(Untuk Generasi Muda Pasek di Era Kebangkitan di Punduk Dawa)
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Om Awighnam Astu Namo Siddham
Pangaksamaning hulun ring Bhatara Hyang mami,
Sang ginlari sarira Omkaratma mantrem,
Saking hredaya sunya laya,
Siddhaya yogiswaranem,
Manugraha ring hulun sane lepat,
Luputa ring tulah pamidhi.
Om namo namah swaha.
I. Leluhur: Catur Sanak, Tapak Suci di Tanah Bali
Tak tahu kita kapan langkah suci itu
menyentuh pasir pulau dewata,
tapi getarannya—
masih hidup dalam semeton yang bernyawa.
Leluhur agung,
para Mpu:
Gnijaya, Semeru, Ghana, Kuturan,
dari rahim dharma
turun menata Bali,
melukis adat,
menegakkan parhyangan,
menyulam langit dengan sabda kebenaran.
Di gunung, di pantai, di puncak-puncak bisu,
mereka bertapa,
membuka cakrawala kebatinan umat.
Satu demi satu
mereka datang,
mewaris cahaya,
mewariskan bhisama.
---
II. Bhisama Kawitan: Cahaya Leluhur, Pelita Abadi
Oh para santana Pasek,
tidakkah kau dengar suara bhisama
berbisik dari pelataran puri leluhur?
"Kamung Pasek... haywa ta kita lali ring Kahyangan"
—sebuah sabda,
bukan ancaman,
tapi pengingat—
tentang jati diri yang kian samar di dunia modern.
Jika sepuluh odalan kau lupakan,
kehidupanmu limbung tanpa arah,
rejekimu seperti pelita di badai,
gaib dan merintih.
Sebab bhisama bukan warisan biasa,
ia warisan ruhani yang mengakar
pada tulang dan darahmu.
---
III. Pundukdawa: Nada Baru Kebangkitan
Kini,
di Pundukdawa suaramu bergema,
seperti gong agung dibunyikan
oleh semeton yang tersadar:
kita satu treh,
satu kayangan,
satu bhisama,
satu cinta kepada leluhur.
Jangan ragu menyebut:
aku keturunan Brahmana sejati,
witning Sang Mpu Withadharma.
Kita bukan hanya warisan,
kita adalah pewaris!
yang bangkit dari lupa,
bangkit dari saling asing,
menjadi semeton
yang merawat warisan suci
dengan hati penuh rasa bhakti.
---
IV. Kepada Generasi Muda: Simakrama di Zaman Digital
Anak-anakku,
kau yang menari di antara jaringan,
scroll cerita, like bhakti,
jangan lupakan leluhurmu.
Bhisama bukan hanya untuk dibaca,
tapi dihidupi.
Pura bukan hanya tempat sembahyang,
tapi tempat mengenal jati diri.
Menyebut Lempuyang Madya,
bukan sekedar naik bukit,
tapi naik kesadaran
bahwa disana leluhurmu mengendap,
mencipta sinar
bagi langkahmu di dunia.
---
V. Bhisama Mpu Gnijaya: Tegakkan Harga Dirimu
"Kamung Pasek... wenang Mbhujanggain"
—betapa terang sabda itu—
maka jangan rendahkan warisanmu
hanya karena suara sumbang di sekitarmu.
Jika ngaben dengan Kaikik,
itu bukan adat buatan,
itu lambang suci bhisama,
itu hak dan dharma yang diwariskan.
Jangan goyah oleh zaman,
jangan rapuh oleh stigma,
jika kau tahu siapa leluhurmu,
maka tahu pula siapa dirimu.
---
VI. Bhisama Mpu Ketek: Kita Satu, Jangan Asing
“Putungku Ki Pasek makabehan...”
Bhisama ini bukan sekadar tembang lama,
ia etika hidup.
Siapa yang mengaku bagian dari Pasek,
haruslah bersaksi, berjanji,
tak bisa main-main di tengah semeton.
Sebab kesatuan itu
bukan hanya di pura,
tapi di tindakan,
di rasa,
di tekad untuk membangkitkan
semangat leluhur yang mungkin
telah lama tertidur dalam debu ego.
---
VII. Penutup: Wangsanta Leluhur, Nafasku Hari Ini
Wahai semeton Pasek muda,
tak cukup hanya tahu,
kau harus nyujur,
melangkah dengan bhakti dan rasa malu
jika sampai lupa pada akar dirimu.
Karena bhisama bukan mantra kutukan,
tapi petunjuk yang menuntun
agar kita tak tenggelam dalam gelap zaman.
PASEK, Pamikukuh Sesananing Kawitan!
Maka mari,
di Pundukdawa kita bangkit,
menyanyikan kembali kidung lama
dengan suara hati baru.
Om Santih Santih Santih Om
Om Namah Siddham
Swaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar