Mulut Seorang Seniman Legendaris
Terdengar K4sar Saat Menghibur, Tapi...
Oleh: Tubaba
Di atas panggung, suara membahana,
Kadang menggema keras seperti guntur marah,
Mulutnya tajam, kata-katanya bisa melukai,
Namun siapa sangka, hatinya rapuh laksana embun pagi.
Ia bukan patung tanpa rasa,
Bukan dewa yang luput dari luka,
Ia hanya manusia,
Yang memikul beban tawa dan tangis dunia.
Terkadang kau dengar bentakan tajam,
Nada tinggi seperti badai menerjang malam,
Tapi sesungguhnya,
Itu cinta yang menyamar jadi suara nyaring tanpa pelukan.
Air mata yang ia sembunyikan di balik layar,
Adalah doa tanpa suara untuk penggemar,
Ia terluka saat melihat seni diabaikan,
Ia menangis saat kebudayaan dilupakan.
Ia tahu—jalan ini sunyi,
Tapi tetap dipilihnya demi harmoni,
Walau letih mendera,
Ia terus melangkah tanpa jeda.
Sebab cinta seniman bukan sekadar senyum dan pujian,
Kadang hadir dalam bentuk bentakan dan tekanan,
Namun semuanya adalah bentuk pengabdian,
Agar seni tak lenyap dari peradaban.
Ia rela tak dikenal sebagai penyayang,
Asal budayanya tetap berdentang,
Ia korbankan tawa, bahagia, dan ketenangan,
Demi satu: wajah bahagia penonton di pangkuan kesenian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar