Tinjauan Teologis dan Filosofis Hindu: Legitimasi Kehadiran Seorang Pinandita Wiwa ke Rumah Orang Meninggal
Oleh: I Gede Sugata Yadnya MANUABA
Abstrak
Dalam tradisi Griya Agung Bangkasa sebagai barometer spiritual Hindu Bali, keberadaan seorang pinandita wiwa memegang peranan penting sebagai penjaga keseimbangan dharma dan penyambung komunikasi spiritual antara alam niskala dan sekala. Pertanyaan mengenai boleh tidaknya pinandita wiwa hadir di rumah orang meninggal sering muncul akibat anggapan tentang adanya leteh (ketidakmurnian) yang dapat memengaruhi kesucian seorang pinandita. Artikel ini bertujuan menjelaskan secara filosofis dan teologis bahwa pinandita wiwa tan keneng kecuntakan (tidak dapat terkena kotor secara niskala), sehingga diperbolehkan datang ke rumah duka dengan tujuan dharmika.
---
Pendahuluan
Pinandita wiwa bukan hanya pelaksana upacara, tetapi juga simbol kehadiran Ida Sang Hyang Widhi Wasa di tengah masyarakat. Dalam perannya, ia tetap berada dalam jalur kesucian (śuddhi) dan pelaksanaan dharma. Karena itu, perlu dijelaskan dengan rujukan pustaka suci bahwa kehadiran pinandita ke rumah duka adalah bentuk pelayanan spiritual, bukan pelanggaran terhadap prinsip kesucian.
---
Dasar Sloka dan Pustaka Suci
Salah satu sloka dari Taittirīya Āraṇyaka menegaskan bahwa mereka yang hidup dalam keheningan dan pelayanan suci tidak tersentuh oleh kekotoran duniawi:
> नैनं च्छिन्दन्ति शस्त्राणि नैनं दहति पावकः।
न चैनं क्लेदयन्त्यापो न शोषयति मारुतः॥
nainaṁ chindanti śastrāṇi nainaṁ dahati pāvakaḥ,
na cainaṁ kledayantyāpo na śoṣayati mārutaḥ.
Artinya:
"Atma tidak dapat dipotong oleh senjata, tidak dibakar oleh api, tidak dibasahi oleh air, dan tidak dikeringkan oleh angin."
Makna kontekstual:
Sloka ini digunakan untuk menjelaskan bahwa esensi suci seseorang yang telah mencapai pemahaman rohani (seperti pinandita wiwa) tidak mudah terkena leteh karena ia telah menyatu dengan kekuatan suci dan tak terpengaruh oleh unsur duniawi (prakriti).
---
Konsep 'Pinandita Wiwa Tan Keneng Kecuntakan'
Dalam tradisi lokal Bali, dikenal ungkapan:
> "Pinandita Wiwa tan keneng kecuntakan."
Maknanya:
Seorang Pinandita Wiwa (yang telah menjalankan diksa dan pengabdian suci) tidak dapat terkena leteh atau kecuntakan, karena ia senantiasa berada dalam keadaan niskala śuddha (kesucian niskala). Oleh sebab itu, kehadirannya di rumah duka bukan untuk menjadi bagian dari suasana berkabung secara duniawi, tetapi untuk menuntun roh/atma menuju jalan cahaya (padang), melalui doa dan puja.
---
Etika dan Tugas Dharma Seorang Pinandita
Dalam Manava Dharmasastra (VI.92), dinyatakan:
> धर्म एव हतो हन्ति धर्मो रक्षति रक्षितः।
तस्माद्धर्मो न हन्तव्यो मा नो धर्मो हतोऽवधीत्॥
> Dharma eva hato hanti dharmo rakṣati rakṣitaḥ,
tasmād dharmo na hantavyo mā no dharmo hato'vadhīt.
Artinya:
“Dharma yang dilanggar akan menghancurkan. Dharma yang dijaga akan melindungi. Oleh karena itu, jangan pernah melanggar dharma, agar dharma tidak meninggalkan kita.”
Relevansinya:
Pinandita yang datang untuk ngastawa dan nyanjan di rumah duka tidak melanggar kesucian, justru menjalankan dharma sebagai pelayan spiritual.
---
Kesimpulan
Berdasarkan uraian teks suci, makna sloka, serta kearifan lokal Bali, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pinandita Wiwa diperbolehkan ke rumah orang meninggal, karena ia tidak terkena leteh secara spiritual.
2. Keberadaan Pinandita di rumah duka justru merupakan bagian dari tugas dharma, membantu atma menuju kesempurnaan.
3. Ajaran suci Hindu mengedepankan niat, makna spiritual, dan kebermanfaatan dalam setiap tindakan, bukan hanya simbolisme kesucian lahiriah.
---
Referensi
Manava Dharmasastra
Taittiriya Aranyaka
Lontar Dharma Pewayangan, Yamadipati Tattwa
Wawancara tokoh sulinggih dan pinandita di Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar