Rabu, 23 April 2025

TRANSFORMASI SPIRITUAL DAN FILOSOFIS

TRANSFORMASI SPIRITUAL DAN FILOSOFIS: RENUNGAN DARI LEMPUYANG YANG BERBENAH

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi pemaknaan filosofis dan spiritual dari ungkapan kontemporer: “Jangankan kita, Lempuyang pun sedang berbenah.” Kalimat ini tidak hanya mengandung ironi puitis, namun juga menjadi refleksi mendalam tentang proses penyucian dan transformasi diri dalam kerangka budaya Bali dan ajaran dharma. Proses melinggih Ida Bethara di Sanggar Agung dan perombakan total Lempuyang Madya menjadi simbol penting tentang dinamika adhyatmika (kerohanian) dan adhibhautika (alam fisik) dalam praktik keagamaan Hindu Bali.

Pendahuluan

Dalam tradisi Bali, pura bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga loka sakral tempat bersemayamnya nilai-nilai luhur. Ketika sebuah pura mengalami perombakan fisik, hal itu merepresentasikan pula proses spiritualisasi dan revitalisasi nilai-nilai yang mengendap dalam struktur sosial dan individu. Maka, kalimat “Jangankan kita, Lempuyang pun sedang berbenah” menjadi simbolis sekaligus sindiran halus: bahwa transformasi adalah hukum alam, termasuk bagi yang dianggap sakral.


Makna Sloka dan Konteksnya

Untuk memperkuat makna reflektif tersebut, kita mengacu pada sloka dari Manusmṛti yang relevan:

> संस्कारो हि द्विजातीनां मनोमध्ये प्रकाशकः।
Saṁskāro hi dvijātīnāṁ mano-madhye prakāśakaḥ
Artinya: Upacara penyucian (saṁskāra) bagi para dwija (manusia spiritual) adalah penerang batin.


Sloka ini menegaskan bahwa segala bentuk penyucian, baik itu secara lahir maupun batin, adalah proses untuk menyingkap cahaya kebenaran dalam diri. Jika Lempuyang sebagai pusat spiritualitas saja harus disucikan dan diperbaharui, maka apalagi manusia yang bersifat lemah dan kerap terlupa.


Lempuyang: Antara Simbol Gunung dan Kesadaran

Pura Lempuyang bukan hanya situs geografis, melainkan simbol kesadaran tinggi dalam ajaran Hindu Bali. Ia mewakili aspek Purusa, yakni jiwa yang harus terus dijaga kesuciannya. Proses perombakan Lempuyang Madya saat ini merupakan gambaran bahwa bahkan pusat-pusat suci pun memerlukan penyegaran agar tetap relevan dan kontekstual dengan zaman.


Spiritualitas di Sanggar Agung: Ida Bethara Melinggih

Ketika Ida Bethara melinggih di Sanggar Agung, hal ini bukan sekadar upacara ritual, melainkan bentuk niskala dari energi ketuhanan yang tengah bersandar di titik hening masyarakat. Dalam konteks ini, Sanggar Agung menjadi wadah antaraloka, tempat perjumpaan antara yang niskala dan yang sekala.

Sloka berikut memberikan pijakan spiritual atas peristiwa ini:

> देवता हृदयं शुद्धं, यत्र तत्र प्रतिष्ठति।
Devatā hṛdayaṁ śuddhaṁ, yatra tatra pratiṣṭhati
Artinya: Ketika hati disucikan, di sanalah para dewa bersemayam.


Penutup: Berbenah adalah Dharma

Sebagaimana gunung Lempuyang tengah berbenah untuk menjadi tempat yang lebih layak bagi pemujaan, manusia pun seyogianya tidak henti membersihkan batin dan budi dari debu keduniawian. Kalimat sederhana namun filosofis seperti “Jangankan kita, Lempuyang pun sedang berbenah” adalah ajakan diam namun dalam, bahwa perubahan adalah kewajiban spiritual.


Sloka Penutup

> धर्म एव हतो हन्ति धर्मो रक्षति रक्षितः।
Dharma eva hato hanti, dharmo rakṣati rakṣitaḥ
Makna: Barang siapa menghancurkan dharma, akan dihancurkan oleh dharma itu sendiri. Sebaliknya, siapa yang melindungi dharma, akan dilindungi pula olehnya.


#########@@@@@#######@@@@

Lempuyang Sedang Berbenah

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Jangankan kita, wahai jiwa yang lena,
Lempuyang pun sedang berbenah di tengah sunyi semesta.
Pucuk-pucuk kabut memeluk altar gunung,
Mengantar lenguh angin pada kidung yang tak lagi murung.

Di Sanggar Agung, sinar dupa naik perlahan,
Ida Bethara melinggih, membasuh keangkuhan zaman.
Langit pun tunduk pada kening berhiaskan bunga,
Manusia dan dewata bersua dalam diam yang bercahaya.


I. Seruan Leluhur

Saṁskāro hi dvijātīnāṁ, mano-madhye prakāśakaḥ,
“Penyucian adalah lentera jiwa.”
Begitu tutur sloka dari samudra purba,
Menggugah yang tertidur dalam gua maya.

Tak hanya batu yang lapuk perlu diganti,
Namun hati—yang telah aus oleh ilusi.
Lempuyang memanggil bukan karena lelah,
Tapi karena suci pun butuh diperjelas arah.


II. Di Balik Dinding Gunung

Pura bukan hanya tubuh yang diam,
Ia bernafas bersama semesta dan malam.
Dinding-dindingnya menyimpan tapa dan doa,
Yang tak terhapus oleh waktu, namun perlu dibaca.

Gunung itu bukan sekadar tanah dan batu,
Ia adalah jiwa yang menjulang—
Menjadi Purusa, terang dalam kelam,
Menjadi napas bagi setiap mantra yang kau dendangkan malam-malam.


III. Melinggihnya Yang Tak Terlihat

Devatā hṛdayaṁ śuddhaṁ, yatra tatra pratiṣṭhati,
“Di hati yang suci, dewa akan menetap.”
Bukan pada singgasana emas mereka bertakhta,
Namun pada bening rasa yang hening dan setia.

Lihatlah Sanggar Agung hari ini,
Langitnya penuh sembah, tanahnya wangi.
Tak bersuara, namun seluruh semesta tahu,
Bahwa Ida Bethara tengah hadir dalam temu yang syahdu.


IV. Transformasi Adalah Dharma

Jangankan kita, yang fana dan fana,
Lempuyang pun tunduk pada hukum dharma.
Maka, bersihkanlah batin sebagaimana altar dibersihkan,
Karena suci bukanlah puncak, melainkan jalan.

Dharma eva hato hanti, dharmo rakṣati rakṣitaḥ,
"Dharma melindungi yang menjaganya."
Dalam diamnya perubahan, dalam gemuruh perombakan,
Tersimpan nyanyian agung tentang kelahiran kembali dan keberanian.


V. Penutup dari Puncak Langit

Wahai engkau, penekun zaman,
Jangan sombong oleh hafalan dan pakaian keimanan.
Bila Lempuyang pun bersedia berubah demi cahaya,
Apalagi dirimu yang hanya bayang dari cahaya.

Berbenahlah—bukan karena disuruh,
Tapi karena jiwa rindu pulang tanpa keluh.
Jangankan kita, wahai insan,
Segala yang suci pun tak luput dari keinginan untuk menjadi lebih Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar