Jumat, 18 April 2025

YAJÑA TANPA KEDAULATAN

YAJÑA TANPA KEDAULATAN: Upacara Adat Membuat Kita Semakin Miskin?


Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan
Upacara adat merupakan pilar penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Ia bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga cermin dari ekosistem sosial, ekonomi, dan budaya. Di masa lampau, pelaksanaan upacara adalah bentuk harmoni antara manusia dan alam—sebuah praktik keberlanjutan yang lahir dari kesadaran tanpa definisi formal seperti Tri Hita Karana. Namun, kini muncul sebuah ironi: semakin megah upacara, semakin merosot daya hidup ekonomi masyarakat Bali. Apakah benar upacara adat membuat kita semakin miskin?

Dulu Kita "Belog", Sekarang Kita "Ajum"
Dulu, masyarakat Bali hidup sederhana dan berbasis swadaya. Mereka memelihara ternak sendiri, menanam kebutuhan upakara, dan menggunakan hasil bumi lokal. Rantai ekonomi mengalir secara lokal dan saling menguatkan. Kini, meski istilah Tri Hita Karana digaungkan di mana-mana, praktiknya justru menjauh dari hakikat itu. Lahan produktif telah beralih fungsi, keterampilan agraris ditinggalkan, dan bahan upacara didatangkan dari luar Bali dengan harga yang terus melambung.

Sloka Relevan:

> सुखार्थिनः कुतो विद्यां विद्यार्थिनः कुतो सुखम्।
सुखार्थी वा त्यजेद्विद्यां विद्यार्थी वा त्यजेत्सुखम्॥

Sukhārthinaḥ kuto vidyāṁ, vidyārthinaḥ kuto sukham?
Sukhārthī vā tyajed vidyāṁ, vidyārthī vā tyajet sukham.



Makna:
“Orang yang mengejar kenyamanan tak akan memperoleh ilmu. Orang yang mengejar ilmu tak akan mendapat kenyamanan. Maka, pilih: meninggalkan ilmu demi kenyamanan, atau meninggalkan kenyamanan demi ilmu.”

Sloka ini relevan terhadap kondisi kita hari ini. Kita ingin upacara besar, tetapi tidak mau menguasai ilmu pertanian, peternakan, dan ekonomi lokal. Kita memilih jalan konsumtif ketimbang produktif.

Yadnya dan Ekonomi: Antara Ideologi dan Logistik
Dalam wacana publik, sering terdengar bahwa yadnya adalah bentuk sumbangan untuk perputaran ekonomi Bali. Tetapi siapa yang menikmati perputaran ini? Apakah petani lokal? Apakah tukang busung atau tukang buah di desa sendiri? Fakta di lapangan justru menunjukkan dominasi pihak luar Bali sebagai penyedia utama bahan upacara—dengan harga yang mereka kontrol secara sepihak. Ini bukan sekadar soal ritual, melainkan kegagalan kita dalam membangun kedaulatan logistik budaya.

Sloka Tambahan:

> यज्ञो हि श्रेष्ठतमं कर्म।
Yajño hi śreṣṭhatamaṁ karma

“Yadnya adalah tindakan paling mulia.” (Bhagavad Gītā 3.15)



Namun yadnya yang mulia bukan yang boros dan konsumtif, melainkan yang menyambung keberlangsungan hidup secara menyeluruh—lahir dan batin, spiritual dan ekonomi.

Menghidupkan Pola Pikir: “Ngidupin Idep”
Masalah utamanya bukan pada adat atau upacara. Masalahnya adalah kita telah kehilangan idep (pola pikir) sebagai masyarakat agraris dan mandiri. Kita telah digantikan oleh mentalitas konsumtif, dibungkus dalam kemasan budaya yang semakin menjauh dari akar. Kita menyalahkan adat, tetapi yang salah adalah sistem ekonomi dan manajemen logistik yang tidak kita kuasai.

Penutup: Masih Mau Hidup?
Yadnya bukanlah beban jika dilaksanakan dengan kedaulatan dan keberlanjutan. Yang membuat kita miskin bukan upacaranya, tetapi pola pikir yang tidak siap menjadi tuan rumah atas budaya sendiri. Jika pikiran kita sudah dikendalikan oleh life support ekonomi luar, maka kita sedang menjalani upacara kematian idep kita sendiri.

Refleksi:
Apakah kita masih mau hidup secara merdeka dalam adat kita sendiri?
Atau kita cukup puas jadi penonton dalam upacara spektakuler yang tak lagi menyentuh akar kehidupan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar