Kamis, 17 April 2025

Transformasi Tradisi Menuju Spiritualitas Kritis

Transformasi Tradisi Menuju Spiritualitas Kritis: Kajian Teologis dan Etnografis terhadap Fenomena Pati Wangi dalam Perspektif Refleksi Umat Beragama
Abstrak:
Fenomena pati wangi, salah satu praktik yang berkembang dalam masyarakat, menjadi titik kritis dalam upaya menjaga nilai-nilai luhur agama dan budaya di tengah arus modernisasi. Artikel ini bertolak dari suara moral seorang tokoh, I Gede Sugata Yadnya Manuaba, yang menyuarakan penolakan terhadap pembiaran praktik tersebut. Dengan mengaitkan nilai-nilai dalam sloka Hindu dan pandangan reflektif lintas iman, tulisan ini mengusulkan pendekatan ilmiah dan aplikatif melalui edukasi, riset, dan pembaruan tradisi.


1. Pendahuluan

Dalam dinamika masyarakat religius, sering kali muncul praktik-praktik yang lahir dari perpaduan antara budaya lokal dan ajaran agama. Salah satu yang menjadi sorotan adalah upacara pati wangi, yang dianggap sebagai tradisi yang mulai kehilangan nilai etikanya. Ungkapan "ten purun" (tidak mau peduli) yang kerap muncul di tengah masyarakat menjadi refleksi lemahnya tanggung jawab kolektif dalam membenahi penyimpangan budaya. Di sinilah suara seperti I Gede Sugata Yadnya Manuaba menjadi penting, mengingatkan kita bahwa sebagai umat beragama yang belajar, kita memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan arahan, bukan membiarkan.


2. Kutipan Sloka dan Maknanya

Sloka (Bahasa Sanskerta):
"सत्यं वद धर्मं चर स्वाध्यायान्मा प्रमदः।"
(Taittirīya Upaniṣad I.11.1)

Transliterasi:
Satyam vada, dharmam cara, svādhyāyān mā pramadaḥ.

Makna:
"Berbicaralah dengan kebenaran, jalankan dharma, dan jangan pernah lalai dalam belajar serta mengajar."

Makna Teologis:
Sloka ini memberi dasar etis bahwa kebenaran dan dharma harus ditegakkan, terutama melalui pendidikan dan nasihat spiritual. Jika kita melihat adanya penyimpangan nilai dalam tradisi, kita tidak boleh tinggal diam. Menyerah pada ketidaktahuan bukanlah pilihan bagi umat yang telah belajar.


3. Analisis Permasalahan: Tradisi tanpa Koreksi

Upacara pati wangi yang pada awalnya bisa jadi memiliki makna spiritual, kini banyak dipertanyakan etika dan relevansinya. Dalam banyak kasus, praktik ini memunculkan kontroversi karena:

Dikhawatirkan bertentangan dengan nilai kesucian upacara kematian bagi keharuman seseorang.

Berisiko menciptakan persepsi mistik berlebihan.

Tidak dibarengi dengan dasar sastra agama yang valid.


Permasalahan ini bukan untuk dicela tanpa arah, tapi untuk diteliti.
Sebagaimana diungkapkan oleh I Gede Sugata Yadnya Manuaba, masyarakat tidak boleh dibiarkan dalam kebiasaan “mula keto” (asal begitu). Pembiaran hanya akan memperkuat pola pikir fatalistik dan menjauhkan nilai agama dari esensi sejatinya.

4. Permasalahan sebagai Objek Penelitian

Fenomena ini memiliki potensi besar sebagai bahan penelitian ilmiah dan teologis. Tujuannya:

Mengkaji asal-usul dan perubahan makna dari pati wangi.

Menggali pendapat tokoh agama dan adat terhadap praktik ini.

Menyusun rekomendasi transformasi atau substitusi nilai yang lebih etis.


Hasil penelitian wajib diterapkan.
Ilmu bukan hanya untuk didiskusikan, tetapi dijadikan dasar perubahan sosial. Dalam hal ini, pemimpin adat, tokoh agama, guru, dan masyarakat terdidik harus menjadi motor penggerak transformasi.


5. Sloka Penutup dan Panggilan Moral

Sloka (Bahasa Sanskerta):
"न हि ज्ञानेन सदृशं पवित्रमिह विद्यते।"
(Bhagavad Gītā IV.38)

Transliterasi:
Na hi jñānena sadṛśaṁ pavitram iha vidyate.

Makna:
"Tiada yang lebih suci di dunia ini selain pengetahuan."

Makna Teologis:
Pengetahuan adalah jalan pembersihan jiwa. Maka, jika kita tahu sebuah praktik melenceng dari dharma dan nilai kemanusiaan, kita wajib memberi masukan, bukan membiarkan. Kalimat "ten purun" adalah bentuk pelepasan tanggung jawab yang tidak sesuai dengan dharma.


6. Penutup: Masyarakat Cerdas, Tradisi Berintegritas

Perubahan zaman menuntut kita untuk selektif dalam melestarikan tradisi. Bukan semua tradisi wajib dilanjutkan, apalagi jika mereduksi nilai-nilai etik dan spiritual.
Suara seperti I Gede Sugata Yadnya Manuaba bukan hanya keluhan, tapi panggilan moral. Maka mari kita jadikan fenomena ini sebagai bahan introspeksi, penelitian, dan tindakan nyata agar generasi mendatang tidak mewarisi kebingungan, tetapi pewarisan nilai yang benar.


Refleksi Aksi:

Edukasi masyarakat melalui diskusi dan seminar berbasis adat dan agama

Dokumentasi dan publikasi hasil penelitian sosial-budaya

Kolaborasi tokoh adat, pemuka agama, dan akademisi untuk menata kembali makna tradisi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar