Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
🕉️ Ngelungah Sebagai Jalan Mokṣa: Kisah Roh Menuju Cahaya Abadi
Di lembah kesunyian di antara aliran tirtha dan desiran bayu suci, ketika raga telah lepas dari ikatan duniawi, tersingkaplah satu laku sakral: ngelungah. Bukan sekadar adat, bukan pula sebatas upacara – namun ngelungah adalah sādhana agung, langkah suci yang menuntun roh pada mokṣa, kebebasan mutlak dari samsara.
Dalam tradisi Hindu Bali, ngelungah dilakukan sebagai upacara lanjutan setelah ngaben, saat tulang-belulang (lulungah) telah dimurnikan dan dipersatukan kembali dalam bentuk simbolik, lalu dihantarkan ke laut atau tempat suci sebagai pelepasan atman ke jagat paramartha.
✨ Makna Filosofis Ngelungah
Ngelungah bukan sekadar prosesi, melainkan penyatuan kembali unsur purusha dan prakṛti dalam harmoni semesta. Tulang sebagai sthulasharira dijadikan jalan untuk melepas keterikatan, hingga atman mencapai kebebasan rohani.
---
📜 Sloka Suci dari Bhagavad Gītā 2.23
🔸 Sanskerta:
नैनं छिन्दन्ति शस्त्राणि नैनं दहति पावकः ।
न चैनं क्लेदयन्त्यापो न शोषयति मारुतः ॥
🔸 Transliterasi:
nainaṁ chindanti śastrāṇi nainaṁ dahati pāvakaḥ |
na cainaṁ kledayanty āpo na śoṣayati mārutaḥ ||
🔸 Makna:
“Atman ini tak dapat dipotong oleh senjata, tak dapat dibakar oleh api, tak dapat dibasahi oleh air, dan tak dapat dikeringkan oleh angin.”
> Sloka ini menegaskan bahwa atman adalah abadi, dan melalui ngelungah, sang atman tidak lagi terikat oleh unsur kasar—melainkan berjalan menuju kebebasan sejati, mokṣa.
---
🌺 Simbolisme Ngelungah: Sadhana Menuju Paramartha
Ritual ngelungah adalah mantra hidup:
Air sebagai pembersih = jala tattva
Api pembakar = agni tattva
Angin pembawa = vāyu tattva
Tanah sebagai pemisah = pṛthivī tattva
Eter sebagai penyatu = ākāśa tattva
Melalui simbol-simbol ini, roh tidak sekadar dilepaskan, tapi dihantarkan dengan keagungan, dalam mantra, banten, kidung, dan doa, menuju Dewa Pitara, leluhur agung yang telah mencapai cahaya.
---
📜 Sloka dari Kaṭha Upaniṣad 2.20
🔸 Sanskerta:
न जायते म्रियते वा कदाचित्
नायं भूत्वा भविता वा न भूयः ।
अजो नित्यः शाश्वतोऽयं पुराणो
न हन्यते हन्यमाने शरीरे ॥
🔸 Transliterasi:
na jāyate mriyate vā kadācit
nāyaṁ bhūtvā bhavitā vā na bhūyaḥ |
ajo nityaḥ śāśvato'yaṁ purāṇo
na hanyate hanyamāne śarīre ||
🔸 Makna:
“Dia (atman) tidak lahir dan tidak mati. Ia tidak pernah ada dari awal dan tidak akan ada akhirnya. Ia tak dilahirkan, kekal, abadi, dan purāṇa (tua namun selalu baru). Ia tidak terbunuh walau tubuh dihancurkan.”
> Ngelungah bukan tangisan kepergian, melainkan nyanyian kebangkitan, saat atman bersinar kembali sebagai bintang di langit Dharma.
---
🕯️ Jalan Luhur Leluhur: Ngelungah sebagai Mokṣa Mārga
Ketika sang sulinggih atau pinandita menuntun upacara ngelungah, bukan hanya mantra yang dilantunkan, tapi jalan cahaya dibuka. Maka:
> “Yam yam vā’pi smaran bhāvaṁ tyajaty ante kalevaram…”
“Seseorang akan mencapai alam sesuai apa yang ia pikirkan saat kematian.”
Dengan ngelungah, roh yang dibebaskan dengan suci, dengan doa, dengan satya, akan mengingat kembali asalnya, dan menuju mokṣa – pelepasan dari lingkaran kelahiran.
---
✨ Penutup: Nyomya Swarga, Atman Moksartham Jagadhita ya Ca Iti Dharmaḥ
Ngelungah adalah pelita dalam malam kelahiran dan kematian, menyala di batas antara dunia fana dan kekekalan. Sebuah prasāda, anugerah, bahwa kehidupan tidak berakhir, tetapi bertransformasi menuju pencerahan rohani.
🔔 “Wahai atman, kembali kau ke pangkuan Siwa…”
🔱 “Om Svasti, muktih bhavatu, antarlokaṁ tvam yaahi…”
🔔 “Sarwa bhūta hṛdayaṁ śuddham bhavatu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar