Wasudewa Kutumbakam: Peninjauan Kritis atas Relevansi dan Implikasi Sosial Upacara Mapati Wangi dalam Perkawinan Hindu Bali Kontemporer
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak:
Upacara mapati wangi atau nyurudang wangsa dalam tradisi Hindu Bali adalah praktik adat yang dilakukan ketika seorang perempuan dari wangsa lebih tinggi menikah dengan laki-laki dari wangsa yang lebih rendah. Upacara ini bertujuan melepaskan status sosial atau wangsa perempuan demi penyamaan derajat dalam ikatan pernikahan. Artikel ini menyoroti ketidaksesuaian praktik tersebut dengan prinsip universalitas spiritual Hindu, khususnya melalui nilai luhur Wasudewa Kutumbakam, yang menekankan persaudaraan universal. Dilandasi oleh kutipan sloka dalam kitab suci, artikel ini mengusulkan untuk mengakhiri pelaksanaan mapati wangi sebagai bentuk diskriminasi simbolik yang tidak lagi relevan dalam konteks kesetaraan dan kemanusiaan modern.
Pendahuluan:
Dalam ajaran Hindu Bali, struktur sosial berdasarkan wangsa (kastanya) masih memiliki pengaruh dalam kehidupan sosial keagamaan, termasuk dalam tata upacara pernikahan. Salah satu bentuk tradisi yang masih ditemui adalah upacara mapati wangi, di mana mempelai perempuan "menurunkan" dirinya dari wangsa asalnya sebagai syarat pernikahan antarwangsa.
Namun, dalam era yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial, praktik ini menjadi sorotan karena bertentangan dengan prinsip utama dalam ajaran Weda: bahwa semua makhluk adalah satu keluarga ilahi.
Dasar Sloka dan Nilai Universal:
Sloka:
वसुधैव कुटुम्बकम्
Transliterasi: Vasudhaiva Kutumbakam
Arti: “Seluruh dunia adalah satu keluarga.”
(Sumber: Mahopanishad VI.71-73)
Sloka ini secara fundamental menolak segala bentuk pemisahan dan pengotakan berdasarkan kelahiran, wangsa, atau status sosial. Dalam perspektif spiritual Hindu, setiap jiwa (atman) adalah bagian dari Brahman, yang tidak dapat dibedakan berdasarkan kasta atau garis keturunan.
Tinjauan Kritis atas Upacara Mapati Wangi:
Upacara mapati wangi memiliki dua tujuan utama:
- Mewakili pernyataan simbolik bahwa mempelai perempuan telah melepaskan identitas wangsa-nya.
- Menyelaraskan kehidupan rumah tangga secara lahir dan batin melalui kesamaan status.
Namun, bentuk penyesuaian ini menyiratkan bahwa perbedaan wangsa adalah hal mutlak dan mesti "disamakan" demi harmoni, yang justru memperkuat norma diskriminatif secara kultural. Ini bertolak belakang dengan ajaran:
- Bhagavad Gita 5.18:
“Pandit melihat dengan sama: seorang Brahmana yang bijak, sapi, gajah, anjing, maupun pemakan anjing.”
(vidyā-vinaya-sampanne brāhmaṇe gavi hastini śuni caiva śva-pāke ca paṇḍitāḥ sama-darśinaḥ)
Makna sloka ini menegaskan bahwa seseorang yang bijaksana tidak membedakan status sosial dalam melihat martabat makhluk hidup. Pandangan ini menguatkan bahwa konsep wangsa semestinya tidak menjadi dasar penilaian atau pengurangan nilai diri seseorang.
Implikasi Sosial dan Spiritualitas:
Melanjutkan praktik mapati wangi berarti mempertahankan konstruksi sosial yang tidak relevan secara spiritual dan tidak adil secara moral. Penolakan atas praktik ini justru akan:
- Meningkatkan penghormatan pada martabat perempuan.
- Mendorong kesetaraan antar individu dalam komunitas.
- Menyelaraskan praktik adat dengan nilai-nilai Weda yang universal.
Upacara Mapatiwangi, yang secara harfiah berarti menghilangkan keharuman atau menurunkan kehormatan, telah lama menjadi bagian dari tradisi pernikahan di Bali, khususnya dalam konteks pernikahan antarkasta. Namun, makna simbolis dari bupacara ini, yaitu menurunkan kasta atau status sosial seseorang, kini dipandang tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan dan martabat manusia yang jujur tinggi dalam masyarakat modern.
Selain itu, pelaksanaan Mapatiwangi di Pura Balai Agung, yang merupakan tempat suci untuk pemujaan kepada ida sang hyang widi wasa, dapat menimbulkan kontroversi. Pura seharusnya menjadi tempat untuk memperkuat spiritualitas dan persatuan umat, bukan untuk menegaskan perbedaan status sosial.
Sebagai alternatif yang lebih sesuai dengan semangat zaman dan nilai universal, saya mengusulkan penggantian nama dan makna bupacara tersebut menjadi.
1. Bupacara sama-sana pahwiwahan, menekankan prinsip kesetaraan antara pasangan tanpa memandang latar belakang sosial atau kasta.
2. Upacundari Grihasta, menggambarkan tujuan utama pernikahan dalam ajaran Hindu, yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang harmonis, Grihasta Asrama.
3. Upacara Sangkepan Asih, menggambarkan perjanjian suci antara dua individu yang saling mencintai dan berkomitmen untuk hidup bersama.
Dengan mengganti nama dan makna upacara ini, kita tidak hanya menjaga kesucian tempat ibadah, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan, dan keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Saya mengajak seluruh masyarakat Bali untuk bersama-sama merefleksikan dan menyesuaikan tradisi dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, demi menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Kesimpulan:
Ajaran Hindu bukanlah sistem tertutup yang membekukan manusia dalam struktur sosial statis, melainkan sistem dinamis yang menekankan evolusi batin, kesetaraan, dan kasih sayang universal. Berdasarkan prinsip Wasudewa Kutumbakam dan pandangan samadarshinah (pandangan setara), maka upacara mapati wangi tidak lagi layak dipertahankan dalam kehidupan umat Hindu Bali masa kini.
Mari kita kembali pada nilai luhur Weda yang sejati — bahwa semua adalah satu keluarga, tanpa perbedaan. Maka apa pun alasannya, mapati wangi adalah bentuk penyimpangan dari cinta, kesetaraan, dan spiritualitas murni yang diajarkan dalam kitab suci kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar