Sabtu, 26 April 2025

Puyung Misi

PUYUNG: Mencerap Kekosongan dalam Perspektif Spiritual dan Rasionalitas

I. Pendahuluan

Dalam kehidupan modern yang sarat rasionalitas dan keterukuran, acapkali kita lupa bahwa hakikat terdalam dari eksistensi justru terletak pada sesuatu yang "tak kasat mata". Cerita pertemuan antara seorang tua dan pemuda dalam suasana melasti di Goa Lawah memperlihatkan perbenturan antara logika eksak dan kebijaksanaan intuitif. Melalui simbol "puyung" atau "kekosongan", diskusi ini menguak pemahaman mendalam tentang nilai ketidakberhinggaan dan ketakterukuran dalam kehidupan manusia.

II. Kekosongan: Puyung dalam Perspektif Filosofis

Dalam diskusi tersebut, si orang tua memperkenalkan konsep "puyung" — kekosongan murni yang tidak dapat diukur oleh bilangan ataupun simbol. Ia membedakan antara nol sebagai bilangan matematis dan kosong sebagai keadaan eksistensial.
Ini mengingatkan kita pada ajaran filsafat klasik India yang memaknai "kekosongan" bukan sebagai ketiadaan mutlak, tetapi sebagai ruang potensi tak terhingga.

Sloka dalam Bhagavad Gita berbicara tentang hal ini:

> सर्वाणि भूतानि प्रकृतिं यान्ति मामिकाम्।
कल्पक्षये पुनस्तानि कल्पादौ विसृजाम्यहम्॥

Transliterasi:
sarvāṇi bhūtāni prakṛtiṁ yānti māmikām |
kalpa-kṣaye punas tāni kalpādau visṛjāmy aham ||

Makna:
"Semua makhluk kembali ke dalam hakikat-Ku pada akhir satu kalpa, dan pada awal kalpa berikutnya, Aku memanifestasikan mereka kembali."



Sloka ini menunjukkan bahwa seluruh eksistensi kembali ke keadaan kekosongan purba sebelum lahir kembali. Kekosongan bukanlah ketiadaan, melainkan sumber dari segala kemungkinan.

III. Nol vs Kosong: Kajian Rasionalitas dan Spiritualitas

Dalam perbincangan itu, si kakek mempertanyakan:

Nol adalah bilangan, dapat dihitung, dibagi, dan menjadi hasil.

Kosong (puyung) tidak dapat didefinisikan, disimbolkan, maupun dihitung.


Ini mempertegas bahwa kekosongan melampaui matematika dan logika empiris. Ia berada pada wilayah batin yang hanya dapat dialami lewat keheningan jiwa.

Sloka dari Mandukya Upanishad mendukung ini:

> नान्तःप्रज्ञं न बहिष्प्रज्ञं नोभयतःप्रज्ञं न प्रज्ञानघनम् ।
न प्रज्ञं नाप्रज्ञम् अदृष्टमव्यवहार्यमग्राह्यमलक्षणमचिन्त्यमव्यपदेश्यमेकात्मप्रत्ययसारं प्रपञ्चोपशमं शान्तं शिवमद्वैतं चतुर्थं मन्यन्ते स आत्मा स विज्ञेयः॥

Transliterasi:
nāntaḥ-prajñaṃ na bahiḥ-prajñaṃ nobhayataḥ-prajñaṃ na prajñāna-ghanam |
na prajñaṃ nāprajñam adṛṣṭam-avyavahāryam-agrāhyam-alakṣaṇam-acintyam-avyapadeśyam-ekātma-pratyaya-sāram prapañcopaśamam śāntam śivam advaitam caturthaṃ manyante sa ātmā sa vijñeyaḥ ||

Makna:
"Tidak sadar ke dalam, tidak sadar ke luar, tidak sadar ke dalam dan ke luar bersamaan, bukan kesadaran biasa, bukan tidak sadar. Tak terlihat, tak dapat dipraktikkan, tak terjangkau, tanpa ciri, tak terbayangkan, tak terungkapkan, esensi dari kesadaran diri, penghentian semua fenomena, damai, suci, non-dual — itulah 'keempat' yang dianggap Atman dan harus disadari."



Mandukya Upanishad menggambarkan bahwa puyung bukanlah sekadar "tidak ada", tetapi keadaan tertinggi — penyatuan dengan Atman (Diri Sejati).

IV. Simbol Air Laut: Metafora Kesadaran Puyung

Kiasan si kakek tentang warna laut yang tampak biru tetapi tidak bisa "diraup" juga mengandung pelajaran besar. Birunya laut adalah pantulan cahaya, bukan substansi. Demikian pula segala penilaian rasional manusia tentang dunia adalah pantulan belaka dari sesuatu yang lebih dalam: kekosongan yang dinamis, puyung.

Dalam Chandogya Upanishad disebutkan:

> सर्वं खल्विदं ब्रह्म तज्जलानिति शान्त उपासीत ।

Transliterasi:
sarvaṃ khalvidaṃ brahma taj-jalāniti śānta upāsīta |

Makna:
"Sungguh, semua ini adalah Brahman. Dari-Nya segala sesuatu berasal, dalam-Nya semua beristirahat, kepada-Nya semua kembali. Maka, beribadahlah dengan ketenangan."



Air laut yang tak bisa "diraup birunya" adalah cerminan dari Brahman — hakikat keberadaan yang melampaui persepsi inderawi.

V. Kesimpulan

Diskusi kecil di tepi siring segara Goa Lawah mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan, tidak semua dapat diukur dengan angka-angka. Puyung — kekosongan murni — adalah sumber kearifan sejati. Untuk dapat menikmati kehidupan spiritual, kita mesti menanggalkan kalkulasi rasional dan merangkul keheningan serta ketakterukuran.

Dalam puyung itulah, kita menemukan yang sejati.
Dalam puyung itulah, kita mengenal Diri Sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar