Konsep Bhatara dan Dewa Hyang dalam Tradisi Agama Hindu Dharma di Bali: Telaah Filosofis dan Praktik Upacara Leluhur
Abstrak:
Tradisi Hindu Dharma di Bali memiliki konsep teologis dan kosmologis yang kompleks, salah satunya mengenai istilah Bhatara dan Dewa Hyang. Dalam pemahaman masyarakat Bali, Bhatara dipersonifikasikan sebagai pelindung yang merupakan manifestasi dari aktivitas Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan Dewa Hyang merujuk pada keberadaan spiritual leluhur yang telah melalui proses penyucian melalui upacara. Artikel ini menelaah makna linguistik, filosofis, dan praktik religius seputar konsep Bhatara dan Dewa Hyang, serta implikasinya dalam pelestarian tradisi spiritual seperti meajarajar, nuntun Dewa Hyang, hingga ngenteg linggih.
Pendahuluan:
Dalam tradisi Hindu Dharma Bali, istilah Bhatara seringkali diucapkan "Bêtarə" dan disamakan dengan Dewa, karena keduanya menjalankan fungsi perlindungan terhadap makhluk dan alam semesta. Bhatara berasal dari kata "bhatr", yang bermakna pelindung. Oleh karena itu, Bhatara dimaknai sebagai wujud manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai pelindung ciptaan-Nya, seperti Bhatara Wisnu, Bhatara Brahma, atau Bhatara Kala.
Sementara itu, istilah Hyang mengacu pada eksistensi spiritual yang dihormati dan disucikan, sering dipersonifikasikan sebagai wujud bercahaya atau sakral. Dalam konteks upacara Bali, Dewa Hyang adalah roh leluhur yang telah disucikan melalui prosesi ngaben, memukur, dan akhirnya ngelinggihang di sanggah atau merajan keluarga sebagai Bhatara Guru.
Kutipan Sloka:
Sanskerta:
“सर्वं खल्विदं ब्रह्म तज्जलानिति शान्त उपासीत”
Transliterasi:
"Sarvaṁ khalvidaṁ brahma tajjalāniti śānta upāsīta."
Makna:
"Segala sesuatu ini sesungguhnya adalah Brahman; dari-Nya segala ini lahir, oleh-Nya semua ini hidup, dan kepada-Nya semua ini kembali. Maka, seseorang yang mengetahui ini hendaknya hidup dalam ketenangan dan penghormatan."
— Chāndogya Upaniṣad VII.1.4
Sloka ini menekankan bahwa seluruh unsur semesta, termasuk atma leluhur dan para manifestasi pelindung seperti Bhatara, berasal dan kembali kepada hakikat ilahi tertinggi, Brahman atau Sang Hyang Widhi Wasa.
Pembahasan:
Dalam Lontar Ligia, disebutkan bahwa setelah upacara memukur, roh disebut Dewa Pitara atau Dewa Hyang yang bersemayam di Acintya Bhuana, yaitu alam non-manifestasi tertinggi. Upacara meajarajar dan nuntun Dewa Hyang menjadi ritual penting untuk mengantar roh menuju alam suci dan menjadikannya layak disthanakan sebagai Bhatara Guru.
Hal ini senada dengan Lontar Gayatri, yang menyatakan bahwa roh yang telah disucikan akan berada di Swah Loka—alam para dewa. Maka dari itu, upacara ngenteg linggih dilakukan untuk menyatukan dan menyetarakan roh leluhur yang baru dengan leluhur yang telah lebih dahulu disucikan, sehingga bisa dipuja dalam ruang sakral keluarga masing-masing.
Tokoh penting dalam tradisi ini adalah Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba dari Griya Agung Bangkasa, yang dikenal sebagai pelopor rasa tunggil kawitan bagi pretisentana Panca Rsi, sekaligus inisiator Pura Panataran Agung Catur Parhyangan di Pundukdawa. Sebagai wujud penghormatan atas jasa dan bhisama beliau, dibangun Pura Kahyangan Dharma Smrti sebagai tempat pemujaan utama.
Penutup:
Konsep Bhatara dan Dewa Hyang mencerminkan kedalaman filosofi dan spiritualitas Hindu Dharma Bali dalam menjembatani hubungan antara manusia, leluhur, dan Tuhan. Melalui upacara-upacara suci yang diwariskan lintas generasi, ajaran ini tidak hanya menjaga nilai tradisi, tetapi juga memperkuat spiritualitas komunitas Hindu Bali dalam bingkai ketuhanan yang dinamis dan transendental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar