Sabtu, 26 April 2025

Bodoh yang Bijak

Bodoh yang Bijak: Telaah Filosofis atas Puh Ginada Karya I Ketut Tangsub

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan

Dalam kehidupan sosial Bali, konsep "Belog ane dueg" — bodoh tetapi sadar diri, mengandung nilai kebijaksanaan yang dalam. Ungkapan ini tidak serta-merta merendahkan seseorang yang dianggap kurang pengetahuan, tetapi malah menempatkan "kesadaran diri" (dueg) sebagai kunci utama menuju kebijaksanaan sejati. Dalam karya sastra tradisional Bali, khususnya Puh Ginada karya I Ketut Tangsub, nilai ini dituangkan dengan indah melalui petikan:

> "Eda ngaden awak bisa, depang anaké ngadanin, geginaané buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buka katah, yadin riris, liyu enu pelajahan."



Transliterasi:

> "Éda ngaden awak bisa, dépaŋ anaké ngadanin, geginaané buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buka katah, yādin riris, liyu énuh pelajahan."



Terjemahan:

> "Jangan merasa diri mampu, biarkan orang lain yang menilai. Segala usaha bukan untuk pamer. Orang yang sedikit tumbuh kesalahan, hilangnya kesalahan itu bukan berarti sudah banyak tahu, jika tetap waspada, banyak hal dapat dipelajari."



Analisis Filosofis

Sloka dalam Puh Ginada ini mengajarkan prinsip kerendahan hati (mārdava) dan kesadaran diri (ātmajñāna) yang kuat:

Eda ngaden awak bisa: Menunjukkan larangan untuk sombong. Kemampuan bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan secara pribadi.

Depang anake ngadanin: Penilaian terbaik berasal dari orang lain, bukan dari diri sendiri.

Geginane buka nyampat: Berbuat baik harus tanpa pamrih, bukan untuk pamer.

Anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buka katah: Sedikit kesalahan yang diperbaiki tidak berarti seseorang sudah sepenuhnya bijaksana.

Yadin riris, liyu enu pelajahan: Dengan sikap hati-hati dan rendah hati, seseorang akan terus berkembang dan belajar.


Pesan mendalam dari bait ini adalah bahwa "kebodohan" yang sadar diri dan rendah hati lebih bijaksana daripada "kepintaran" yang sombong.

Dalam filsafat India, hal ini sejalan dengan ajaran Sansekerta kuno, misalnya dari Bhagavad Gītā:

> "Vidyāvinayasaṃpanne brāhmaṇe gavi hastini, śuni caiva śvapāke ca paṇḍitāḥ samadarśinaḥ."
(Bhagavad Gītā 5.18)



Transliterasi:

> "Vidyā-vinaya-saṃpanne brāhmaṇe gavi hastini, śuni caiva śvapāke ca paṇḍitāḥ sama-darśinaḥ."



Terjemahan:

> "Orang bijak memandang sama terhadap brahmana yang penuh kebijaksanaan dan kerendahan hati, sapi, gajah, anjing, atau bahkan pemakan anjing."



Ini menunjukkan bahwa kerendahan hati dan pandangan yang setara terhadap semua makhluk merupakan tanda sejati dari pengetahuan dan kebijaksanaan.

Belog yang Dueg: Ketidaktahuan yang Bijak

"Belog ane dueg" bukanlah hinaan, tetapi pujian bagi mereka yang:

Menyadari keterbatasannya,

Tidak tergesa-gesa menilai diri lebih pintar dari orang lain,

Tetap membuka diri untuk belajar,

Mengedepankan kesadaran diri di atas kesombongan.


Sebaliknya, orang yang merasa pintar, tetapi sombong dan menutup diri, justru terjebak dalam "kebodohan sesungguhnya".

Dalam Nitisastra, kitab moralitas Bali, juga diingatkan:

> "Wruh ring kawruh, tan wruh ring kawruhan, ika tatwa ring jnana."



Transliterasi:

> "Wṛh ring kawruḥ, tan wṛh ring kawruhan, ika tattva ring jñāna."



Terjemahan:

> "Mengetahui ilmu tetapi tidak mengetahui batasan ilmunya, itulah hakikat kebijaksanaan."



Penutup

Petikan dari Puh Ginada karya I Ketut Tangsub mengandung kearifan yang abadi: kesadaran akan ketidaktahuan adalah gerbang menuju kebijaksanaan. Sikap rendah hati, waspada, dan selalu belajar merupakan karakter yang membentuk manusia luhur. "Belog ane dueg" bukanlah sekadar gambaran manusia bodoh, melainkan cermin seorang bijak yang terus bertumbuh dari kesadaran dirinya.

Sebagaimana pepatah Bali berkata:

> "Belog dogen nyen dueg, luwih becik ulih sang nyen lakar sombong."

"Bodoh tetapi sadar diri, lebih baik daripada pintar tetapi sombong."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar