Berikut adalah arti dan makna dari kutipan teks Ādiparwa bagian Jaratkāru yang Anda berikan:
---
Teks Asli (Jawa Kuno dan Sanskerta Campuran):
Hana ta sira brāhmaṇa, sang Jaratkāru ngaran ira, matang yan Jaratkāru ling ning hajji. Jaratīkṣayam ity āhuḥ, jarat ngraran ing kṣaya, kāruṇikasya tad bhayam, karuṇyabuddhiṁ, caraṇa ri sədəng ing katakut, təkāning katakutnyācāriṇa, yogya takatakutana, apan makaswabhāwa kṣaya.
---
Arti Per Kata dan Frasa:
1. Hana ta sira brāhmaṇa
= Ada seorang brahmana.
2. Sang Jaratkāru ngaran ira
= Bernama Jaratkāru.
3. Matang yan Jaratkāru ling ning hajji
= Disebut Jaratkāru karena alasan khusus (etimologis) – ia berada dalam jalan (ling) hajji/tapa (spiritualitas).
4. Jaratīkṣayam ity āhuḥ
= Disebut (oleh para resi) sebagai “Jaratī-kṣayam” (kata majemuk Sanskerta, dari jarat dan kṣaya).
5. Jarat ngraran ing kṣaya
= “Jarat” berarti menuju kehancuran (kṣaya).
6. Kāruṇikasya tad bhayam
= Ketakutan dari seorang yang penuh belas kasih (karuṇika).
7. Karuṇyabuddhiṁ
= Ia memiliki pemahaman penuh kasih sayang (budi yang dipenuhi karuṇā).
8. Caraṇa ri sədəng ing katakut
= Tindakan atau perilakunya dilandasi rasa takut (akan kehancuran).
9. Təkāning katakutnyācāriṇa
= Berjalan dalam cara hidup karena takut akan kerusakan atau dosa.
10. Yogya takatakutana
= Layak/tidak tercela karena mengikuti ajaran suci dengan kesadaran.
11. Apan makaswabhāwa kṣaya
= Karena sifat alaminya adalah menuju penyusutan/kehilangan/detachment (kṣaya).
---
Makna Keseluruhan:
Dalam kutipan ini dijelaskan asal-usul dan makna nama Jaratkāru, seorang brāhmaṇa (resī suci). Namanya merupakan gabungan dari kata "jarat" (menuju pelapukan/kehilangan) dan "kāru" (pelaku, orang yang penuh belas kasih). Nama ini menunjukkan bahwa Jaratkāru adalah seorang resi yang hidup dalam rasa takut akan kemerosotan dunia (kṣaya) dan karena itu menempuh jalan tapa yang penuh kasih sayang (karuṇyabuddhiṁ). Ia menjalani kehidupan spiritual karena kesadaran akan kefanaan dan penderitaan makhluk lain, dan karena itu ia hidup tidak melukai siapa pun, penuh welas asih, dan penuh disiplin spiritual.
---
Kesimpulan Filosofis (Makna Teologis Hindu):
Tokoh Jaratkāru dalam Ādiparwa adalah representasi seorang yogi ideal:
Ia sadar akan keterbatasan dan kefanaan dunia (kṣaya)
Ia termotivasi oleh rasa welas asih universal (karuṇā)
Ia hidup menjauhi kelekatan duniawi, mengabdi pada laku suci demi kesejahteraan dunia, bahkan rela tidak menikah—kecuali demi menyelamatkan leluhurnya dari kegelapan.
Jaratkāru menjadi simbol tapa suci yang sadar dan penuh cinta kasih – tepat dalam ajaran Hindu Dharma tentang karuṇā, vairāgya (ketidakterikatan), dan tapa (laku spiritual).
---
> Məngət pwa sira, an mangkana janma ning qarira, Jaratkārur iti smṛtaḥ, matang yan sang Jaratkāru nāma nira, mawədi ri kasangsāran ing janma. Ya ta warakakulotpannaḥ, wekā ning wiku warabrata sira, sang wiku santosa mālap wija kasawus, mwang ingka huwus kasingṣal ing hawan, yatikā pinet inasehan ira. Akweh pwa ya wekasan, irikā ta yan iniwet nira, tatkāla pinanditan ri bhatāra, tan pawon nireng tamuy. Mangkana brata ning kawitan ira, kumawaçā kən apriya, tan kəneng strī, kewala tapa ginön ng nira, inajar nira, kalaran magawə tapa! sədeṅg mahārāja Parīkṣit mabu-rubwan, ikā ta kāraṇa nirān cināpa de bhagawan Çṛṅgi panganēn de ning nāga Takṣaka.
---
Terjemahan per bagian:
1. Məngət pwa sira, an mangkana janma ning qarira
> Ingatlah engkau, bahwa demikianlah kelahiran seseorang di dunia ini.
2. Jaratkārur iti smṛtaḥ, matang yan sang Jaratkāru nāma nira
> Ia dikenal dengan nama Jaratkāru, itulah sebabnya ia bernama demikian.
3. Mawədi ri kasangsāran ing janma
> Ia bersikap muak atau bosan terhadap penderitaan dalam kehidupan duniawi.
4. Ya ta warakakulotpannaḥ, wekā ning wiku warabrata sira
> Ia lahir dari keluarga brāhmaṇa suci (warakakula), dan menjadi seorang wiku (pertapa) yang menjalankan laku luhur.
5. Sang wiku santosa mālap wija kasawus, mwang ingka huwus kasingṣal ing hawan
> Sang pertapa itu suci, telah bebas dari benih nafsu (wija), dan juga telah bersih dari debu dunia (pengaruh duniawi).
6. Yatikā pinet inasehan ira
> Ia adalah seorang yatikā (pertapa wanita atau istilah suci), yang sangat terjaga (terkendali) dalam segala hal.
7. Akweh pwa ya wekasan, irikā ta yan iniwet nira
> Banyak pula yang akhirnya ia tinggalkan, karena hal itu bertentangan dengan laku sucinya.
8. Tatkāla pinanditan ri bhatāra, tan pawon nireng tamuy
> Ketika ia sedang menjalankan laku tapa dan pemujaan terhadap Bhatāra (Tuhan), ia tidak pernah menerima tamu atau bergaul dengan siapa pun.
9. Mangkana brata ning kawitan ira, kumawaçā kən apriya, tan kəneng strī
> Demikianlah laku tapa sejak awal hidupnya, ia tidak melakukan hal-hal menyenangkan, tidak menyentuh perempuan (hidup selibat).
10. Kewala tapa ginön ng nira, inajar nira, kalaran magawə tapa!
> Hanya laku tapa yang ia jalankan, itulah yang diajarkan dan diyakininya sebagai jalan utama—karena ia hidup demi bertapa.
11. Sədeṅg mahārāja Parīkṣit mabu-rubwan, ikā ta kāraṇa nirān cināpa de bhagawan Çṛṅgi panganēn de ning nāga Takṣaka.
> Pada saat yang sama, ketika Raja Parīkṣit melakukan kesalahan (melanggar dharma raja), itulah sebabnya ia kemudian dikutuk oleh Bhagawan Śṛṅgi untuk mati karena digigit oleh naga Takṣaka.
---
Makna Filosofis dan Teologis:
Teks ini menggambarkan kepribadian luhur Jaratkāru:
Ia adalah seorang suci dari keluarga brāhmaṇa, yang meninggalkan dunia dan segala kesenangan lahiriah karena muak terhadap penderitaan samsara (kasangsāran).
Ia memilih jalan tapa brata (hidup selibat, menjauhi perempuan, menjauhi hal menyenangkan duniawi).
Hidupnya sangat tertib, suci, dan disiplin dalam spiritualitas.
Bahkan saat ia sedang melakukan pemujaan kepada Tuhan (bhatāra), ia tidak mau diganggu oleh dunia luar.
Pada bagian akhir, disebutkan bahwa raja Parīkṣit, karena kesombongan dan pelanggaran etika terhadap pertapa, akhirnya dikutuk oleh Bhagawan Śṛṅgi, dan mati oleh gigitan naga Takṣaka. Ini menunjukkan akibat dari mencela atau mengganggu laku suci seorang pertapa—bahwa dharma harus dihormati.
---
Kesimpulan:
Teks ini merupakan penggambaran:
Laku tapa murni dan welas asih dari Jaratkāru.
Kewajiban menghindari keterikatan duniawi dalam spiritualitas Hindu.
Kekuatan tapa dan kutukan seorang resi yang dapat menentukan nasib seorang raja, bila etika dilanggar.
Jaratkāru menjadi simbol kebijaksanaan, pengendalian diri, dan kebebasan dari samsara, sedangkan kisah Raja Parīkṣit mengingatkan pentingnya menghormati dharma dan orang suci.
---
> Samangkana ta sang Jaratkāru magawə tapa. Huwus pwa sira siddhi mantra, mahas ta sireng sarwaloka, təkā riṅ asing sakaharēp pinaran ira mwang lumaku tirtha. Kalunghalunghā ta laku nira, kawawa sireng Ayatanasthāna, ikang loka pāntaraning swarga lawan naraka, kahanan ikang pitara mangapekṣa kāraṇāntara, an pangguh swarganāraka. Ya tika kahaliwatan de sang Jaratkāru, haneng Ayatanasthāna.
---
Terjemahan per bagian:
1. Samangkana ta sang Jaratkāru magawə tapa
> Demikianlah sang Jaratkāru menjalankan pertapaan.
2. Huwus pwa sira siddhi mantra
> Ia telah mencapai keberhasilan dalam mantranya (telah memperoleh siddhi, kekuatan spiritual dari tapa dan japa mantra).
3. Mahas ta sireng sarwaloka
> Maka terkenallah ia di seluruh alam (dunia), dihormati oleh semua makhluk.
4. Təkā riṅ asing sakaharēp pinaran ira mwang lumaku tirtha
> Ia bepergian ke berbagai arah sesuai kehendaknya sendiri, dan melakukan perjalanan suci (tirta yatra).
5. Kalunghalunghā ta laku nira
> Sangat mulia dan agung laku tapa (pertapaannya).
6. Kawawa sireng Ayatanasthāna
> Ia sampai di tempat suci yang disebut Ayatanasthāna.
7. Ikang loka pāntaraning swarga lawan naraka
> Yaitu tempat yang menjadi perbatasan (ambang) antara alam surga dan neraka.
8. Kahanan ikang pitara mangapekṣa kāraṇāntara
> Di sanalah para pitara (roh leluhur) sedang menanti-nantikan adanya sebab (atau jalan keluar) dari penderitaan mereka.
9. An pangguh swarganāraka
> Mereka menggantungkan harapan untuk bisa menuju ke surga atau tetap terjerumus ke neraka.
10. Ya tika kahaliwatan de sang Jaratkāru, haneng Ayatanasthāna
> Tempat itulah yang kemudian dilewati oleh sang Jaratkāru, yaitu di Ayatanasthāna itu.
---
Makna Filosofis dan Teologis:
Teks ini menggambarkan tahap spiritual tertinggi sang Jaratkāru setelah ia berhasil dalam tapa dan mantra, sehingga mencapai siddhi (kesaktian spiritual) dan menjadi suci yang bebas berjalan ke segala penjuru dunia untuk tirta yatra (perjalanan suci).
Makna penting yang terkandung:
1. Siddhi mantra: Tapa dan japa yang dilakukan dengan tulus akan membuahkan kekuatan rohani dan kemuliaan sejati, dikenal oleh seluruh alam (sarwaloka).
2. Ayatanasthāna: Tempat yang secara spiritual menjadi gerbang antara swarga (surga) dan naraka (neraka), simbol batas antara pahala dan dosa, juga tempat pengharapan roh-roh leluhur (pitara).
3. Pitara mangapekṣa kāraṇāntara: Roh-roh leluhur (pitara) yang belum mencapai swarga sangat bergantung pada tindakan dharma keturunan mereka (seperti sang Jaratkāru) untuk memperoleh pembebasan atau moksha.
4. Laku suci (lumaku tirtha): Perjalanan spiritual sang Jaratkāru bukan hanya lahiriah, melainkan perjalanan rohani lintas dimensi, dari dunia nyata menuju dimensi karma para arwah leluhur.
---
Kesimpulan:
Bagian ini menekankan:
Kesucian, kekuatan mantra, dan efek nyata dari tapa dalam kehidupan seseorang.
Tanggung jawab keturunan terhadap pitara sangat penting dalam ajaran Hindu — bahkan seorang suci seperti Jaratkāru harus menolong leluhurnya yang menggantungkan harapan untuk naik ke surga.
Ayatanasthāna sebagai simbol titik keseimbangan karma, di mana keputusan akhir swarga atau naraka dapat berubah tergantung tindakan nyata anak keturunan.
----
> 2. Hana ta pitara ginantung ring pétung sawulih kinabehan ira, katon tang muka tumumpək, tinalyan suku nira, ri sor nira jurang ajêro tëkəng narakaloka, ikang inênahakên tinalyan ira. Yan tikêl ikang pétung pagantungan ira, hana ta tikus sawiji tamolah i kuwung nikang pétung ri pinggir ing jurang, pratidina mangit wuku nikang wīraṇastambha.
---
Terjemahan per bagian:
1. Hana ta pitara ginantung ring pétung sawulih kinabehan ira
> Ada para pitara (roh leluhur) yang digantung pada sebatang pohon bambu petung, dengan kepala mereka semua menghadap ke bawah.
2. Katon tang muka tumumpək, tinalyan suku nira
> Terlihat wajah mereka menunduk ke bawah, dan kaki mereka diikat serta digantungkan.
3. Ri sor nira jurang ajêro tëkəng narakaloka
> Di bawah mereka terdapat jurang yang dalam menuju alam neraka (narakaloka).
4. Ikang inênahakên tinalyan ira
> Di situlah tempat mereka digantung, dalam keadaan sangat menderita.
5. Yan tikêl ikang pétung pagantungan ira
> Jika putuslah bambu tempat mereka tergantung itu...
6. Hana ta tikus sawiji tamolah i kuwung nikang pétung ri pinggir ing jurang
> Maka ada seekor tikus yang sedang menggerogoti akar bambu petung di tepi jurang itu.
7. Pratidina mangit wuku nikang wīraṇastambha
> Setiap hari tikus itu menggerogoti batang bambu (wīraṇa-stambha) tersebut.
---
Makna Filosofis dan Simbolis:
Bagian ini menggambarkan visual penderitaan para pitara (roh leluhur) yang belum terselamatkan karena belum mendapat jasa atau bakti dari keturunannya.
Makna dari masing-masing unsur:
Digantung terbalik di bambu petung:
Melambangkan keadaan karma tidak selesai, menunggu tindakan keturunan untuk melepaskan mereka dari penderitaan. Kepala di bawah menyimbolkan kejatuhan nilai dan penderitaan batin.
Jurang ke narakaloka di bawah mereka:
Roh-roh tersebut dalam keadaan liminal (perbatasan) antara eksistensi spiritual dan penderitaan yang kekal. Bila bambu itu putus, mereka jatuh ke neraka.
Tikus menggerogoti bambu tiap hari:
Melambangkan waktu yang terus berjalan (tikus = kāla atau waktu) dan ancaman kehancuran yang makin dekat. Jika tidak segera ditolong oleh keturunannya, nasib mereka akan terjerumus ke dalam penderitaan abadi.
---
Ajaran Utama:
1. Kewajiban Dharma sebagai keturunan (putra)
Dalam ajaran Hindu, anak (putra) tidak hanya pewaris silsilah, tapi penyelamat roh leluhur. Kewajiban śrāddha, piṇḍadāna, dan dharma lainnya sangat menentukan apakah roh pitara bisa naik ke swarga atau jatuh ke naraka.
2. Urgensi waktu (kāla)
Tikus sebagai simbol waktu mengingatkan bahwa waktu tidak menunggu, dan penderitaan akan makin parah bila anak-anak tidak segera bertindak.
3. Pertautan antara dunia manusia dan alam roh
Keadaan para pitara mencerminkan bahwa kehidupan spiritual kita tidak hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga mempengaruhi leluhur dan generasi setelahnya.
---
Kesimpulan:
Kisah ini adalah peringatan mendalam dan spiritual bahwa keturunan bertanggung jawab atas keselamatan leluhurnya. Jika mereka lalai, putusnya bambu akan menyebabkan roh pitara jatuh ke narakaloka — penderitaan abadi. Inilah alasan utama sang Jaratkāru, walaupun suci dan tapa, harus menikah dan punya anak demi menyelamatkan leluhurnya.
---
> Ya ta katon de sang Jaratkāru, marabas ta ya luh nirān tumon iriya, makanimitta kāruṇya ning citta, syuh drawa hati nira de nira sang anungsang gumantung i tungtung ning pétung tinalyan suku nira; mogha sang Jaratkāru ināgweśa sang pitara, tāpasarūpa, kadi weṣa ning wiku, majatādhara, mawalkala, nindān sayogya sira manghidêpa sangsāra, kṛtasangsāra, nirāhāra sākṣāt rwan gumāntung kakingan dening lahrū, mahayunan tëkap i buh hangin madêrês, tarpamangana sadākāla. An·mangkana ta sira sang pitara.
“Ke bhawanto 'walambante wīraṇastambam ācṛtitaḥ?'”
---
Terjemahan per bagian:
1. Ya ta katon de sang Jaratkāru
> Maka terlihatlah oleh Sang Jaratkāru (akan keadaan para pitara itu),
2. Marabas ta ya luh nirān tumon iriya
> Seketika itu juga air mata mengalir dari matanya, terlihat menangis karena iba.
3. Makanimitta kāruṇya ning citta
> Karena digerakkan oleh rasa belas kasihan dalam hatinya.
4. Syuh drawa hati nira de nira sang anungsang gumantung i tungtung ning pétung tinalyan suku nira
> Sangat tersentuh hatinya ketika melihat orang-orang yang tergantung dengan kaki terikat di ujung bambu petung itu.
5. Mogha sang Jaratkāru ināgweśa sang pitara
> Maka mendekatlah Sang Jaratkāru kepada para pitara itu.
6. Tāpasarūpa, kadi weṣa ning wiku, majatādhara, mawalkala
> Mereka tampak dalam bentuk petapa, berpakaian seperti wiku (pendeta), berjenggot panjang, dan rambut digelung (majaṭādhara = bergelung rambut, mawalkala = berpakaian tapa).
7. Nindān sayogya sira manghidêpa sangsāra, kṛtasangsāra, nirāhāra
> Menampakkan diri layaknya orang yang telah menapaki penderitaan hidup (saṁsāra), telah mengalami semua duka dunia, dan hidup tanpa makanan (nirāhāra).
8. Sākṣāt rwan gumāntung kakingan dening lahrū
> Mereka tergantung secara nyata, tubuhnya kurus kering karena keturunan (anak) belum ada yang menyelamatkan mereka.
9. Mahayunan tëkap i buh hangin madêrês, tarpamangana sadākāla
> Mereka menggantung, hanya tertiup angin, lapar dan menderita sepanjang waktu (sadākāla = senantiasa).
10. An·mangkana ta sira sang pitara:
> Lalu berkata para pitara itu:
---
Teks Sanskerta dan Terjemahannya:
> “Ke bhavanto 'valambante vīraṇastambham ācṛtitaḥ?”
“Mengapa kalian tergantung pada batang bambu vīraṇa itu yang sudah keropos (digrogoti)?”
---
Makna Filosofis dan Simbolik:
✦ 1. Rasa Belas Kasih (Kāruṇya) Jaratkāru
Meskipun Jaratkāru adalah seorang pertapa suci yang telah mencapai siddhi (kesempurnaan), ia tersentuh oleh penderitaan leluhurnya. Ini menunjukkan bahwa seorang bijaksana tidak pernah kehilangan welas asih, bahkan setelah melewati jalan spiritual yang tinggi.
✦ 2. Pitara sebagai Simbol Karma Leluhur
Para pitara digambarkan seperti pertapa tua, mengenakan pakaian suci namun sangat menderita. Mereka tidak mampu naik ke swarga karena belum ada keturunannya yang melaksanakan dharma terhadap mereka.
Gantung di bambu petung: simbol ketergantungan mereka pada anak-cucu.
Tergrogoti waktu (tikus): dunia terus berjalan, penderitaan makin dekat jika tak ada pertolongan.
Kurang makan dan tertiup angin: simbol spiritual bahwa tanpa dharma, bahkan roh suci pun bisa menderita.
✦ 3. Pertanyaan Pitara:
> “Mengapa kami tergantung pada batang bambu keropos?”
Ini adalah sindiran halus dari pitara terhadap Jaratkāru sendiri, karena Jaratkāru adalah satu-satunya harapan mereka untuk keselamatan — dan ia belum memenuhi kewajibannya sebagai keturunan.
---
Kesimpulan Ajaran:
1. Kesucian pribadi belum cukup jika tak disertai dharma terhadap leluhur.
Dharma seorang putra dalam Hindu sangat penting — harus menolong leluhur agar tak terjatuh ke naraka.
2. Kekosongan keturunan adalah kekosongan karma leluhur.
Bahkan meski leluhur adalah petapa suci, mereka bisa menderita jika tidak ada yang mendoakan atau menyambung garis keturunannya.
3. Jaratkāru sebagai simbol dualitas kewajiban spiritual dan duniawi.
Ia harus menyeimbangkan antara hidup tapa dan hidup keluarga, demi menyelamatkan para pitara.
---
Teks Asli
“Aparan ta rahadayan sanghulun kābeh ginantung ri pétung sawulih, meh tikêla deni panigit tikus, ikang jurang ri sor nya tan kinawuruhan jêro nika. Ya tikāndê larāṅgrêṣi manah ni nghulun, moghawêlas ahyun tumulungke kita, ātpasāh kṛta baiena, nghulun kêta, magawə tapa sangka raray, amāhakên tanggung ni tapa ni nghulun, sasar pakṣa nikā, dê ni wélasku mūlati kasangkaranta. Yan pira kari paweha phala ni tapa ni nghulun, yatan yan kita muliêng swarga maryānghidêpa sangsāra? Athawā saparapatan, yan satêngah kunang paweha mami samarāṅgātmangngih ng swarga juga.”
---
Arti dan Makna Per Kalimat
1. Aparan ta rahadayan sanghulun kābeh ginantung ri pétung sawulih, meh tikêla deni panigit tikus, ikang jurang ri sor nya tan kinawuruhan jêro nika.
Artinya:
“Sesungguhnya, keselamatan umat manusia (sanghulun) semuanya bergantung pada lima perbuatan utama (pétung sawulih). Contohnya seperti tikus yang berada di lubang jurang yang dalam, yang kedalamannya tidak diketahui.”
Makna:
Keselamatan umat sangat rapuh dan tergantung pada lima prinsip moral yang utama, seperti tikus yang hidup dalam lubang yang sangat dalam dan tak terlihat, melambangkan bahwa jika kita tidak sadar, kita bisa terjatuh ke dalam bahaya tanpa kita sadari.
---
2. Ya tikāndê larāṅgrêṣi manah ni nghulun, moghawêlas ahyun tumulungke kita, ātpasāh kṛta baiena, nghulun kêta, magawə tapa sangka raray, amāhakên tanggung ni tapa ni nghulun, sasar pakṣa nikā, dê ni wélasku mūlati kasangkaranta.
Artinya:
“Kalau kita melanggar hati nurani manusia, maka dia akan sakit dan marah, berbuatlah tapa (pertapaan atau disiplin) dengan niat yang benar, bertanggung jawab atas tapa tersebut, dan jangan sampai salah arah, karena kesalahan itu akan berujung pada kemalangan.”
Makna:
Menghormati hati nurani dan melakukan tapa dengan niat yang tulus serta tanggung jawab sangat penting agar tidak jatuh dalam kesalahan yang dapat merusak diri dan kehidupan.
---
3. Yan pira kari paweha phala ni tapa ni nghulun, yatan yan kita muliêng swarga maryānghidêpa sangsāra?
Artinya:
“Jika kita dapat menikmati hasil tapa (pertapaan) manusia itu, apakah kita juga bisa masuk ke surga dan terbebas dari siklus kelahiran dan kematian (sangsāra)?”
Makna:
Pertanyaan filosofis ini mengajak kita merenung apakah dengan melakukan tapa dan disiplin spiritual, kita mampu meraih kebahagiaan sejati dan pembebasan dari penderitaan duniawi.
---
4. Athawā saparapatan, yan satêngah kunang paweha mami samarāṅgātmangngih ng swarga juga.
Artinya:
“Ataukah sebaliknya, jika hanya setengah hati dalam menjalani tapa, kita tetap terikat dengan dunia dan sulit mencapai surga.”
Makna:
Disiplin spiritual yang setengah-setengah atau tidak sungguh-sungguh hanya membawa kita pada kebingungan dan kegelisahan, dan tidak bisa melepaskan diri dari siklus penderitaan.
---
Kesimpulan Makna Umum
Ling sang Jaratkāru ini mengingatkan akan pentingnya kelima prinsip utama (pétung sawulih) dalam kehidupan spiritual manusia. Melanggar hati nurani dan melakukan tapa tanpa ketulusan serta tanggung jawab akan menyebabkan penderitaan. Sementara itu, disiplin spiritual yang sungguh-sungguh adalah jalan untuk mencapai kebebasan dari siklus kelahiran dan kematian serta meraih kebahagiaan tertinggi (surga). Setengah-setengah dalam laku tapa hanya membawa pada kesamaran dan penderitaan duniawi.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar