI



Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak

Dalam kehidupan beragama, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan, penting untuk memahami prinsip dasar tentang kedudukan (linggih) dan tata perilaku (sesana). Artikel ini membahas filosofi "Sesana manut linggih, linggih manut sesana" sebagai pedoman menempatkan diri dalam upacara, makna hakiki dari sesari, serta penekanan bahwa keberadaan sulinggih utama lebih penting daripada kemegahan sarana. Didukung kutipan sloka Sansekerta, artikel ini menegaskan pentingnya ketulusan, kedudukan yang tepat, dan pemuput sejati dalam setiap kegiatan keagamaan.


Pendahuluan

Dalam kehidupan ritual Hindu, pelaksanaan upacara tidak hanya menekankan kemegahan dan kelengkapan sarana prasarana, melainkan lebih mengutamakan makna terdalam dari setiap laku dharma. Salah satu prinsip yang sangat relevan adalah "Sesana manut linggih, linggih manut sesana" yang menuntun umat agar mampu menempatkan diri sesuai dharma dan kedudukan masing-masing. Prinsip ini menjadi pondasi dalam menjaga keharmonisan pelaksanaan upakara dan penghormatan terhadap sulinggih yang muutama.


Pembahasan

1. Prinsip Sesana dan Linggih

Frasa "Sesana manut linggih, linggih manut sesana" mengandung ajaran bahwa perilaku harus sesuai dengan kedudukan, dan kedudukan harus dijalankan dengan perilaku yang pantas. Ini mengajarkan umat untuk selalu sadar akan posisi spiritual dan sosialnya, sehingga tindakan yang dilakukan mencerminkan dharma yang benar.

Sebagaimana dalam ajaran Śrīmad Bhagavadgītā (XVIII.45):

Sloka (Sansekerta):
स्वे स्वे कर्मण्यभिरतः संसिद्धिं लभते नरः।
स्वकर्मनिरतः सिद्धिं यथा विन्दति तच्छृणु॥

Transliterasi:
sve sve karmaṇy abhirataḥ saṁsiddhiṁ labhate naraḥ |
svakarma-nirataḥ siddhiṁ yathā vindati tac chṛṇu ||

Makna:
"Seseorang mencapai kesempurnaan dengan setia menunaikan tugasnya masing-masing; dengarkanlah bagaimana, melalui pelaksanaan tugasnya sendiri, seseorang meraih kesempurnaan."

Sloka ini mempertegas bahwa setiap individu harus memahami dan menunaikan tugasnya sesuai kedudukan yang telah ditetapkan oleh dharma.


2. Makna Sesari: Ketulusan dan Kesucian Niat

Dalam upacara, sesari atau persembahan kepada sulinggih bukan dinilai dari besar kecilnya, tetapi dari ketulusan niat. Sesari yang dihaturkan dengan hati suci membawa manfaat rohani, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.

Sebagaimana disebutkan dalam Chāndogya Upaniṣad (III.14.1):

Sloka (Sansekerta):
सर्वं खल्विदं ब्रह्म तज्जलानिति शान्त उपासीत।
तद्ब्रह्म एति।

Transliterasi:
sarvaṁ khalv idaṁ brahma taj-jalān iti śānta upāsīta |
tad brahma eti ||

Makna:
"Segala yang ada ini sesungguhnya adalah Brahman. Dengan tenang dan tulus, seseorang harus menghayatinya sebagai bersumber dari Brahman, berakhir dalam Brahman, dan hidup dalam Brahman."

Makna ini mengajarkan bahwa persembahan sesungguhnya adalah bentuk bhakti kepada Brahman melalui manifestasi upacara dan penghormatan kepada sulinggih.


3. Prioritas Pemuput dalam Upacara

Dalam kondisi dewasa ini, kemurnian pemuput sangat diutamakan. Upacara dinilai luhur bukan karena megahnya sarana, melainkan karena kesungguhan sulinggih utama dalam melaksanakan pemuputan.

Sloka pendukung dari Mahābhārata, Anuśāsana Parva (13.26):

Sloka (Sansekerta):
आचार्यं पूजयेन्नित्यं न तथा देवतां गृहः।
आचार्ये पूजिते ह्येव देवता पूजिता भवेत्॥

Transliterasi:
ācāryaṁ pūjayen nityaṁ na tathā devatāṁ gṛhe |
ācārye pūjite hy eva devatā pūjitā bhavet ||

Makna:
"Seseorang hendaknya setiap saat memuliakan guru rohani (ācārya) di atas penghormatan kepada dewa-dewa. Sebab dalam memuliakan guru, sesungguhnya ia telah memuliakan para dewa."

Hal ini menegaskan bahwa penghormatan terhadap pemuput (sulinggih) yang utama adalah bagian tak terpisahkan dari penghormatan kepada manifestasi ketuhanan itu sendiri.


Kesimpulan

Pelaksanaan upacara dalam tradisi Hindu hendaknya didasari oleh prinsip "Sesana manut linggih, linggih manut sesana". Umat perlu menempatkan diri secara benar sesuai kedudukan dan dharma masing-masing. Besar kecilnya sesari bukanlah hal utama, melainkan ketulusan, kesucian, dan niat dalam menghaturkannya. Upacara menjadi bermakna bila dipimpin oleh sulinggih utama, dengan sarana yang cukup namun penuh makna spiritual. Oleh karena itu, prioritas dalam setiap upacara adalah memastikan kehadiran pemuput yang suci dan mempersembahkan sesari dengan penuh kesadaran rohani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar