Senin, 09 Juni 2025

Cacing dan Kotorannya

Si Cacing dan Kotorannya

Oleh I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Di perut bumi yang sunyi
hidup seekor cacing tanpa gigi,
tak pernah mengeluh pada hujan,
tak pernah menuntut pada mentari.

Ia menjelajah lumpur kehidupan,
mengunyah sampah, reruntuhan harapan,
membalik tanah dalam diam suci,
membawa hidup dari dalam mati.

Apa yang kau buang, ia santap,
apa yang kau jijikkan, ia pulihkan,
lalu ia tinggalkan kotoran
yang menyuburkan akar dan impian.

> “Yajñena yajñam ayajanta devāḥ”
(Ṛgveda X.90.16)
Para dewa ber-yadnya demi yadnya — saling menyucikan dalam keikhlasan.



Wahai manusia yang mencintai keindahan,
lihatlah cacing, guru dalam ketidaksadaran:
ia memberi tanpa wajah
ia mencipta tanpa suara.

Kotorannya—itulah doanya:
pupuk dari tubuh yang rela,
sari dari kegelapan yang tak bersuara,
lahirkan taman penuh warna.

> Di situ ada Siwa yang diam,
di situ ada Bhumi yang sabar,
di situ ada Atman yang rendah hati
—menjelma jadi cacing dalam tubuh duniawi.



Bukankah begitu juga hidup ini?
Kita semua menelan pahit,
menggali luka, menyerap sedih,
agar dari kita tumbuh padi dan kasih.

> “Anena prajāḥ prajāyante”
(Taittirīya Upaniṣad)
Dari pengorbanan suci lahirlah semua makhluk.



Cacing tidak sekolah,
tapi ia tahu kapan memberi.
Cacing tidak berdoa,
tapi ia hidup dalam yadnya sejati.

Lalu kau, wahai manusia?
Apakah kotoranmu masih racun?
Ataukah sudah menjadi pupuk
bagi bunga di taman zaman?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar