Eksistensi dan Nilai Simbolis Pis Bolong dalam Upacara Hindu di Bali: Kajian Filosofis dan Transformasi Sosial
Abstrak:
Pis bolong, koin berlubang tradisional Bali, dulunya berfungsi penting dalam upacara keagamaan sebagai sari canang atau sesari. Seiring waktu, terjadi pergeseran nilai dan fungsi, sejalan dengan modernisasi dan perubahan sosial. Artikel ini membahas keberadaan pis bolong di Setra Agung Badung, fenomena uang kepeng seng berkarat sebagai pelengkap upacara, serta hilangnya pis bolong asli dalam peredaran. Dikutip pula sloka dari kitab suci sebagai refleksi makna nilai dan keikhlasan dalam yadnya.
Kutipan Sloka:
Sloka Sanskrit:
> यथादानं तथा फलम्।
Transliterasi:
Yathā dānaṃ tathā phalam.
Makna: "Seperti pemberianmu, demikian pula buah (hasil) yang akan kau terima."
Sloka ini mengajarkan bahwa nilai sesungguhnya dari sesari atau yadnya tidak semata-mata diukur dari materi yang dihaturkan, melainkan dari ketulusan hati pemberi.
---
Isi Artikel:
1. Pendahuluan
Tradisi pemanfaatan pis bolong (uang kepeng) dalam budaya Bali, khususnya dalam upacara agama Hindu, memiliki nilai historis, filosofis, dan spiritual yang mendalam. Pada tahun 1980-an, pis bolong kerap menjadi sari canang, lambang ketulusan dan kesucian dalam persembahan. Namun, dewasa ini, keberadaan pis bolong asli di upacara semakin langka. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: kemana menghilangnya pis bolong asli dan apa implikasinya terhadap nilai spiritual umat?
2. Pis Bolong di Setra Agung Badung: Antara Fungsi dan Simbol
Pengamatan di Setra Agung Badung menunjukkan banyak uang kepeng berbahan seng yang berkarat berserakan usai upacara ngaben. Pis bolong asli dari campuran logam mulia kini hampir tidak terlihat, berbeda dengan era sebelumnya. Pis bolong asli, yang berunsur perunggu atau tembaga, kini memiliki nilai jual tinggi sebagai barang antik, menyebabkan kelangkaan dalam konteks upacara.
3. Transformasi Nilai: Dari Sesari ke Mata Uang Nasional
Saat ini, sebagian besar umat lebih memilih menghaturkan sesari dengan uang nasional daripada pis bolong. Ini menimbulkan pertanyaan spiritual: Apakah nilai penghormatan dan keikhlasan dalam yadnya berubah hanya karena perubahan bentuk materi?
Mengacu pada sloka "Yathā dānaṃ tathā phalam", nilai yadnya tetap ditentukan oleh ketulusan hati, bukan besar kecil atau bentuk benda yang dihaturkan.
Namun, dari sisi pelestarian budaya, menghilangnya pis bolong sebagai sesari berakibat terhapusnya jejak budaya bagi generasi baru yang lahir setelah 1980-an. Mereka tidak lagi mengenal pis bolong sebagai unsur sakral dalam canang.
4. Pertimbangan Filosofis dan Budaya
Jika umat Hindu di Bali kembali menggunakan pis bolong sebagai sesari, hal ini akan membawa dua manfaat:
Pelestarian budaya leluhur (melalui simbol yang otentik).
Peningkatan nilai spiritual, karena pis bolong mengandung unsur sejarah, doa, dan energi dari masa lampau.
Namun, realitasnya, harga pis bolong asli yang mahal, dan ketidakpraktisan dalam mendapatkan, menjadi tantangan. Apakah para pengayah atau pemangku bersedia ngayah jika sesari kembali berupa pis bolong? Ini memerlukan pemahaman kolektif bahwa yadnya dinilai dari niat suci, bukan semata-mata dari nilai ekonomi.
5. Kesimpulan
Hilangnya pis bolong dalam praktik upacara merupakan cermin perubahan zaman dan tantangan pelestarian budaya. Penting bagi umat Hindu Bali untuk memahami bahwa:
Nilai yadnya terletak pada keikhlasan.
Pelestarian simbol budaya tetap harus diupayakan agar generasi mendatang tidak terputus dari akarnya.
Sebagai renungan:
> "Ketika simbol suci ditinggalkan, maka jiwa budaya akan ikut luntur."
---
Penutup
Ajakan: Bagi umat Hindu Bali, mari kita mulai kembali memperhatikan penggunaan pis bolong dalam persembahan, tidak semata karena tradisi, tapi sebagai bentuk bhakti dan pelestarian warisan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar