KEGAGALAN NALAR MANUSIA DALAM MENANGKAP HAKIKAT KETUHANAN: Tinjauan Filsafat Hindu dan Relevansinya terhadap Pertanyaan Skeptis Modern
ABSTRAK
Dalam setiap zaman, manusia berusaha memahami hakikat Tuhan dengan keterbatasan nalar dan pengetahuannya.
Namun, tradisi filsafat Hindu, sebagaimana refleksi dalam kitab-kitab suci seperti Upanishad, mengajarkan bahwa hakikat Tuhan melampaui jangkauan logika dan indera manusia.
Artikel ini mengkaji pandangan tersebut sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan skeptis yang mempertanyakan keberadaan, tindakan, dan keadilan Tuhan dengan standar rasionalitas manusia biasa.
Dengan menggunakan kutipan sloka Hindu, penelitian ini memperlihatkan bahwa kebesaran Tuhan tidak dapat diukur atau dipertanyakan dengan logika sempit manusia.
Kata Kunci: Ketuhanan, Keterbatasan Nalar, Filsafat Hindu, Upanishad, Kritik Skeptis
---
PENDAHULUAN
Perdebatan mengenai hakikat Tuhan telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia.
Seiring berkembangnya kemampuan berpikir manusia modern, muncul pula kecenderungan mempertanyakan eksistensi dan logika di balik konsep ketuhanan.
Namun demikian, dalam tradisi Hindu, ajaran suci selalu menekankan keterbatasan akal manusia dalam memahami realitas transendental.
Sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci, upaya untuk "menangkap" Tuhan dengan logika manusia adalah sia-sia dan bahkan dapat menjerumuskan pada kekeliruan.
---
PEMBAHASAN
1. Keterbatasan Nalar: Tuhan Melampaui Penciptaan dan Logika Kausalitas
Poin 1:
Jika Tuhan dianggap diciptakan, maka pencipta Tuhan pun harus ada, dan seterusnya tanpa akhir — logika ini dikenal sebagai infinite regress.
Tradisi Hindu mengatasi kebingungan ini dengan konsep "Svayambhu" — Tuhan yang ada dengan sendirinya, tanpa sebab.
Sloka Hindu:
> यो वै भूमा तत्सुखम् । नाल्पे सुखमस्ति । भूमैव सुखम् ।
yo vai bhūmā tatsukham, nālpe sukham asti, bhūmaiva sukham
(Chandogya Upanishad 7.23.1)
Transliterasi:
"Yang tak terbatas itulah kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan dalam sesuatu yang terbatas. Hanya yang tak terbatas adalah kebahagiaan."
Makna:
Hanya sesuatu yang tak terbatas, yang tidak berasal dari apapun, yang layak disebut sebagai Tuhan.
Pencarian sebab sebelum Tuhan adalah ilusi keterbatasan logika manusia.
---
2. Kekuasaan Mutlak: Penciptaan Lebih Besar dari Hal-hal Duniawi
Poin 2:
Mempertanyakan hal kecil seperti sistem ekskresi atau hal biologis dalam penciptaan makhluk menunjukkan ketidakmengertian terhadap kekuasaan Tuhan yang jauh lebih besar:
mengadakan sesuatu dari ketiadaan (creation ex nihilo).
Sloka Hindu:
> असतो मा सद्गमय ।
asato mā sad gamaya
(Brihadaranyaka Upanishad 1.3.28)
Transliterasi:
"Semoga Engkau menuntunku dari yang tidak ada menuju kepada ada."
Makna:
Tuhan memiliki kuasa mutlak untuk mengadakan sesuatu dari ketiadaan — suatu kekuasaan yang jauh melampaui sistem biologis biasa.
---
3. Realitas Non-Materi: Penyiksaan Melalui Sarana Non-Fisik
Poin 3:
Skeptis mempertanyakan bagaimana api bisa menyiksa dalam neraka yang juga berapi-api.
Namun, bahkan di dunia ini manusia tersiksa oleh rasa sakit emosional, rasa bersalah, dan ketakutan, yang tidak berwujud fisik.
Sloka Hindu:
> मन एव मनुष्याणां कारणं बन्धमोक्षयोः ।
mana eva manuṣyāṇāṁ kāraṇaṁ bandhamokṣayoḥ
(Amritabindu Upanishad, Sloka 2)
Transliterasi:
"Pikiran saja adalah sebab keterikatan dan pembebasan manusia."
Makna:
Penderitaan bisa terjadi tanpa wujud fisik. Tuhan menciptakan mekanisme realitas di mana penyiksaan atau kebahagiaan tidak bergantung sepenuhnya pada bentuk fisik.
---
KESIMPULAN
Dalam tradisi Hindu, keterbatasan akal manusia untuk memahami Tuhan sudah lama dipahami dan diterima.
Pertanyaan-pertanyaan skeptis modern tentang keberadaan, logika tindakan, dan keadilan Tuhan lahir dari ketidakpahaman terhadap sifat transendental Tuhan.
Tuhan tidak dapat diukur dengan standar logika manusia biasa;
upaya tersebut hanyalah seperti menakar samudera dengan sendok kecil.
Dengan demikian, keimanan sejati mensyaratkan kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan nalar manusia.
---
DAFTAR PUSTAKA
Brihadaranyaka Upanishad, 1.3.28
Chandogya Upanishad, 7.23.1
Amritabindu Upanishad, Sloka 2
Radhakrishnan, S. (1953). The Principal Upanishads.
Zaehner, R.C. (1992). Hindu Scriptures.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar