“Guru Daksina sebagai Ungkapan Bakti: Kajian Filosofis atas Kisah Ekalawya dalam Mahabharata”
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pendahuluan
Dalam tradisi pendidikan Hindu kuno, hubungan antara guru (ācārya) dan murid (śiṣya) merupakan ikatan yang sakral. Guru dianggap sebagai perantara antara murid dan pengetahuan spiritual maupun duniawi. Salah satu bentuk penghormatan tertinggi kepada guru adalah melalui guru dakṣiṇā, yaitu pemberian yang tulus sebagai simbol rasa terima kasih. Artikel ini membahas legitimasi moral dan filosofis dari guru dakṣiṇā melalui kisah legendaris Ekalawya yang menyerahkan ibu jarinya kepada Drona (Begawan Domia), meski ia hanya berguru pada patung sang guru.
---
Teks dan Kutipan Sloka
Kisah Ekalawya terdapat dalam Adi Parva dari Mahabharata, yang menggambarkan nilai pengorbanan dan bakti kepada guru:
Sanskerta (Sloka Mahabharata, Adi Parva 132.15):
"ācārya devo bhava"
Transliterasi:
"Ācārya devo bhava"
Makna:
“Anggaplah guru sebagai perwujudan Tuhan.”
Sloka ini menegaskan bahwa seorang guru tidak hanya sumber ilmu, tetapi juga representasi dari kekuatan ilahi yang membimbing seorang murid menuju pencerahan. Hal ini menjadi dasar etis bagi tindakan Ekalawya dalam menyerahkan ibu jarinya—bentuk paling ekstrem dari guru dakṣiṇā.
---
Analisis Kisah Ekalawya
Ekalawya adalah pangeran dari suku Nishada yang tidak diterima menjadi murid resmi Drona. Meski ditolak, ia membuat patung Drona dan dengan penuh keyakinan belajar memanah di hadapan patung tersebut. Kemampuannya kemudian bahkan melampaui Arjuna.
Namun, ketika Drona mengetahui hal ini, ia meminta ibu jari Ekalawya sebagai dakṣiṇā, yang akan menghalangi keahlian memanah Ekalawya. Tanpa ragu, Ekalawya menyerahkan ibu jarinya.
Makna Filosofis:
Tindakan Ekalawya mencerminkan prinsip:
Keikhlasan murid dalam belajar meskipun tanpa kehadiran guru secara fisik.
Penghormatan mutlak terhadap sosok guru, bahkan pada bentuk simboliknya (patung).
Legitimasi guru daksina bukan sekadar material, tetapi bisa juga berupa pengorbanan, dedikasi, bahkan bagian tubuh sebagai lambang totalitas bakti.
---
Relevansi dengan Konsep SPP/Pangruyagan Masa Kini
Dalam konteks modern, guru dakṣiṇā dapat dipahami sebagai sumbangan sukarela atau iuran pendidikan (SPP/pangruyagan) yang diberikan murid atau wali murid sebagai bentuk dukungan terhadap proses pembelajaran. Selama tidak melanggar prinsip keadilan dan keikhlasan, bentuk ini dapat dianggap sah secara etis dan filosofis dalam kerangka dharma pendidikan.
---
Kesimpulan
Kisah Ekalawya menjadi cermin dari nilai luhur pendidikan Hindu, di mana guru dakṣiṇā adalah bentuk nyata dari cinta dan penghormatan terhadap guru. Meski zaman berubah, semangat ini tetap relevan, terutama dalam membentuk karakter murid yang penuh hormat dan bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar