Kamis, 24 April 2025

Sebuah Renungan Rahina Umanis Galungan

Refleksi Filosofis Tentang Kebenaran Diri dan Mulat Sarira dalam Perspektif Hindu: Sebuah Renungan Rahina Umanis Galungan

Oleh:
I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:
Hari Umanis Galungan adalah momen suci dalam tradisi Hindu Bali yang menjadi ruang reflektif umat manusia untuk menata kembali dharma dalam diri. Dalam suasana sakral ini, artikel ini mengeksplorasi ajaran moral dan filsafat Hindu tentang introspeksi diri (mulat sarira), kesadaran akan ego, dan pentingnya meredam sikap merasa paling benar. Dengan pendekatan filosofis dan kutipan sloka Sanskerta, tulisan ini bertujuan membangun kesadaran akan nilai-nilai kedewasaan spiritual yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


---

Pendahuluan
Rahina Umanis Galungan adalah hari yang sangat bermakna dalam kalender Bali. Ia bukan hanya simbol kemenangan dharma atas adharma, tetapi juga saat terbaik untuk memaknai “perang sejati” yang sesungguhnya berada dalam diri—perang melawan kesombongan, kemarahan, kebodohan, dan keakuan. Di sinilah pentingnya memahami ajaran “mulat sarira,” atau refleksi diri, agar tidak terjebak dalam ilusi kebenaran palsu.


---

1. Merasa Paling Benar adalah Awal dari Ketidaktahuan

> “Kapan kita merasa diri paling benar, saat itulah kita mulai tidak benar.”

Sloka terkait:

अहंकारविमूढात्मा कर्ताहमिति मन्यते।
ahaṅkāra-vimūḍhātmā kartāham iti manyate
(Bhagavad Gītā 3.27)

Makna: “Diri yang dibutakan oleh ego akan berpikir bahwa ‘akulah pelaku segalanya’.”

Ini menunjukkan bahwa kesadaran yang dikuasai oleh ego akan membawa seseorang pada ilusi kebenaran. Orang yang bijak tidak mengklaim kebenaran absolut, melainkan senantiasa membuka diri terhadap kebijaksanaan yang lebih tinggi.




---

2. Menuduh Orang Lain Sebagai Refleksi Diri Sendiri

> “Kapan kita sering menuduh orang lain tidak benar, saat itulah diri kita tidak benar.”

Sloka terkait:

यद्भावं तद्भवति।
yad-bhāvaṁ tad bhavati

Makna: “Apa yang seseorang pikirkan, itulah yang ia wujudkan.”

Dalam filsafat Hindu, apa yang kita lihat pada orang lain sering kali cermin dari isi batin kita. Menuduh orang lain tanpa dasar dapat berarti bahwa kita sedang memproyeksikan kelemahan kita sendiri.




---

3. Merasa Pintar dan Menghina Adalah Awal Kebodohan

> “Kapan kita merasa pintar, apalagi mengatakan orang lain bodoh, maka itulah titik awal kebodohan kita.”

Sloka terkait:

ज्ञानेन तु तदज्ञानं येषां नाशितमात्मनः।
jñānena tu tad ajñānaṁ yeṣāṁ nāśitam ātmanaḥ
(Bhagavad Gītā 5.16)

Makna: “Bagi mereka yang telah menghancurkan kebodohan dengan pengetahuan sejati, pengetahuan itu menyinari diri.”

Orang yang benar-benar berpengetahuan tidak akan merendahkan orang lain, melainkan akan membimbing dengan welas asih dan rendah hati.




---

4. Mulat Sarira sebagai Bentuk Pembelajaran Sejati

> “Orang yang mampu menyalahkan dirinya sendiri, mulat sarire, itu tandanya dia sudah banyak belajar.”

Sloka terkait:

आत्मनं रथिनं विद्धि शरीरं रथमेव तु।
ātmānaṁ rathinaṁ viddhi śarīraṁ ratham eva tu
(Kaṭha Upaniṣad 1.3.3)

Makna: “Ketahuilah bahwa diri (Atma) adalah penunggang kereta, dan tubuh ini adalah kereta.”

Ini menekankan bahwa kendali terhadap diri harus dimulai dari pengenalan akan siapa kita sebenarnya, bukan menyalahkan orang lain, tapi menuntun kereta diri ke arah yang dharmis.




---

Kesimpulan
Rahina Umanis Galungan menjadi momentum spiritual untuk merayakan kemenangan dharma dalam hati dan pikiran. Refleksi diri atau mulat sarira adalah kunci untuk memahami bahwa menjadi benar bukan berarti merasa paling benar. Kesadaran akan keterbatasan diri adalah pintu menuju kebijaksanaan. Seperti kata orang bijak, semakin seseorang belajar, semakin ia sadar bahwa masih banyak yang belum ia ketahui.


---

Daftar Pustaka (bisa ditambahkan sesuai kebutuhan):

Bhagavad Gītā. (terjemahan dan transliterasi berbagai edisi).

Kaṭha Upaniṣad.

Titib, I Made. (2003). Veda dan Upanishad: Warisan Suci Hindu. Surabaya: Paramita.

Pudja, I Gusti Putu. (1999). Manawa Dharmasastra. Jakarta: Departemen Agama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar