Pemacekan Agung: Momentum Guyub, Wirang, lan Satya dalam Puncak Pujawali Parhyangan Ida Bhatara Mpu Gana di Bukit Suci Pundukdawa
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak:
Pemacekan Agung merupakan momen sakral dalam rangkaian pujawali di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana, yang berada di Desa Adat Pundukdawa. Sebagai puncak persembahan spiritual, hari ini menyimpan nilai-nilai yang melampaui ritual formalitas, yakni nilai eksistensial, kemandirian spiritual, dan pengabdian dalam bingkai guyub, wirang, serta satya. Artikel ini menelusuri makna mendalam dari Pemacekan Agung serta kaitannya dengan nilai-nilai dharma dan kesadaran kolektif pasemetonan.
---
Pendahuluan:
Pemacekan Agung bukanlah sekadar ritus tahunan. Bagi mereka yang menyaksikan lahirnya Meru Tumpang Telu dari Sanggar Agung di Bukit Pundukdawa, ini adalah titik puncak dari pengabdian, sejarah, dan pengorbanan. Sebuah "kemeriahan tak terukur" yang dirayakan dalam hening, dalam tarikan nafas aroma bebatuan dan rerumputan. Di balik perayaan ini, terpatri tiga kata agung: Guyub, Wirang, dan Satya—tiga nilai luhur yang menuntun arah pengabdian.
---
Kutipan Sloka Sansekerta:
> सत्यं शिवं सुन्दरम्
Satyaṁ Śivaṁ Sundaram
Transliterasi:
Satyaṁ Śivaṁ Sundaram
Makna:
Kebenaran adalah Kebaikan, dan Kebaikan adalah Keindahan.
Sloka ini menggarisbawahi pentingnya kejujuran (satya), yang dalam konteks Pemacekan Agung merupakan fondasi hubungan suci antara umat dengan leluhur yang distanakan di Parhyangan Pundukdawa.
---
Analisis dan Tafsir Spiritualitas:
Dalam perhelatan besar seperti Pemacekan Agung, selalu ada tantangan, konflik nilai, bahkan ketimpangan partisipasi. Namun, semua itu bukanlah beban jika disikapi dalam kerangka satya—kebenaran hati dan ketulusan niat. Bahkan ketika ada wirang (rasa malu), ia bukan untuk mempermalukan, melainkan sebagai bentuk reminder spiritual bahwa kita sedang berurusan dengan leluhur yang Acintya—yang tak terjamah nalar biasa.
Guyub bukan semata kebersamaan formal, tapi kebersamaan yang melebur dalam satu niat suci. Wirang adalah rem pengendali ego. Dan Satya adalah arah agar seluruh proses pengabdian ini tak kehilangan makna suci. Ketiga unsur ini sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Trikaya Parisudha yang telah hidup dalam keseharian masyarakat Hindu Bali.
---
Refleksi Historis:
Bersama Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba dari Griya Agung Bangkasa sebagai Mpu Raga, cikal bakal parhyangan ini tidak dibangun dari kemewahan, melainkan dari niat baik. Kini, bentuk fisik telah menjelma megah—namun esensinya tetap harus terjaga. Jangan sampai kemegahan menutupi rasa rendah hati dan kewajiban spiritual kita sebagai pretisentana.
---
Penutup:
Apapun peran dan sikap kita dalam keterlibatan di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, semuanya adalah cermin dari level subhakti kita kepada leluhur. Tak perlu mengurai luka masa lalu, karena yang lebih penting adalah melanjutkan karya suci dengan guyub, menjaga nama baik dengan wirang, dan melaksanakan kewajiban dengan satya.
> यथा चिन्तयति तत्त्वं तथा भवति मानवः
Yathā cintayati tattvaṁ tathā bhavati mānavaḥ
Artinya:
Sebagaimana manusia berpikir, demikian pula ia menjadi.
— Maka berpikirlah dalam dharma, bertindaklah dalam bhakti, dan berkomitmenlah dalam satya.
Dumogi sareng sami setata rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar