Minggu, 20 April 2025

Menakar Esensi Kesucian

Menakar Esensi Kesucian: Upacara Berdasar Kemampuan sebagai Ajaran Dharma dalam Perspektif Hindu di Era Modernisasi



Penulis:
I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Guru Bahasa Bali dan Ketua Yayasan Widya Daksha Dharma (Griya Agung Bangkasa) 


Abstrak
Dalam praktik keagamaan Hindu di Bali, terjadi pergeseran nilai dalam pelaksanaan upacara, di mana simbolisme dan tekanan sosial sering kali menuntut umat melebihi batas kemampuan ekonomi. Tulisan ini mengangkat pemikiran kritis mengenai pentingnya keselarasan antara niat suci dan kemampuan nyata dalam melaksanakan yadnya. Mengacu pada sloka dari Manava Dharmasastra, artikel ini menyajikan perspektif dharma yang lebih esensial dan relevan dengan dinamika sosial-keagamaan masa kini, serta mengajak umat untuk kembali kepada nilai-nilai inti dalam ajaran Hindu.


Pendahuluan
Tradisi Hindu di Bali kaya akan nilai spiritual dan sosial, namun dalam realitasnya, pelaksanaan upacara sering menjadi beban berat bagi umat. Tak jarang terjadi kasus di mana keluarga harus berutang atau menjual harta benda hanya untuk memenuhi tuntutan upacara adat yang seremonial. Fenomena ini perlu ditinjau secara kritis melalui lensa dharma, agar upacara tetap menjadi jalan penyucian, bukan penderitaan.

Dalam konteks ini, penulis memunculkan gagasan bahwa nilai sebuah upacara tidak terletak pada kemewahan bentuk luarnya, tetapi pada niat dan ketulusan dalam pelaksanaannya. Pemikiran ini berpijak pada ajaran sastra suci Hindu serta realita sosial umat di era modern.


Landasan Filosofis dari Sastra Suci
Dalam Manava Dharmasastra, terdapat sloka yang sangat relevan untuk membingkai urgensi pelaksanaan upacara secara bijaksana:

Sloka (Sansekerta):
यथाशक्ति च यत्कर्तुं शक्यं तत्कुर्वीत पण्डितः।
न हि सर्वस्य सर्वज्ञं सर्वशक्तिमतो जनम्॥

Transliterasi:
Yathāśakti ca yat kartuṁ śakyaṁ tat kurvīta paṇḍitaḥ।
Na hi sarvasya sarvajñaṁ sarvaśaktimato janam॥

Makna:
“Seseorang yang bijaksana hendaknya melakukan upacara atau kewajiban lainnya sesuai dengan kemampuannya. Karena tidak semua orang memiliki pengetahuan dan kekuatan secara menyeluruh.”

Sloka ini menegaskan bahwa pelaksanaan dharma haruslah berdasarkan prinsip keadilan terhadap diri sendiri (adhyatmika dharma) dan keseimbangan sosial. Tidak ada kewajiban yang menuntut seseorang melampaui batas kesanggupan pribadi. Hal ini juga selaras dengan ajaran Bhagavad Gita 6.5 yang menyatakan:
"Hendaknya seseorang mengangkat dirinya sendiri dengan kekuatan dirinya sendiri dan jangan merendahkan dirinya sendiri."


Diskusi: Kesucian vs Gengsi
Dalam praktik sosial keagamaan di Bali, banyak upacara dilakukan secara berlebihan karena dorongan gengsi atau standar sosial. I Gede Sugata Yadnya Manuaba menekankan bahwa:
"Agama bukan untuk memiskinkan, tetapi menyucikan. Jangan karena upacara, umat menjadi menderita."

Dalam konteks ini, penting menekankan tattva yadnya (hakikat yadnya), bukan hanya rupa yadnya (bentuk luar). Tujuan utama yadnya adalah bhakti dan satya, bukan pencitraan sosial.

Lebih lanjut, beliau menyampaikan:
"Buatlah upacara sesuai kemampuan, bukan ikut-ikutan. Jangan sampai niat suci malah membawa penderitaan."

Pernyataan ini mencerminkan urgensi literasi keagamaan umat Hindu agar tidak terjebak pada struktur sosial yang memaksakan konsumsi simbolik. Ajaran ini juga bersinggungan dengan prinsip tri kaya parisudha—kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan.


Implikasi Sosial Keagamaan
Gagasan pelaksanaan upacara berdasarkan kemampuan ini sejalan dengan gerakan penyadaran spiritual Hindu kontemporer yang lebih menekankan pada substansi daripada simbolisme. Di tengah modernisasi, umat Hindu dituntut untuk lebih bijak dalam memilah mana yang esensial dan mana yang sekadar tradisi turun-temurun yang sudah kehilangan ruh dharma-nya.

Hal ini juga sejalan dengan pemikiran para sarjana Hindu modern seperti Swami Vivekananda yang menekankan bahwa spiritualitas bukanlah soal ritual semata, melainkan transformasi batin dan kebijaksanaan dalam hidup sehari-hari.


Kesimpulan
Melalui pendekatan filosofis dan sosial, tulisan ini mengajak umat Hindu di Bali untuk merefleksikan kembali praktik yadnya dalam konteks kekinian. Kesucian sejati lahir dari niat tulus dan pelaksanaan yang jujur, bukan dari kemewahan atau tekanan sosial.
Upacara keagamaan hendaknya menjadi jalan menuju moksha, bukan sekadar ajang menunjukkan status sosial.

Dengan menjadikan sloka dari Manava Dharmasastra sebagai pijakan moral dan spiritual, umat dapat menemukan harmoni antara ajaran sastra, kondisi sosial, dan tuntutan zaman.

Rahajeng Rahina Suci Galungan lan Kuningan.
Semoga kemenangan dharma senantiasa hadir dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan kita.


Daftar Pustaka

  • Manava Dharmasastra. (Sanskrit Text and Translation)
  • Bhagavad Gita. (6.5)
  • Vivekananda, Swami. Teachings of Swami Vivekananda.
  • Sugata Yadnya Manuaba, I Gede. (2025). Bongkasa Cerita: Refleksi Upacara dan Dharma.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar