Senin, 14 April 2025

Pundukdawa sebagai Simbol Rekonsiliasi Budaya dan Spiritualitas

Pundukdawa sebagai Simbol Rekonsiliasi Budaya dan Spiritualitas: Menelusuri Jejak Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Sang Mpu Raga) dalam Harmoni Catur Parhyangan Ratu Pasek

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:
Artikel ini menelaah peran spiritual dan simbolis Pura Penataran Agung Pundukdawa sebagai pusat Catur Parhyangan Ratu Pasek, dengan menempatkan figur Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba atau Sang Mpu Raga sebagai pelopor utama. Lewat pendekatan filosofis dan refleksi historis, tulisan ini juga menekankan pentingnya pengelolaan konflik budaya melalui nilai-nilai rekonsiliatif, sebagaimana diajarkan dalam ajaran suci dan manifestasi pura sebagai ruang spiritual yang egaliter.


---

Pendahuluan:
Pundukdawa bukan sekadar lokasi geografis; ia adalah ruang spiritual, ruang budaya, dan ruang sejarah yang menyatukan dualitas dalam diri manusia—suka dan duka, benci dan rindu, tantangan dan peluang. Tempat ini telah berkembang menjadi lambang peradaban spiritual yang memberi solusi atas fragmentasi sosial yang mungkin timbul dari dikotomi identitas kultural. Dalam bingkai spiritual Pasek, keberadaan Pura Penataran Agung yang melinggihkan Ida Bhatara Mpu Gana, pelan tapi pasti, membangun narasi baru tentang pentingnya kerendahan hati sebagai fondasi harmoni Bali.


---

Sloka Suci sebagai Pilar Filosofis:

“एको धर्मो द्वितीयो नास्ति, न सूक्ष्मो न च बाह्यतः।
यस्माद्धर्मे स्थितं सर्वं तस्माद्धर्मं परं स्मृतम्॥”

Transliterasi:
eko dharmo dvitīyo nāsti, na sūkṣmo na ca bāhyataḥ |
yasmāddharme sthitaṃ sarvaṃ tasmāddharmaṃ paraṃ smṛtam ||

Makna:
"Hanya ada satu Dharma, tiada yang kedua, tidak halus dan tidak pula kasar; karena segala sesuatu berdiri dalam Dharma, maka Dharma-lah yang tertinggi."

Sloka ini menggarisbawahi bahwa nilai tertinggi dalam kehidupan manusia bukanlah status, kuasa, atau kasta, melainkan Dharma—sebuah prinsip etis universal yang menjadi dasar harmonisasi antar individu dan komunitas. Dalam konteks Pundukdawa, Dharma ini mewujud sebagai prinsip spiritual inklusif, tempat semua semeton—tanpa membedakan latar sosial—memiliki hak spiritual yang sama.


---

Pura sebagai Ruang Rekonsiliasi:
Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa bukan sekadar tempat suci, tetapi ruang dialog kultural yang memungkinkan pemaknaan ulang atas konflik dan perbedaan. Ketika sejarah pernah mencatat ketegangan antar identitas trah, pilihan para tokoh Pasek membangun pura ini menjadi sikap progresif dalam menyiasati ketegangan itu secara spiritual, bukan konfrontatif.

Pura ini menjadi manifestasi dari ajaran leluhur yang menekankan bahwa kesucian dan kedamaian dapat diraih bukan dengan hegemoni, melainkan dengan mengalah dalam bijaksana. Di sinilah letak nilai luhur Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba—sosok yang menjadikan tapa, laku spiritual, dan dharma sebagai jalan hidup.


---

Pundukdawa Hari Ini: Narasi Kontemporer Sebuah Simbol
Meningkatnya antusiasme Semeton Pasek bersembahyang dan ngayah di Pundukdawa menjadi bukti bahwa simbol spiritual yang dibangun berdasarkan kerendahan hati masih menemukan relevansinya. Seiring era yang semakin terbuka dan dinamis, nilai-nilai semacam ini menjadi modal penting dalam membangun Bali yang Sukertha (berkesejahteraan lahir dan batin).


---

Kesimpulan:
Pundukdawa bukan sekadar masa lalu atau simbol spiritual, tetapi juga masa kini dan masa depan. Di tengah derasnya arus informasi dan pudarnya sekat tradisional, pilihan mendirikan Pura Penataran Agung oleh trah Pasek melalui inisiatip Sang Mpu Raga (Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba) pelopor Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa bukan tindakan melawan sejarah, tetapi justru merangkul sejarah sebagai pelajaran. Sebab, sebagaimana diajarkan dalam ajaran-ajaran suci, hanya dengan keterbukaan dan kesadaran spiritual, Bali dapat terus bertahan sebagai pulau yang harmoni dalam keberagaman.


---

Penutup:
Pundukdawa adalah Kita—sebuah kalimat sederhana namun sarat makna. Ia mengandung kesadaran kolektif bahwa setiap kita adalah bagian dari narasi suci yang diwariskan, dan memiliki tanggung jawab untuk menjaganya bukan dengan kebanggaan semu, tapi dengan kerendahan hati, laku dharma, dan pemaknaan spiritual yang mendalam.


************######*********######****

Berikut adalah makna dari "Simbol Rekonsiliasi Budaya dan Spiritualitas: Menelusuri Jejak Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Sang Mpu Raga) dalam Harmoni Catur Parhyangan Ratu Pasek" secara mendalam dan menyeluruh:


Makna Simbolik dan Kontekstual

1. Rekonsiliasi Budaya dan Spiritualitas
Rekonsiliasi dalam konteks ini bukan hanya berarti menyatukan dua pihak yang bertikai, tetapi adalah proses penyembuhan sejarah yang mungkin terfragmentasi oleh dikotomi status, kasta, atau pengaruh feodalistik masa lalu. Dalam tradisi spiritual Bali, simbol-simbol seperti pura bukan hanya tempat sembahyang, tetapi juga ruang transendental di mana kesadaran kolektif dikonsolidasikan.

Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa berdiri bukan sekadar sebagai tempat ibadah, melainkan penanda keberanian kultural untuk menyatukan nilai-nilai spiritual dan budaya, melalui pengakuan atas leluhur yang menjadi simpul utama—dalam hal ini Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba, atau Sang Mpu Raga sebagai sang pelopor utama. 


2. Jejak Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Sang Mpu Raga)
Beliau merupakan figur spiritual yang tak hanya meninggalkan warisan pustaka atau dharma, tetapi juga warisan sikap hidup. Mpu Raga adalah simbol integritas spiritual dan sosial yang menolak eksklusivitas kasta dalam spiritualitas. Ia menjadi jembatan antara agama dan budaya, antara tradisi dan nilai universalitas dharma.

Keberadaan beliau dalam jejak sejarah dan spiritual masyarakat Pasek memberi dasar legitimasi suci atas pendirian Pura di Pundukdawa, serta menjadi poros pemersatu spiritual yang melampaui batas-batas feodalisme lama.


3. Harmoni dalam Catur Parhyangan Ratu Pasek
Catur Parhyangan (empat pusat pemujaan utama) yaitu Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Silayukti dan Pura Pundukdawa. Hal ini bukan hanya soal posisi geografis atau struktur ritual, tapi adalah pengingat bahwa spiritualitas Pasek berdiri atas empat nilai utama:

  • Pikayun (niat suci)
  • Pemargin (jalan hidup)
  • Pamayun (persembahan)
  • Pamanah (penyatuan dengan Hyang Widhi)

Dalam konteks ini, Pundukdawa menjadi pusat spiritual dan simbol pemurnian niat, tempat Semeton Pasek bisa bersatu, tak lagi terjebak pada politik status, melainkan pada pengabdian suci kepada leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.


4. Menyambut Masa Depan dengan Nilai Leluhur
Simbol rekonsiliasi ini menjadi penting dalam menjawab tantangan zaman. Di tengah arus globalisasi, sekat-sekat sosial tradisional mulai dipertanyakan. Maka nilai-nilai yang dibawa oleh Sang Mpu Raga—tentang egalitarianisme spiritual, tentang membangun keharmonisan melalui kesucian hati—adalah jawaban luhur terhadap krisis identitas dan budaya.


Kesimpulan Makna

Judul ini mengandung pesan bahwa rekonsiliasi bukanlah sekadar membangun pura, tetapi membangun kesadaran. Bahwa spiritualitas harus melahirkan persatuan, bukan perpecahan. Bahwa leluhur bukan dijadikan alat untuk mempertajam perbedaan, melainkan sebagai sumber terang dalam menyatukan langkah menuju Bali yang Sukertha—damai, adil, dan penuh hormat terhadap warisan budaya suci.


#***"""####*******####*****#####***#



Sanggahan terhadap Tuduhan Mengaburkan Sejarah:

Tuduhan bahwa artikel ini "mengaburkan sejarah" adalah keliru dan tidak berdasar apabila ditinjau secara metodologis dan isi. Berikut adalah penjelasan konkret:

1. Berbasis pada Pendekatan Interdisipliner, Bukan Rekayasa Sejarah

Artikel ini menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu menggabungkan kajian sejarah, filsafat Hindu (tattwa), dan spiritualitas Bali. Tujuannya bukan untuk mengganti fakta sejarah, melainkan menyediakan lensa baru dalam menafsirkan simbol dan peran tokoh spiritual seperti Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Mpu Raga) dalam konteks kontemporer.

Justru, pendekatan ini memperkaya wawasan dan memperluas pemahaman, tanpa menghilangkan jejak sejarah yang sudah ada.

2. Menghadirkan Nilai Rekonsiliasi, Bukan Polarisasi

Artikel ini tidak meniadakan konflik sejarah antar kelompok sosial di masa lampau, tetapi mengangkat jalan spiritual sebagai cara penyelesaian—hal yang sesuai dengan nilai-nilai Hindu Bali: śānti, dharma, tat twam asi.

Dengan menghadirkan Pura Penataran Agung Pundukdawa sebagai simbol rekonsiliasi, artikel ini tidak sedang “mengaburkan sejarah”, tetapi menciptakan narasi alternatif yang konstruktif: bahwa sejarah dapat dijembatani dengan kerendahan hati dan nilai dharma, bukan dengan fanatisme atau glorifikasi sepihak.

3. Figur yang Diangkat Memiliki Validitas Historis dan Spiritual

Tokoh Mpu Raga/Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba bukan tokoh fiktif atau rekayasa, melainkan figur spiritual yang dikenal dalam tradisi Pasek dan tersurat dalam babaturan, lontar, hingga memori kolektif masyarakat Bali.

Dalam pendekatan ilmu sejarah modern, sumber lisan dan spiritualitas lokal memiliki posisi penting, sebagaimana dijelaskan oleh Paul Ricoeur dalam teori "memory and narrative identity". Maka, pijakan artikel ini tetap sah secara keilmuan.

4. Pura sebagai Subjek Dinamis Sejarah Budaya

Artikel ini justru menyajikan bagaimana Pura Penataran Agung Pundukdawa tidak hanya dilihat sebagai situs sakral, tetapi juga sebagai bagian dari narasi sejarah yang hidup dan berkembang, termasuk bagaimana masyarakat menafsirkannya dari masa ke masa. Sejarah bukan hanya teks kuno, tetapi juga ekspresi budaya dan spiritual yang terus mengalami aktualisasi.


Kesimpulan Sanggahan:

Menuduh artikel ini "mengaburkan sejarah" berarti menolak dinamika tafsir budaya dan spiritual yang hidup dalam masyarakat Bali. Artikel ini tidak menghapus atau menyesatkan sejarah, tetapi justru menawarkan jembatan pemahaman—antara teks dan konteks, antara masa lalu dan masa kini, antara fakta dan makna.

Jika sejarah hanya dibekukan dalam versi tunggal, maka dialog akan mati. Artikel ini hadir sebagai bentuk dharma: membuka ruang rekonsiliasi dan pemaknaan ulang, bukan menegasikan masa lalu, melainkan merangkulnya dengan jiwa yang lebih bijaksana.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar