"Pawiwahan Ngubeng : Wujud Yadnya Bhakti dalam Pelestarian Tradisi dan Spiritualitas Hindu di Jroan Dane Jro Mangku Gde Dalem, Melaya Negara"
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak:
Pawiwahan ngubeng merupakan salah satu upacara adat yang mengandung nilai-nilai religius, sosial, dan budaya dalam masyarakat Bali, khususnya di lingkungan griya atau jro mangku. Penyelenggaraan pawiwahan ngubeng di Jroan Dane Jro Mangku Gde Dalem, Melaya Negara, bukan sekadar rangkaian prosesi pernikahan, melainkan juga sebagai wujud yadnya bhakti untuk membantu umat serta menjaga keberlangsungan tradisi warisan leluhur. Artikel ini mengulas makna filosofis, struktur upacara, hingga nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam pawiwahan tersebut dengan mengutip sloka suci sebagai landasan dharma.
Pendahuluan
Dalam ajaran Hindu Bali, pawiwahan bukan hanya ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan bagian dari upaya melaksanakan catur purusa artha (dharma, artha, kama, moksha). Terlebih ketika pawiwahan ini berlangsung di jroan (griya sulinggih atau jro mangku), nilai spiritualnya semakin tinggi karena mengandung unsur yadnya bhakti, yaitu pengabdian tulus kepada Hyang Widhi Wasa melalui pelayanan terhadap umat.
Pawiwahan Ngubeng: Makna dan Prosesi
Pawiwahan ngubeng memiliki kekhususan karena calon pengantin melangsungkan upacara di kediaman sulinggih atau pamangku, disertai dengan ritual penyucian dan pemujaan yang lebih mendalam. Di Jro Mangku Gde Dalem Melaya Negara, pawiwahan ini diselenggarakan dengan penuh taksu dan dharma, sebagai bentuk pelestarian budaya serta pengabdian spiritual terhadap Sang Hyang Widhi dan leluhur.
Prosesi upacara dimulai dari mabyakala, medengen-dengen, natab banten pawiwahan, hingga mesakapan. Keseluruhan prosesi dijalankan dengan kesadaran penuh bahwa pawiwahan adalah jalan menuju grahasta asrama, tahapan hidup yang penuh tanggung jawab sosial dan spiritual.
Landasan Sloka dan Filosofi
Sloka Sanskrit:
"Dharmena hi striyah patyurnityam tishthanti nandane |
Tasmat sarvaprakarena striyo rakshya viseshatah"
(Manusmṛti 9.2)
Makna:
"Karena perempuan dalam dharma senantiasa menjadi sumber kebahagiaan bagi suaminya, maka dengan segala cara perempuan hendaknya dilindungi dan dihormati."
Sloka ini menegaskan pentingnya menjadikan pawiwahan sebagai jalan menjaga keharmonisan, saling menghormati, dan mengikat janji suci bukan semata di dunia, tetapi juga dalam jalur dharma yang menuju moksha.
Pawiwahan sebagai Wujud Yadnya Bhakti
Yadnya bhakti dalam konteks ini bermakna bahwa penyelenggaraan pawiwahan tidak hanya bertujuan pribadi, tetapi juga sebagai pelayanan terhadap umat. Jro Mangku Gde Dalem memberikan ruang suci (jroan) sebagai tempat upacara, menunjukkan tat twam asi dalam praktik nyata—bahwa kebahagiaan dan kesucian bersama menjadi tujuan utama.
Membantu umat yang tidak mampu melaksanakan pawiwahan dengan layak adalah bagian dari manusa yadnya yang luhur, memperkuat ajaran seba ring sujana, seba ring jnana, yaitu pelayanan terhadap kebenaran dan pengetahuan suci.
Penutup
Pawiwahan ngubeng ring Jroan Dane Jro Mangku Gde Dalem di Melaya Negara bukan sekadar prosesi adat, tetapi manunggalnya nilai-nilai spiritual, sosial, dan kultural sebagai manifestasi yadnya bhakti. Melalui prosesi ini, umat tidak hanya menjalani kewajiban lahiriah, tetapi juga memperkuat dharma, menjalin hubungan harmonis dalam rumah tangga, serta mendekatkan diri pada Sang Hyang Widhi Wasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar