Jumat, 11 April 2025

Bali Sebagai Taman Bumi Banten

Jadikanlah Bali Sebagai Taman Bumi Banten; Refleksi Spiritual, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Hindu Bali

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan

Bali bukan hanya pulau yang terkenal dengan keindahan alam dan budaya, tetapi juga sebuah pusat spiritual dan ritual Hindu yang khas. Selain sembako, kebutuhan utama masyarakat Hindu Bali adalah bahan upakara (banten) yang terdiri atas: bunga, ron (daun kelapa muda), busung (janur), pisang, dan kelapa daksina. Saat rahinan besar seperti Purnama Kedasa, kebutuhan bahan upakara melonjak drastis. Ironisnya, di tengah suburnya kebun kelapa dan pisang di Bali, masyarakat justru mengalami kelangkaan bahan-bahan ini, bahkan dengan harga yang melambung tinggi.

Sloka Inspiratif

Sloka (Bhagavad Gita 3.10):

सहयज्ञाः प्रजाः सृष्ट्वा पुरोवाच प्रजापतिः ।
अनेन प्रसविष्यध्वमेष वोऽस्त्विष्टकामधुक् ॥

Transliterasi:
“Saha-yajñāḥ prajāḥ sṛṣṭvā purovāca prajāpatiḥ,
anena prasaviṣyadhvam eṣa vo 'stv iṣṭa-kāma-dhuk.”

Makna:
“Pada awal penciptaan, Tuhan menciptakan manusia dan yajña (pengorbanan/upakara) bersama-sama, dan berfirman: Dengan yajña ini engkau akan berkembang; yajña ini akan menjadi pemenuh segala keinginanmu.”

Sloka ini menegaskan bahwa upakara (yajña) adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Tidak hanya sebagai kewajiban spiritual, tetapi juga sebagai jalan menuju kesejahteraan bersama. Maka, kelangkaan bahan upakara bukan sekadar isu ekonomi, melainkan juga menyentuh aspek etika, spiritualitas, dan keberlanjutan budaya.

Fakta Lapangan: Ketergantungan dan Irama yang Terganggu

Minggu ini, masyarakat Bali dikejutkan oleh melambungnya harga kelapa daksina, dari harga normal Rp6.000–Rp8.000 menjadi Rp25.000 per butir. Begitu pula harga busung dan ron yang terus meroket. Ini terjadi bukan karena kelangkaan alamiah, melainkan karena terputusnya rantai pasokan tradisional. Banyak pohon kelapa yang berbuah lebat dibiarkan begitu saja karena tidak ada tukang penek nyuh (pemanjat kelapa). Profesi sakral ini hampir punah karena masyarakat Bali lebih memilih bekerja di sektor pariwisata.

Fenomena ini memperlihatkan paradoks: Bali bak tikus mati di lumbung padi. Sumber daya melimpah, tetapi masyarakatnya kesulitan mengaksesnya karena teralienasi dari tanah dan profesi tradisionalnya.

Dampak Sosial dan Spiritualitas

Kondisi ini berdampak langsung pada keluarga-keluarga Hindu Bali yang masih setia menjalankan tradisi. Biaya upacara menjadi sangat tinggi, memaksa sebagian orang untuk membeli upakara instan, bahkan dari pihak-pihak non-Hindu yang hanya mengejar untung, tanpa memahami prinsip kesucian niskala.

Bayangkan jika dalam sehari Pura Besakih menerima 10.000 pemedek, dan setidaknya setengahnya membawa 2 daksina, maka 150.000 butir kelapa daksina dibutuhkan selama Bhattara nyejer. Belum termasuk canang dan daksina di rumah-rumah, pura desa, dan griya seluruh Bali.

Mengapa Harus Bali Sebagai Taman Bumi Banten?

Gagasan ini bukan hanya mimpi spiritual, tapi juga visi ekonomi dan kedaulatan pangan spiritual:

1. Menghidupkan Kembali Profesi Tradisional: Tukang penek nyuh, pedagang busung, petani kelapa dan pisang harus dihargai dan diberdayakan.

2. Kemandirian Upakara: Setiap keluarga Bali didorong untuk menanam pohon kelapa, pisang, dan bunga sendiri. Ini bukan hanya irit, tetapi juga memperkuat kesadaran akan proses.

3. Pasar Upakara Lokal: Pemerintah perlu membentuk pasar atau koperasi bahan upakara yang dikelola oleh krama Bali sendiri.

4. Pendidikan dan Pewarisan: Anak-anak muda Bali harus dikenalkan kembali pada kesucian upakara, bukan hanya dari sisi bentuk, tapi juga nilai dan makna niskala-nya.

Penutup: Ajakannya

Bali adalah pulau spiritual, bukan hanya destinasi wisata. Jangan biarkan taman upakara ini bergantung pada suplai dari luar. Saatnya Bali bangkit dalam kemandirian rohani dan ekonomi, agar kita tidak sekadar menjadi pemakai budaya, tapi juga penjaga dan pengolahnya.

"Jadikanlah Bali sebagai Taman Bumi Banten" — bukan sekadar slogan, tapi panggilan hidup untuk kembali ke akar, mengolah, menghaturkan, dan menghormati apa yang telah diwariskan oleh leluhur.

Sloka Penutup

अन्नं बहु कुर्वीत तद्व्रतम् ॥
Annaṃ bahu kurvīta tad vratam.
"Perbanyaklah hasil panganmu, itulah dharma hidupmu."
(Taittiriya Upanishad 3.10.1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar