Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak:
Dalam ritual Pawintenan Wiwa di Griya Agung Bangkasa, busana suci seperti kamen, kampuh, cerik, kain, dan destar tidak hanya berfungsi sebagai kelengkapan fisik, tetapi merupakan simbol sakralisasi diri dan kesadaran spiritual. Penggunaan busana ini diatur secara spesifik, tidak hanya saat pawintenan berlangsung, namun juga menjadi kewajiban spiritual saat melaksanakan puja atau menganteb upacara Panca Yadnya. Artikel ini menguraikan makna filosofis, kutipan sloka sebagai dasar spiritual, dan penjelasan tattwa dari penggunaan busana suci tersebut.
Pendahuluan:
Busana dalam upacara Pawintenan Wiwa bukan sekadar pakaian ritual, melainkan manifestasi dari penyucian tubuh, pikiran, dan jiwa. Setiap jenis busana memiliki fungsi dan makna yang dalam, selaras dengan ajaran tattwa Hindu Bali yang mengakar pada konsep tri kaya parisudha, sapta loka, dan cakra tattwa dalam tubuh manusia. Griya Agung Bangkasa sebagai pelestari warisan spiritual Ida Bhatara Dalem Tangsub menetapkan aturan khusus terkait penggunaan busana ini demi menjaga kesucian pawintenan.
Sloka Sansekerta Penegas Sakralitas Busana:
> शरीरं माध्यमं धर्मस्य॥
(Manusmṛti 4.243)
Transliterasi:
Śarīraṁ mādhyaṁ dharmasya.
Makna:
“Tubuh adalah alat utama dalam menjalankan dharma.”
> Penjelasan:
Busana suci menjadi bagian dari penyucian tubuh sebagai mādhya, sehingga tubuh layak menjadi wadah pelaksana dharma suci. Tanpa busana yang sesuai dengan kesucian, tubuh belum siap menjadi alat yadnya.
Makna dan Fungsi Busana dalam Pawintenan Wiwa:
1. Kamen (Kain Bawah):
Melambangkan bhū loka (dunia fisik) dan keteguhan niat. Dibebat dengan arah tertentu sesuai gender sebagai tanda harmonisasi polaritas alam.
2. Kampuh (Kain Luar):
Simbol antariksha loka (dunia tengah), menyelimuti tubuh untuk menjaga aura spiritual dan menghalau pengaruh rajas dan tamas.
3. Cerik (Selendang):
Disematkan di bahu sebagai perlambang cakra vishuddha (pusat komunikasi suci), yang mengingatkan pewinten untuk berbicara sesuai dharma.
4. Kain Putih/Kuning (Kain Tambahan):
Menyimbolkan dualitas dan keseimbangan antara rwa bhineda, serta penyucian dari unsur kotor lahir batin.
5. Destar (Udeng/Kain Kepala):
Melambangkan cakra sahasrara sebagai mahkota spiritual. Penempatan dan simpulnya harus tepat, sebab merupakan “atap” dari niskala yang melindungi pikiran.
Sloka Penunjang Kesucian Busana:
> वस्त्रेण सुसंवृतं शरीरं भवति पवित्रं॥
(Atharvaveda 9.2.3)
Transliterasi:
Vastreṇa susaṁvṛtaṁ śarīraṁ bhavati pavitraṁ.
Makna:
“Dengan pakaian yang tertutup dan layak, tubuh menjadi suci.”
> Dalam konteks ini, busana dalam pawintenan adalah alat transendental untuk memasuki ruang suci spiritual, bukan sekadar kain biasa.
Sakralisasi Busana Saat dan Pasca Pawintenan:
Saat Pawintenan:
Busana disucikan dengan tirta pawintenan dan tirta raga sudhi. Proses merajah (menyematkan) busana dilakukan oleh pandita atau pemuput sesuai stana Ida Bhatara Guru.
Pasca Pawintenan:
Busana suci tetap digunakan dalam ngaturang puja, nganteb upacara, dan kegiatan Panca Yadnya lainnya. Ini menjadi simbol kesiapan rohani dan penghormatan pada taksu.
Kutipan Lontar (Pustaka Pewintenan Wiwa Griya Agung Bangkasa):
> “Yaning pawinten, tur sampun kalaksanayang, angayogyan ngagem wastra suci sane kasuratang ri kawikon Ida Hyang, tan olih ngalantur wastra pangunggahang sekala-niskala.”
Makna:
“Setelah pawinten dilaksanakan, hendaknya senantiasa mengenakan busana suci sebagaimana tersurat dalam pustaka suci. Tidak dibenarkan mengenakan pakaian sembarangan dalam hal sekala maupun niskala.”
Konsepsi Spiritualitas Busana Menurut Griya Agung Bangkasa:
Griya Agung Bangkasa menekankan bahwa tanpa busana suci, seorang pewinten tidak layak mengakses kekuatan spiritual secara utuh. Karena itu, merajah busana adalah langkah penting untuk membangun sinergi antara tubuh fisik dan cahaya niskala (atma jnana). Setiap helai kain mengandung energi prayoga yang diaktifkan dengan mantra dan upakara, menjadi “kulit rohani” dari pewinten.
Penutup:
Busana dalam Pawintenan Wiwa bukan hanya pelengkap upacara, melainkan perwujudan tattwa yang menyucikan tubuh dan memfokuskan pikiran pewinten dalam jalan dharma. Kamen, kampuh, cerik, kain, dan destar yang telah dirajah secara spiritual wajib digunakan dalam setiap aktivitas spiritual pasca pawintenan sebagai bentuk kesinambungan sakralisasi diri dan kesetiaan pada warisan tattwa dari Griya Agung Bangkasa.
Daftar Pustaka:
1. Atharvaveda Samhita – Rishi Angira
2. Manusmṛti – Commentary by Medhatithi
3. Lontar Pawintenan Wiwa – Griya Agung Bangkasa
4. Tattwa Jñana – Koleksi Pustaka Ida Dalem Tangsub
5. Śarīra Tattwa – Pustaka Sekolah Tattwa Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar